Senin, 14 Februari 2011

Siapa Sejatinya Pemilik TUHAN?

KALAU ada saat menggelegak, mungkin sekaranglah saatnya. Emosi saya begitu luluhlantak dengan semua pemberitaan kekerasan yang terjadi belakangan ini. Perasaan sebagai manusia, porakporanda. Saya hanya bisa menulis dan mengajak untuk bergerak, karena berteriak pun sudah tak ada kuping yang mendengarnya.

Kemanusian begitu diinjak-injak oleh manusia –kalau masih pantas disebut manusia ya. Berita pembantaian, maaf bukan lagi sekadar pembunuhan biasa, jemaah Ahmadiyah di Cikeusik Pandeglang Banten,  membuat saya bertanya, mimpi apa Tuhan ketika menciptakan manusia dan kemanusiaan itu.

Mereka –para penyerbu itu—merasa dirinya paling benar membela Tuhan dan sah-sah saja membantai manusia lain yang mereka anggap tidak benar dan salah. Mereka bangga menghajar lawannya sambil berteriak memuja Tuhan. Hah?

Kebenaran milik siapa? Milik ormas? Milik manusia dengan sorban putih, berjenggot dan berteriak ‘Allahu Akbar’ yang kemudian bergerak membabibuta dan menjemuruskan Tuhan sebagai ‘oknum keras kepala, manja dan lemah’ karena harus selalu dibela. Seolah-olah Tuhan tidak bisa membela dirinya sendiri sehingga harus tergantung kepada ‘pengawal-pengawal’ yang rela mati [dan matiin].

Dan belum lelah kita protes dan bertanya kepada Tuhan tentang kelakuan umatnya, ‘tuhan-tuhan’ itu sudah bergerak lagi dengan seenaknya di Temanggung, Jawa Tengah. Gereja dirusak, agama lain dihujat. Terlepas dari apapun pemicunya, kekerasan atas nama membela Tuhan ini sangat memuakkan.

Persetan dengan pembenaran kekerasan. Persetan dengan dalil agama yang dikutip sebagai hakiki yang tidak boleh diutak-atik. Pembunuhan dan kekerasan itu sah dan halal dilakukan.

Ahmadiyah itu salah, menyimpang dan harus dihancurkan [sempat beredar di Youtube, kotbah tokoh FPI yang mengesahkan kekerasan terhadap Ahmadiya]. Dimana peran pemuka agama sebagai penyejuk? Sebagai pendamai? Sebagai wakil Tuhan? Dimana negara bergerak ketika warganegaranya tersakiti dan merasa tidak aman?

Sementara masih berteriak-teriak toleransi, durjana-durjana “pemilik kebenaran” itu memilih kekerasan sebagai alat “menjilat Tuhan”. Dan mereka tetap merasa membela. Sementara Tuhan sebenarnya tidak perlu dibela, karena Dia sanggup membela dirinya sendiri.

Siapakah sejatinya pemilik Tuhan?