Selasa, 28 September 2010

Aku Ingin Menjadi PELURU

Aku ingin menjadi peluru,
Melesat dan menembus jantungmu
Menghujam dalam kecepatan yang tak terperi
Merobek tubuhmu hingga tak bernapas lagi

[untuk kematian semua kesombongan, arogansi, skeptisitas dan apatisme akut, 23 desember 2010, 11.06]

Pertanyaan Sang Penggelisah

Bagaimana sebuah hubungan itu dibangun? Pertanyaan standar sebenarnya, tapi ternyata tidak mudah untuk menemukan satu definisi baku tentang pondasi dari sebuah hubungan. Ada yang mengatakan, kepercayaan dan kasih sayang adalah modal awal untuk memulai sebuah relasi.  Jika kemudian ada pertanyaan, “Kita kan punya perbedaan yang pasti tidak disukai oleh orang lain!” Apa jawabmu kawan?

Anggap saja kita, saya atau Anda mungkin, sedang menjalin relasi dengan manusia lain. Entah sebagai sahabat, kekasih atau sekadar teman biasa. Kalau dideretkan soal perbedaan, mungkin bisa lebih dari 60 persen perbedaan kita dengan manusia lain. Ada yang beda biasa saja, tapi ada juga yang amat berbeda. Pertanyaannya, bagaimana kita meletakkan perbedaan itu dalam koridor sebuah hubungan?

Kalau kita melihat perbedaan selalu sebagai perbedaan, percayalah energi kita akan terbuang percuma. Kita tidak akan pernah punya teman karena selalu menonjolkan perbedaan sebagai alasan. Saya punya pendapat, perbedaan sebenarnya adalah cara pandang kita untuk menerima orang lain secara utuh dalam hidup dan kehidupan kita. Kalau kita pasangan kekasih, perbedaan [seharusnya] jadi pemicu pelakunya untuk bisa  mengenal dan melihat pasangannya secara utuh.

Sesederhana itukah? Tentu saja tidak. Biarkan saja perbedaan tetap sebagai perbedaan. Karena itu akan memperkaya pengetahuan kita untuk mengenal pasangan kita dengan lebih detil dan teliti. Dalam relasi itu saya menempatkan perbedaan dalam skala yang lebih kecil. Saya lebih menyukai apa yang kita bisa lakukan bersama dengan aman, nyaman, menyenangkan dan saling membahagiakan. Biarlah perbedaan itu menjadi ‘bensin’ yang menghidupkan dari dari kekuatan persamaan.

Saya memilih merendahkan hati, mengabaikan kekerasan hati, melapangkan rasa cinta dan kasih sayang yang lebih besar.  Ketika itu benar terjadi, saya menjadi manusia yang paling menikmati indahnya hidup dengan orang lain…..

[yado, ketika rasa memilik begitu membuncah, 24 september 2010, 9.11 wib]

Minggu, 19 September 2010

Penyiksaku Bernama: CINTA


Kalau ada saat untuk mematikan diri, mungkin sekarang saatnya. Aku terhempas dalam kesakitan yang amat sangat. Aku seperti lilin yang nyaris padam tertiup angin yang tak terlalu kencang. Tiba-tiba aku terserak menjadi serpihan, berceceran dimana-mana. Dan bukan perkara mudah mengumpulkan ramah-ramahnya. Perlu waktu yang amat lama untuk kembali menjadi hidup.

Suatu hari, aku jatuh cinta. Sebuah rasa yang kerap timbul tenggelam dalam hatiku. Mengapa? Karena aku tak pernah tahu kapan dia akan menombak aku. Dan ketika dia datang, aku tertikam. Tikaman yang membuatku jatuh dalam sebuah rasa yang tak ingin kutinggalkan, jatuh cinta!

Aku menikmatinya, merawatnya, menjaganya lebih dibanding menjaga diriku sendiri. Aku menyerahkan diriku pada cinta. Bukan perkara mudah, karena itu pilihan yang akhirnya aku ambil. Aku menjadi tertolak, tapi aku menikmatinya. Karena memang aku mencintainya. Aku mengisi hari-harinya, dia mengisi hari-hariku. Sebuah rasa yang seperti bola salju, bergulung menjadi besar dan tak terbendung. Aku bahagia sekali!

Tapi tiba-tiba siksaan itu datang. Cinta itu nyaris pergi dari rasaku. Melemparku ke hempasan yang paling menyakitkan. Menghantamku dan amat melukaiku. Aku berdarah, nyaris mati. Aku terisak, meski aku lelaki. Cinta itu menyiksaku bertubi-tubi.

Hari ini aku menyerah pada siksaan cinta, dan aku bingung karena inilah pertamakali dalam hidupku aku menyerah. Ah, ternyata karena aku punya porsi amat besar mencintainya. Aku ternyata, benar-benar jatuhu cinta padanya!

[yado, 19 september 2010, 16.00 wib]

Sabtu, 18 September 2010

Maklumat 1: Hari Ini, Aku Memilih MATI

Aku Membunuh Diriku dan Mencabut Akarnya. Dan aku mati membawa ide, nalar, pemikiran dan pertanyaan yang terkubur! Jangan coba bangkitkan aku, biarkan aku jadi belulang. Bicaralah dengan jasadku, karena dia akan mendengarmu. Tapi jangan berharap aku menjawabmu, karena aku sudah memilih mati! Bersendaguraulah dengan ruh-ku, karena sudah tidak gelisah. Meski dia sudah membungkam mulutnya sendiri. Jangan kau goda dia untuk kembali, karena selayaknya, karena dia sudah terbunuh. Aku janjikan, kematian itu akan lama.aku memilin cinta dengan 'tuhan'-ku. 

Selamat tinggal!

Maklumat 2: Hari Ini, Aku Memilih ‘tuhan’

Hari ini aku memilih tuhan dan menggenggamnya dengan kuat. Tak akan aku lepaskan. Hari ini aku memilih tuhan. Karena tuhan-ku ini, aku menanggalkan egoku. Karena tuhan-ku ini, aku menjadi manusia baru. Karena tuhan-ku ini, aku meninggalkan area abu-abu dan menghentikan semua tanyaku. Hari ini aku memilih tuhan. Aku membunuh akar kepahitanku dan dia menampar aku dengan ketulusan. Dan aku memilih tuhan

Pertanyaanku Atas Pertanyaanmu

Dimanakah cintaku menempati ruang hatimu? Sebuah pertanyaan sederhana yang ternyata tak sesederhana menemukan jawabannya.  Aku bisa saja menjawab, cintamu berada khusus di ruang hatiku yang teristimewa. Selesai? Belum.

Jujur, pertanyaan itu masih menjadi sebuah pertanyaan yang ingin selalu kutanyakan. Pertanyaanku atau pertanyaanmu itu, ingin aku dengar langsung dari hatimu. Dimanakah posisi cintaku di ruang hatimu?

Namaku: SKEPTIS

Suatu hari, seorang kawan berkata kepada saya. “Bisa nggak jadi orang itu jangan skeptis!” Jujur, awal disebutkan, saya tidak pernah menganggap itu sebagai sebuah lelucon. Bagaimanapun, itulah penilaian orang. Tapi benarkah saya skeptis?

Apa sebenarnya skeptis itu?  Mari kita membuka wacana tentang skeptis ini. Apakah sejatinya pilihan bersikap seperti ini adalah salah, atau justru sebaliknya? Meski komparasi salah benar ini, menurut saya tidak seharusnya membuat satu perbedaan tajam. Tetap dialogis dan terbuka.

Dalam beberapa literature, ada yang menyebutkan skeptis konruen dengan peragu. Artinya, selalu ingin mempertanyakan banyak hal, sehihngga mendapat jawaban dengan argumentasi yang didukung fakta, data empiris dan. Ok, saya ambil satu definis dari Shaun & Laurence dalam Buku Profesisonal Skeptism. Menurutnya, skeptis adalah sebuah sikap yang menyeimbangkan antara sikap curiga dan sikap percaya.

Pada dasarnya manusia diciptakan untuk bisa berpikir. Berpikir kemudian bertanya untuk mendapat jawaban atas keraguan. Manusia dalah makluk yang menerima keterbukaan dan skeptisisme. Tetap terbuka terhadap ide baru tapi tetap skeptis, artinya jangan asal terima saja dan pertanyakan logikanya. Begitu caranya membedakan kebenaran mendalam (deep truths) dengan omong kosong mendalam (deep nonsense). Keterbukaan itu penting, skeptisisme juga penting, meskipun kontradiktif.

Bagi saya, mempertanyakan banyak hal, bahkan segala hal merupakan sesuatu yang lumrah. Sebagian besar orang memiliki kemampuan untuk mempertanyakan berbagai hal di sekitarnya untuk memperoleh pengetahuan yang benar. Anak-anak juga mempertanyakan berbagai hal di sekitarnya. Namun harus diperhatikan, anak-anak memperoleh pengertian dan pengetahuan mengenai berbagai pertanyaannya dari orangtua dan orang-orang yang lebih tua.

Dengan demikian, yang menjadi penekanan mengenai berbagai pertanyaan yang diajukan oleh orang yang lebih dewasa adalah selalu menguji dan mempertanyakan kembali "jawaban" yang telah diterima. Inilah yang dinamakan dengan skeptisisme, yakni selalu mempertanyakan banyak hal, termasuk pendapat/pandangan yang dibuat oleh diri sendiri.

Pada dasarnya, sifat dasariah manusia adalah mempertanyakan berbagai hal. Skeptisisme merupakan hal yang sangat baik bagi setiap orang karena dengan melakukan hal itu, seseorang mampu membedakan banyak hal, seperti baik - tidak baik, benar - tidak benar, nyata - tidak nyata. Skeptisisme dapat membuat orang selalu sadar akan banyak hal termasuk dirinya sendiri.

Lalu apakah saya punya sifat skeptis? Iya. Buat saya, bertanya dan mempertanyakan, sejatinya adalah proses belajar dan pembelajaran. Tak akan pernah berhenti. Kalau itu kemudian membuat banyak yang “terganggu” berarti wacana untuk belajar, hanya muncul di satu sisi. Sayang kalau begitu.

Dan saya tahu, teman saya itu akan tersenyum….

Kamis, 16 September 2010

Ternyata Sumeleh, Kerelaan & Cinta Itu Linier...

Hari ini, aku mendapat pencerahan. Dari sebuah dialog singkat. Bicara kerelaan. Masih ada korelasinya dengan cinta, dalam arti yang lebih luas, tidak sekadar relasi perempuan dan laki-laki.  Benarkah kita –manusia—nyaris tak punya kerelaan ketika harus berbagi dengan orang lain? Ketika harus melihat kebahagiaan orang lain?

Mencapai tataran “rela” dengan ikhlas, bukan perkara mudah. Tokoh-tokoh besar agama pun tidah mudah mencapai tataran itu. Padahal konon kabarnya mereka mendapat tuntunan secara lisan dari penguasa jagat.

Benar, kerelaan memang harus menafikan ego. Kerelaan itu harus berkacak pinggang, meski kemudian kita melepaskannya dengan senyum. Dalam sebuah dialog historis materialis dialektika, saya mendapatkan satu wejangan yang sebenarnya sederhana tentang kerelaan. Mereka menyebutnya ‘sumeleh’ – dalam konteks Jawa, artinya berserah dan rela dan ikhlas. Konsepsi ini nyaris tak terbersit dalam benak saya, sampai kemudian saya mendapat makna yang  lebih mengena.

Mencintai dan kerelaan itu letaknya di dalam hati. Sehingga bukan bagaimana membunuh atau mengusirnya, tapi bagaimana membiarkannya di sana, hidup tanpa tekanan dan tanpa bantuan.

Ada spirit, pengalaman spiritual, perdebatan batin dan pencarian makna hidup, untuk benar-benar akhirnya bisa menjadi satu garis lurus bernama kerelaan. Lalu apa korelasinya dengan cinta? Saya harus mengatakan, cinta disini adalah pengalaman pribadi dalam makna yang seluas-luasnya. Bukan dipersempit hanya relasi “cinta” dengan lawan jenis.

Pernah kita menyadari, mencintai seseorang itu tak harus ada di sisi kita, tak harus bisa kita lihat wajahnya, tak harus bisa kita sentuh, tak harus bisa kita dengar suaranya. Benar, bahwa mencintai itu tidak harus hidup di dunia yang sama dengannya. Benar, bahwa mencintai itu mungkin saja berpisah.

Pernahkah kita belajar, yang terpenting dalam mencintai itu bukan bagaimana kita melupakan kesalahannya, tapi bagaimana kita bisa memaafkannya dengan tulus dan rela. Benar, bahwa dalam mencintai itu bukanlah bagaimana kita mempertahankannya dalam genggaman kita, tapi bagaimana melepaskannya dengan kerelaan penuh saat ia ingin pergi mencari kebahagiaannya.

Jika cinta ditanam dalam hati bukan oleh malaikat tapi oleh sosok yang kita puja, cinta itu pasti bermekaran dalam hati. Cinta yang tak pernah tertukarkan,  dan pastilah kita tujukan pada dia yang menanamnya. Tapi apa mau di kata jika semua tak seindah itu. Maka, sepenuh hati kita kudu rela melepasnya. Waktu akan mendewasakan cinta.

Ternyata, sumeleh, kerelaan dan cinta itu linier…..

Tersangka itu, bernama: CINTA

Apa hakikat dari mencintai? Ketulusan dan kerelaan. Kabarnya begitu. Saya tak perlu berdebat soal itu. Karena dalam kacamata saya yang agak skeptis ini, cinta seperti tombak bermata dua, menghujam dam berefek dua arah, sukacita dan derita. Kita tak pernah bisa menebaknya, meski awal-awalnya kita selalu menikmati rasanya dan menggenggam erat seolah tak ingin dilepaskan.

Saya memang ingin bicara soal cinta. Konon, cinta itu sederhana, seperti percik embun di dedaunan pagi. Sejuk dan fresh. Memberi kita semangat dan gairah untuk berkubang dengan hari-hari yang mungkin menyebalkan, tapi dinikmati serasa memilik sorga. Karena cinta.

Benar, kita semua pernah terpanah kurnia ‘dewa amor’ ini. Andakah yang sedang berada di area yang menyenangkan ini? Ingat, jalannya tak selalu mulus dan lurus. Dia akan berkelok dan penuh tanjakan. Mungkin malah kudu melewati bebatuan yang besar dan terjal. Tapi saya yakin, itu tidak ada artinya ketika kita menuju arah cinta itu. Cinta tak pernah salah. Dia lahir dari sebuah sinergi yang bernama rasa. Tidak peduli jatuh kemana, tidak peduli jatuh kepada siapa, tidak peduli jatuh karena apa, tapi cinta tidak pernah salah.

Pernah merasakan cinta dan kemudian menjadi tertuduh karena ternyata menurut kacamata moralitas dan ke-umuman, si cinta itu jatuh pada tempat yang [amat] salah? Jujur, saya sedang berada di ranah itu. Saya jatuh cinta dan benar-benar jatuh cinta. Cinta itu jatuh kepada saya, cinta itu jatuh ke tanah yang sebenarnya sudah disiram, meksi tak subur. Cinta itu jatuh karena cinta itu memilih insan hati yang akhirnya bertumbuk menjadi rajutan kimiawi yang saling menarik. Pembenaran atas nama cinta?

Saya terpana ketika saya mencoba “melarikan diri” dan membantahnya. Saya benar-benar tidak sanggup untuk hengkang dari tarikannya. Bukan karena tidak bisa, tapi karena memang terlalu kuat untuk dilepaskan. Dan kemudian cinta itu menjadi tersangka, karena semua melihatnya jatuh dan menimpa pada tempat yang “salah” dari kacamata pemahaman ke-umuman.

Dan ketika tumbuh menjadi tenunan indah dan terlihat menarik, “penghakiman” itu datang. Dia tidak mau berbagi kerelaan. Dia tidak mau terlihat ‘abnormal’ meski kenyataannya cupid memanah dalam lingkup yang tidak biasa. Dia memberontak dari persembunyiannya. Hei, dia ingin melepaskan ruang gelapnya. Aku memujanya, tapi tak pernah menggenggamnya.

Kita harusnya menikmati rasa itu. Berada dalam buaian dan ayunan kidung lembut yang menyenangkan. Kita jangan pernah menolaknya, karena akan sangat menyakitkan. Haruskah kita berkata, kalau cinta itu luka, kita tak akan peduli bagaimana sakitnya? Saya memilih mengatakannya.

Tersangka itu bernama CINTA. Dan Hakim membebaskannya, karena CINTA tidak pernah salah…..

Serenade Nomor Dua

Tidak ada kecap nomor dua, itu pasti! Semua kecap mengklaim selalu produk nomor satu. Kalau ada yang coba-coba berani mengklaim nomor dua, siap-siap saja gulung tikar. Sebenarnya apa sih yang salah dengan nomor dua? Mengapa kita harus selalu ingin menjadi nomor satu? Ketika sekolah dulu, rasanya kalau tidak juara satu, rasanya dunia mau kiamat. Apalagi buat yang terbiasa juara, tiba-tiba harus melorot jadi nomor dua, wah…dunia seperti berhenti berputar.

Karena nomor dua itu bukan yang utama. Karena nomor dua itu selalu menjadi pilihan selanjutnya, bukan pilihan pertama. Karena nomor dua itu biasanya jadi obsesi yang tidak kesampaian. Dan masih banyak lagi yang menempat nomor dua sebagai bagian yang terabaikan. Apakah selalu begitu?

Ternyata tidak! Banyak orang yang menikmmati posisi sebagai si nomor dua. Banyak perempuan –meski mungkin dalam hati kecilnya menolak—pasrah ketika harus jadi istri kedua. Dengan embel-embel kecukupan materi, menjadi nomor dua masih bisa dimaafkan. Penjelasannya [dan perdebatannya] masih bisa dibeberkan soal ini. Kepasrahan juga bisa menjadi apologi ketika nomor dua menjadi permakluman atas sebuah perjuangan. Tidak apa-apa, toh bisa nomor dua. Begitu biasanya kalimat mahfum itu.

Mari melihat nomor dua dengan perpspektif berbeda. Saya orang yang meyakini, posisi nomor dua itu bukan posisi yang enak. Tapi saya tidak mengabaikan, banyak [atau ada] orang yang bisa menenpati posisi nomor dua dengan nyaman, dengan macam-macam alasan. Dalam banyak literature yang saya baca, nyaris tidak saya temukan, nomor dua adalah target. Bahwa sebuah “kebodohan” ketika hanya bermimpi menjadi nomor dua itu. 
Saya tidak ingijn member kesimpulan apa-apa tentang nomor dua ini. Yah anggap saja kita punya cinta yang tulus, mateng, tapi yah [takdirkah?] memang harus jadi nomor dua.

Sekadar mengingatkan, cinta...cinta... absolut. Tidak bisa diprediksi oleh akal, tidak bisa dijangkau oleh panca indera, tidak bisa diraba oleh tangan, dan tidak bisa dirasa oleh lidah. Benar-benar tanpa logika. Keberadaanmu merupakan sebuah misteri bagi dunia. Namun walau begitu, engkau akan tetap menjadi dewa agung sepanjang dimensi sejarah kehidupan manusia. "Karenamu dunia ini ada". Eh, ada cinta nomor duakah?

Jadi?

Jumat, 10 September 2010

Selamat Lebaran, Selamat Terbebaskan

Ritual tahunan bernama Idul Fitri itu, akhirnya bakal tiba. Acara mudik –yang konon hanya ada di Indonesia—mulai berdenyut.  Semua rute darat laut udara, ludes demi sebuah ritual bernama lebaran dan mudik.  Semua perputaran uang mulai bergeser ke daerah-daerah tujuan mudik. Tersenyumlah Wonogiri, Solo, Lampung, Jogjakarta, dan sekitarnya. Karena menurut pengamat ekonomi, perputaran uang yang dibawa ketika Lebaran tiba mencapai trilyunan rupiah.

Untuk yang melakukan puasa di Bulan Ramadhan, Idul Fitri menjadi momentum untuk menjadi pemenang. Pelaku puasa itu berhasil melewati banyak hal selama sebulan. Anger Management  yang ketat, toleransi [yang harusnya] makin meningkat, dan urusan syahwat yang diikat. Tidak mutlak, karena toh ada toleransi untuk hal-hal lain yang disetujui. Tapi semua menjadi begitu “kuat” selama sebulan Ramadhan ini.

Saya menikmati Lebaran sebagai proses ‘liminal” –ini istilah yang dikatakan oleh Victor Turner—yang artinya pada momen inilah, agama persis berdiri pada sebuah perbatasan, ia ada di “dalam” tetap sekaligus “di luar” dirinya.  Lebaran kini menjadi “festival” milik sebuah peradaban bernama manusia. Di Indonesia, sulit mengatakan Lebaran hanya milik umat muslim, karena sudah menjadi lintas sosial dari banyak kehidupan manusia.  Lebaran tidak hanya milik mereka yang selama Ramadhan berpuasa penuh, tapi juga milik mereka yang mungkin selama hidupnya tidak pernah berpuasa.  Lebaran sudah tidak lagi milik “kami” tapi lebur menjadi milik “kita”.

Memang, selebrasi maaf makin lama makin menjadi ritual basa-basi dan tanpa makna lagi. Tapi hal yang menarik adalah, Lebaran selalu mempertemukan manusia pada kesetaraan. Selalu menempatkan “kita” pada paradigma yang sejajar. Lebaran menjadi mengharukan, karena momentum ini selalu memperhadapkan emosi, mentalitas [dan ekonomi tentu saja],  pada titik yang disepakati. Tidak menjadi umat yang “terisolasi” tapi umat yang [harusnya] solidaritas.

Raya bernama Lebaran ini memang menyajikan banyak harapan setiap tahunnya. Disana ada melankolisasi, ada denyut konsumerisme, ada pembersihan diri [yang konon, benar-benar fitrah]. Meski denominasinya makin beragam, tafsirnya makin marak, implikasi sosial ekonominya makin dianggap sebagai ‘keberuntungan’ daerah tujuan mudik, Lebaran [harusnya] tak melulu jadi ‘festival sosial’ yang sekadar numpang lewat.

Saya memaknai, Lebaran adalah khittah fresh untuk makin menyapa orang-orang yang menderita, mendermakan kemanusiaan kepada manusia secara setara, mengampuni sebagai satu roh hakiki, dan memberi kegembiraan rohani untuk keluar dari dari tempurung bernama kesombongan. Bukankah hakikat Idul Fitri adalah pembebasan yang utuh, bukan sekedar memaafkan omong kosong?

Selamat Lebaran, Selamat Terbebaskan.