Kamis, 12 April 2012

Emansipasi KARTINO

SETIAP bulan April, waktu sekolah dulu biasanya langsung diarahkan untuk pelan-pelan mengerucut ke peringatan Hari Kartini.  Berbondong-bondong orangtua –emak khususnya—mulai repot ditangisi anak-anaknya yang diminta memakai kebaya, sanggup dan ornamen yang mirip Kartini lainnya. Salon, entah yang kelas ndeso sampai papan atas, biasanya mulai dijejali permintaan untuk mendandani.  Atau kalau sempat, si anak dirias sendiri, meski kadang-kadang terlihat belang belonteng.

MENGAPA KARTINI? Apakah ketika perempuan dianggap masih menjadi bagian subordinasi dari laki-laki perlu satu personifikasi  pahlawan sebagai representasi perlawanan? Rasanya terlalu sederhana kalau posisi Kartini hanya ditaruh di pemahaman seperti itu. Karena Kartini yang hidup dalam ‘penjara’ darah biru, tidak melawan dengan pemberontakan senjata. Malah kadang dianggap terlalu lemah sebagai simbol gerakan perempuan.  Atau tudingan Kartini adalah sosok pahlawan bentukan [bukan] Indonesia, karena sebenarnya banyak tokoh lain yang secara karya jauh lebih layak dijadikan simbol.

Lupakan perdebatan sejarah itu.  Kembali ke era sekarang ketika semua tetek bengek tentang pahlawan agak dilupakan. Ketika kesetaraan laki-laki dan perempuan kerap diperebutkan. Sebenarnya apa yang diperlukan sekarang ini? Sosok pahlawan yang bisa menjembatani atau sosok yang dipakai sebagai simbol? Ketika menulis ini, saya bisa dianggap tidak perspektif jender oleh kaum perempuan, atau dianggap berkhianat oleh kaum laki-laki. Oh ya, saya masih laki-laki hingga saat ini ya.

Tiba-tiba ide liar saya bermunculan. Saya membayangkan sosok pahlawan emansipasi yang bisa disepakati laki-laki dan perempuan. Saya tidak menawarkan sosok hebat sebagai solusi, tapi sekadar nama yang silakan dipakai sebagai mitos, simbol atau perlawanan dan kesetaraan. Bukan sekadar ide kosong, tapi inilah identitas satu hegemoni bernama emansipasi. Betul, saya memberi sosok itu bernama KARTINO. Kalau Kartini mewakili perempuan, Kartono dibalik sosok lelaki, jadi masih sering biasa. Nah. Kartino adalah pengejawantahan emansipasi dalam segala ujudnya. Silakan dianalogikan sebagai perempuan, ketika perempuan bicara, atau laki-laki ketika laki-laki bicara. Sah-sah saja. 

Emansipasi itu berlaku di semua derajat. Menurut Karl Marx, emansipasi  manusia adalah, "kesamaan derajat warganegara perseorangan dalam hubungannya dengan negara, kesamaan di depan hukum, tanpa memandang agama, harta benda, atau ciri orang perorang 'pribadi' lainnya." 

Di musik? Kalau masih ada yang mempersoalan jender dari bagian berkarya dan musikalitasnya, rasanya orang itu mending tinggal di padang pasir Sahara saja.

Dan KARTINO adalah penggandeng dua kubu beda kelamin ini...