Minggu, 10 April 2011

Keliaran Pemikiran -- Terjadi 'Pembantaian Tuhan' Disini

UNTUK “keliaran” pemikiran, tumbalnya adalah tudingan “aneh, atheis, berdosa, penghuni neraka & durhaka” – mengerikan bukan? Tapi apakah tudingan itu membuatku bergerak mundur dan menjadi kucing manis yang enak dielus, diberi susu dan tertidur? Maaf, siapa yang bisa memasung pemikiran, bahkan sekalipun kita sedang terpasung?
Saya ingin mengatakan, bukan perkara tidak ada seorang pun yang berhak dan bisa memenjarakan pikiran. Tubuh ragawi boleh saja terinjak dan terpenjara di tempat yang paling tersembunyi, tapi pikiran tetap akan bebas, sebebas-bebasnya. Dia – pikiran itu—akan tetap mengembara kemana dia suka. Mungkin akan dicerca, dihina, disiksa, tapi dia tak bisa dimatikan.
Saya tidak sedang mengajak untuk setuju dengan saya, bahkan menolak keras pun tidak jadi masalah dengan saya. Saya hanya mengajak untuk melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda. Tidak lazim mungkin, tapi mengapa tidak?
Ini bukan omong kosong, melainkan sesuatu yang benar-benar terjadi. Ini adala realitas kehidupan dari dulu hingga sekarang. Fenomena ini kerap dipandang sebelah mata oleh kalangan-kalangan tetentu, padahal jika mereka bersedia menelisik kedalaman makna, mereka akan menemukan sesuatu yang besar yang sanggup dijadikan perenungan, permenungan serta refleksi terhadap realitas yang ada. Mereka tidak akan menganggap bahwa kata-kata ini bukan sebuah kata bualan yang terpancar dari mulut seorang radikal ateistik.
Andaikan kata-kata ini benar merupakan ujaran dari seorang radikal ateistik, paling tidak mereka dapat mengambil sisi baiknya, sebab segala sesuatu yang ada pasti mengandung nilai yang dapat diambil dan dijadikan sebuah pembelajaran bagi diri pribadi. Coba, cermati serta telisik kembali ungkapan ini serta kantongi nilai-nilainya.
Ini merupakan harapan serta tantangan bagi anda semua untuk bisa menghargai kata kata atau pengujarnya agar tidak selalu berpandangan picik atau culas terhadap realitas hidup dan kehidupan yang sedang menyapa. “Tuhan telah mati!”! Ungkapan Nietzsche dalam Sabda Zaratustranya inilah yang dari zaman dahulu sampai sekarang seolah-olah menjelma sebagai virus dalam diri manusia. Virus ini terus menggerogoti logika dan perasaan manusia.
Ungkapan ini selalu dianggap sebagai virus yang mematikan yang harus segera dibumihanguskan. Padahal jika diperhatikan lebih jauh, ungkapan ini merupakan cambuk pengingat bagi mereka yang telah lalai. Cambuk bagi mereka yang selalu mengutamakan esensi dan eksistensi pribadi hingga mereka menjual, mematahkan dan bahkan membunuh eksistensi Tuhan dalam dirinya.
Ungkapan “Tuhan telah mati”mengandung nilai filosofis yang begitu dahsyat Kematian ini bukan mengarah pada kematian esensi (dzat), melainkan mengarah pada kematian eksistensi (wewenang dan perintah) Tuhan dalam diri seorang manusia.
Secara kodrati, dzat Tuhan bersifat kekal dan abadi. Keberadaanya selalu ada melampaui ruang dan waktu serta menjadi poros kehidupan. Begitu juga dengan eksistensi Tuhan. Secara kodrati eksistensi Tuhan juga bersifat kekal dan abadi, namun dalam realitasnya eksistensi inilah yang kerapa dikebiri oleh pribadi seseorang. Ia kerapa dibantai dan ditiadakan.
Bentuk pembantaian serta peniadaan eksistensi Tuhan mungkin terlihat jelas pada waktu itu, sehingga dengan seketika pula Nietzsche mengujarkan kata-kata tersebut. Pada waktu itu manusia banyak yang beralih pandangan. Mereka selalu mengejar kenikmatan duniawi yang bersifat sementara dibandingkan dengan mengabdi kepada Tuhan. Mereka menghalalkan segala cara demi kepuasan tersebut.
Mereka kerap berbuat curang, culas terhadap sesama, dan bahkan mereka kerap membuat kerusakan-kerusakan di muka bumi hanya demi kepuasan nafsiahnya semata. Di sinilah letak pembantaian dan peniadaan eksistensi Tuhan dalam diri seorang manusia. Wewenang dan perintah-Nya untuk bertaqwa dan tidak membuat kerusakan di muka bumi telah di kebiri dan ditiadakan dari dalam diri pribadinya.
Tuhan seolah tidak ada hingga mereka berbuat sewenang-wenang dan semaunya. Tidakkah telah terungkap jelas, bahwa nafsulah yang telah mengantarkan manusia berada dalam lembah kesesatan. Dialah pengantar manusia untuk berbuat ingkar kepada Tuhan. Olehnya, manusia kini telah beralih melakukan pengagungan dan pemujaan terhadap hakekat Tuhan yang sejati. Manusia telah beralih menuhankan benda-benda, harta, tahta dan lain sebagainya yang merupakan perhiasan dunia yang bersifat semu dan menipu. Orientasi hidupnya kini telah berbelok menuju kebendaan duniawi.
Masih banyak simbol-simbol lain yang merupakan bentuk pembantaian dan
pembunuhan terhadap penuhanan benda-benda keduniawian, yaitu harta, tahta dan lain sebagainya.
Lalu, masihkah “keliaran” pemikiran itu dihujat sebagai meremehkan dan kurang ajar kepada Tuhan? 

Kamis, 07 April 2011

Menjadi 'Pembunuh' TUHAN - Kegilaan Atau Kegelisahan?

JUDUL  yang  saya pakai ini, sudah barang tentu akan membawa kejutan kepada kaum “moralis” dan “rohaniwan’ yang setiap hari berkutat dengan ‘ke-Tuhan-an’ dan ‘ke-Ilahi-an’ sebagai satu-satunya kebenaran mutlak yang tak bisa diganggu gugat. Tuhan, ajaran dan Kitab Suci adalah kebenaran absolute yang bahkan tak boleh dikritisi sedikit pun. Berani mengkritisi? Bersiap-siapkah dicap murtad dan menyempal.

Nietzsche dicap sebagai filsuf ‘pembunuh Tuhan’. Pasalnya, pernyataannya yang kontroversial dan melambungkan namanya kepada deretan filsuf “gila” mengatakan satu istilah latin ‘requeiem aeternam deo’ [istirahat kekal bagi Tuhan]. Artinya, Tuhan sudah mati dan beristirahat dengan nyaman dan aman serta tenang di pusaranya. Apakah filsuf asal Jerman ini sudah gila dan tidak punya pemahaman teologis yang kuat, sampai berani mengatakan begitu?

Nietzsche mungkin orang yang sangat menguasai keilmuan tentang Tuhan atau teologis. Dia lahir dari keluarga [Kristen] Lutheran yang amat –betul, amat taat. Moyang sampai kedua orangtuanya adalah petinggi-petinggi gereja yang sangat dihormati.  Bahkan Nietszche sendiri sebenarnya adalah calon pendeta sebelum menemukan belokan iman yang mengguncang keluarga dan dirinya sendiri.

Tentu saja pola pikir ini menggegerkan keluarganya yang dikenal sebagai Kristen [amat] taat. Dan gereja tempatnya bernaung pun pernah memberikan  semacam teguran atau pamerdi kepadanya. Tapi apa jawabnya? “Gereja-gerejan kan hanya menjadi makam-makam dan nisan-nisan bagi Tuhan.”

Nietzsche akhirnya memang mengakui hanya ada satu kebenaran, yaitu “tidak ada kebenaran” itu sendiri.

+++

Tidak. Saya tidak akan mengajak Anda yang membaca tulisan ini untuk menjadi “pembunuh” Tuhan seperti Nietzsche. Atau mengajak Anda mempertanyakan “kehidupan” Tuhan yang sudah “dibunuh” oleh filsuf yang aforisme-nya berjudul ‘Orang Gila’ menjadi perdebatan banyak filsuf lain, bahkan sampai saat ini. Saya juga tidak sedang menganjurkan Anda untuk “setuju” atau “menolak” gagasan-gagasannya. Biarkan pilihan itu menjadi pilihan Anda sendiri, bukan berdasar rasio dan [hanya] tulisan saya ini.

Saya membaca pemikirannya dan mengagumi keberanian seorang Nietzsche ini.  Kegilaannya pada pencarian dan kegelisahan [dimana  filsafat sangat mengagungkan kegelisahan ini] membuat menemukan banyak hal yang tak terbatas. Tapi dia menjadikan pencariannya itu sebagai sebuah kegembiraan yang membuatnya bisa “membunuh Tuhan” – menertawakan ilmu pengetahuan dan logika, menghina metafisika hingga memberikan “keraguan” kepada pemujanya.

Buat saya pribadi, kegelisahan, keraguan dan kegembiraan filsuf ini menyenangkan untuk diikuti. Saya tidak bicara dalam tataran “beriman” atau “tidak beriman” yang berlaku umum, tapi sebuah proses pendewasaan dengan logika berpikir yang linier.  Gagasannya memang kontroversial dan mengagetkan, bahkan ketika didiskusikan sampai saat ini.

Ajakannya “membunuh Tuhan” pasti bakal mengguncang iman kita. Tapi saya menyarankan –seperti sering dikatakan dosen filsafat saya—ketika membahas hal ini, letakkan Tuhan di laci meja dulu. Setelah selesai berdiskusi, ambil Tuhan dan silakan ditaruh di posisi terhormatnya lagi.

Saya tidak meminta Anda setuju, tapi saya juga tidak meminta Anda untuk tidak setuju. Ini wacana filsafat yang buat saya mendewasakan keimanan pribadi. Bagaimana dengan Anda?

[semarang, 1 november 2010, 8.36 wib – ingin selalu menggagas dialog tentang Tuhan]

Marah Kepada TUHAN? Kenapa Tidak....

GAGASAN  tentang marah kepada Tuhan mungkin terasa seperti kembali ke zaman dahulu. Tapi, psikolog Case Western Reserve University, Julie Exline mulai melihat "kemarahan pada Tuhan" dengan cara baru. 


"Banyak orang mengalami kemarahan terhadap Tuhan," jelas Exline. "Bahkan orang-orang yang sangat mencintai dan menghormati Allah dapat menjadi marah. Sama seperti orang menjadi kesal atau marah dengan orang lain, termasuk orang-orang terkasih, mereka juga bisa menjadi marah dengan Tuhan." jelas Exline seperti dimuat dalam situs psysorg.

Exline, seorang profesor di Case Western Reserve's College of Arts dan Sciences, telah meneliti kemarahan terhadap Allah selama dekade terakhir, melakukan studi dengan ratusan orang, termasuk mahasiswa, orang yang selamat dari kanker dan anggota keluarga yang dilanda duka.

Dia dan rekan-rekannya melaporkan hasil mereka dalam artikel, "Kemarahan terhadap Allah: Prediktor Sosial-kognitif, Prevalensi, dan Link dengan Penyesuaian terhadap Dukacita dan Kanker" dalam edisi baru Journal of Personality and Social Psychology.

“Kemarahan terhadap Allah sering bertepatan dengan kematian, penyakit, kecelakaan atau bencana alam. Namun kemarahan tidak terbatas pada situasi traumatik. Hal ini juga dapat muncul ketika orang mengalami kekecewaan pribadi, kegagalan, atau sakit interpersonal. Beberapa orang melihat Allah sebagai yang bertanggung jawab untuk semua hal tersebut, dan mereka menjadi marah ketika mereka beranggapan Tuhan telah kejam atau tidak peduli. Mereka mungkin berpikir bahwa telah ditinggalkan, dikhianati Allah.” kata Exline.

 Exline menulis, “Mungkin sulit bagi orang untuk mengakui kemarahan mereka terhadap Allah. Banyak orang yang malu dan tidak mau mengakui perasaan mereka,” katanya. “Secara khusus, orang-orang yang sangat religius mungkin percaya bahwa mereka harus berfokus hanya pada sisi positif dari kehidupan beragama.” tambahnya.

"Tapi agama dan spiritualitas seperti domain lain dari kehidupan, seperti pekerjaan dan hubungan," kata Exline. "Mereka membawa manfaat penting, tetapi mereka dapat membawa kesulitan juga. Kemarahan dengan Tuhan adalah salah satu perjuangan," dia menambahkan.

Menurut temuan Exline, Protestan, Afrika Amerika, dan orang tua cenderung kurang keluhkan kemarahan kepada Allah; orang-orang yang tidak percaya pada Tuhan mungkin masih melabuhkan; dan kemarahan terhadap Allah adalah yang paling menyedihkan bila sering, intens, atau kronis.

Mengatasi marah pada Tuhan, katanya, mungkin memerlukan beberapa langkah-langkah yang sama yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah kemarahan lainnya.

"Orang-orang dapat mengambil manfaat dari cerminan lebih dekat pada situasi dan bagaimana mereka melihat peran Tuhan di dalamnya," papar Exline. "Misalnya, mereka mungkin menjadi kurang marah jika mereka memutuskan bahwa Tuhan tidak benar-benar bertanggung jawab atas peristiwa menjengkelkan, atau jika mereka dapat melihat bagaimana Tuhan telah membawa beberapa makna atau manfaat dari situasi yang menyakitkan." jelasnya lebih jauh.

“Orang yang merasa marah terhadap Allah juga perlu diyakinkan bahwa mereka tidak sendirian. Banyak orang mengalami perlawanan yang sama,” katanya. Itu menunjukkan bahwa orang mencoba untuk terbuka dan jujur dengan Tuhan tentang kemarahan mereka, daripada menarik diri atau mencoba untuk menutupi perasaan negatif mereka. (physorg/dik)