KEBERAGAMAN dan ke-bhineka-an, membuat pasangan drummer Sri Aksana Sjuman dan Titi Handayani Rajo Bintang menemukan cinta. Dan kemudian menjadi spirit dalam mendidik dan membesarkan anaknya kelak. “Kita maunya, anak kita nanti bisa merasakan indahnya sebuah perbedaan,” kata dua musisi yang memilih jazz sebagai basic bermusiknya.
JATUH CINTA memang sejuta rasanya. Hal itu dirasakan oleh Aksan ketika mengajar seorang murid bernama Titi. Ketika itu, mantan drummer Dewa 19 ini adalah pengajar di salah satu sekolah musik, dan Titi adalah seorang muridnya.
“Dia kelihatan menarik, smart dan nyambung dengan apa yang saya omongkan,” celetuk anak pasangan sutradara Sjuman Djaja dan pebalet, Farida Oetoyo ini sembari tersenyum.
Aksan mengaku, dia memang jatuh cinta duluan. “Tapi ketika itu saya gengsi untuk ngaku,” ujarnya buka rahasia. Masalah lain, Titi ketika itu –Aksan menyebut tahun 2000an—masih duduk di bangku SMA, sementara Aksan sudah ngetop sebagai drummer papan atas.
Kedekatan itu ternyata menguntungkan ketika Aksan dan Titi memilih bersahabat dekat. Meski awalnya sama-sama sudah punya pacar, persahabatan itu toh menjadi sarana yang asik untuk saling sharing. Sampai suatu titik, Aksan merasa sering kehilangan kalau nggak ketemu Titi.
“Saya merasa lebih kehilangan ketika tidak bertemu atau bersama dia. Padahal ketika itu kita belum pacaran,” aku laki-laki berdarah Solo ini. Setelah bersahabat selama dua tahunan, Aksan dan Titi akhirnya sepakat untuk pacaran.
Perbedaan usia yang cukup jauh, ternyata tak menjadi kendala berarti buat dua insan ini. Aksan yang kelahiran Jakarta 22 September 1970, ternyata bisa connect dengan Titi yang lahir di Jakarta 10 Februari 1981. Perbedaan 11 tahun sempat membuat orang-orang dekat mereka meragukan keseriusan hubungan mereka. “Padahal kita sih asik-asik saja,” celetuk alumnus Institut Musik Daya Indonesia [IMDI] Jakarta sambil terkekeh.
Yang lucu, menurut Titi, Aksan sebenarnya sudah melamarnya sampai tiga kali selama pacaran.
“Tapi aku menolaknya, karena berbagai alasan termasuk kesiapan mental menjadi seorang istri,” kenang perempuan yang awalnya sempat ditentang orangtuanya Idham Rajo Bintang dan Susy Aryani, ketika memutuskan menjadi drummer [dan musisi]. Sampai ketika malam tahun baru 2004, saat manggung di GWK Bali [kebetulan Titi ikut], Aksan melamarnya [lagi] di belakang panggung.
“Aku sempat sebel, karena sebelumnya dicuekin habis sama Aksan. Tapi ketika dia melamar lagi, aku nggak bisa ngomong apa-apa dan mengiyakan,” kenang cewek yang tumbuh di daerah Maninjau, Sumatera Barat. Minggu, 15 Agustus 2004, di Masjid Al Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Aksan dan Titi akhirnya disahkan menjadi suami istri.
Perkawinan mereka menjadi perkawinan dua budaya yang berbeda. Titi berdarah Sumatera yang ceplas-ceplos dan kadang meledak-ledak, sementara Aksan tumbuh dalam budaya Jawa di-mix dengan style Jerman. Aksan sempat kuliah beberapa tahun di Folkwang Hoechschule Essen Jerman, jurusan Jazz Studiengang. Gaya hidup Eropa, membuatnya menjadi orang mandiri dan cuek. Lucunya, Aksan masih serig terkaget-kaget ketika Titi ceplas-ceplos. “Itu karakter Jawanya, ha..ha,” ucapnya terbahak.
Sementara Titi melihat Aksan yang lebih dewasa, adalah sosok yang penyabar dan cerdas.
“Aku termasuk orang yang susah jatuh cinta, tapi ketika melihat Aksan aku suka karena wawasannya luas dan bisa diajak ngomong apa saja,” papar Titi, yang kini jadi dosen di IMDI.
Dua kutub, dua karakter dan dua emosi yang berbeda itu, ternyata bisa membuat mereka saling ngerem. Dalam bahasa Titi, yang ‘lucunya’ sempat meraih penghargaan ‘'Aktris Pendatang Baru Terbaik' Indonesia Movie Award [IMA] 2008, “Ketika Aksan ngebut, aku yang ngerem, begitu sebaliknya, ketika aku sedang kencang, Aksanlah yang menjadi penyeimbang,” tukas perempuan yang mas kecilnya sering main teater ini sambil melirik suaminya. Titi juga mengaku, ketika pacaran tanpa tedeng aling-aling ‘mempertontonkan’ karakter masing-masing.
“Jadi kita sudah tahu jelek-jeleknya ketika pacaran. Saat menikah ya santai saja,” terang Titi.
ANAK YANG PEDULI
Titi dan Aksan tak menampik ketika disebut masa kecil mereka sudah berkecukupan. Bagaimana tidak, Titi adalah anak pengusaha hotel di Sumatera Barat, sementara Aksan punya orang tua sutradara film dan pebalet terkenal. Dimanja? Sombong? Atau mungkin merasa berbeda dengan kawan-kawan lain?
“Justru karena itu, dari kecil saya malah milih naik bis kota rama-ramai kalau sekolah soalnya malu kalau dijemput pakai mobil,” kenang Aksan. Apalagi kemudian ayahnya menyelipkan nilai-nilai nasionalisme dan sosial kepada Aksan. “Saya beruntung punya orangtua yang sangat toleran dan sosial,” imbuhnya.
Begitupun Titi. Meski ayahnya adalah orang yang pertama membangun hotel di Maninjau, tapi perempuan yang awalnya ‘sangat tomboy’ ini tak mau terkungkung pada ‘tembok kekayaan’ itu. “Saya mana betah degan model hidup seperti itu. Jadi ya mainnya dengan anak-anak lain juga. Nggak beda-bedainlah,” tegas cewek yang sering berkutat dengan musick scoring film ini kalem.
Tidak membedakan dan menerima perbedaan itulah yang kemudian ditularkan kepada anaknya, Miyake Shakuntala Sjuman. “Anak itu kan selalu ingin bermain, jadi kita biarkan dia bermain dan kita awasin saja,” jelas Titi. Aksan dan Titi mengaku bukan termasuk orangtua yang suak melarang anak-anaknya untuk melakukan aktivitas.
“Dia mau kotor-kotoran, dia mau hujan-hujanan, atau dia belepotan lumpur misalnya, kita nggak akan marahin. Biarin saja dia bereksplorasi,” tegas perempuan yang pernah kecewa karena batal duet bersama grup kondang asal Amerika Serikat, The Manhattan Transfers, di Java Jazz 2008.
Soal lingkungan hidup dan lingkungan sosial, menjadi salah satu concern pasangan musisi yang pernah bersama membuat ilustrasi musik pada film, di antaranya film The Photograph dan 6:30, untuk Miyake yang lahir di Jakarta, 4 November 2005 silam.
“Selain sekolah, di rumah saya juga membiarkan dia bermain-main dengan teman-temannya di halaman. Kadang-kadang main dengan anak kampung juga nggak masalah,” terang Aksan. “Soal lingkungan hidup, atau global warming, meski dengan cara yang sederhana soal buang sampah misalnya, tapi kita ingin ajarkan kepada Miyake,” papar Titi dan Aksan serempak.
“Karena kita sudah melahirkan Miyake, kita juga harus kasih lingkungan yang sehat dan menyenangkan. Jangan dipenuhi dengan adegan kekerasan atau kekacauan, termasuk lingkungan hidupnya,” terang Aksan, yang pernah merilis album solo “Peaceful Journey” tahun 2004 silam bersama musisi jazz international : Joe Rosenberg, Peter Scherr, Masako Hamamura dan Eugene Pao.
Miyake juga bergaul dengan anak-anak pembantu yang bekerja di rumah mereka. “Kita pelan-pelan memberi penjelasan pada anak kita, tidak semua orang beruntung. Kita ingin dia bisa baik dan respect pada semua manusia kelak,” tegas Titi.
Hiruk pikuk Jakarta dan persoalan udara bersih, juga masuk perhatian pasangan ini. “Kalau memang kelak Jakarta sudah semakin tidak sehat, bisa saja kita putuskan untuk pindah, ke Bali milsanya,” tegas Aksan. “Sekarang memang apa-apa yang kita lakukan sudah tidak berpikir hanya untuk kita berdua,” imbuh Aksan.
Aksan dan Titi juga orangtua yang tidak memaksakan sekolah tertentu untuk anaknya. “Sekolah penting untuk sosial dan melatih kepekaan anak. Tapi kita juga perhatikan sisi bermain dan emosi anak. Kalau dia nyaman dan senang, ya lanjut,” kata Titi. Soal mahal tidaknya, Titi dan Aksan tidak terlalu persoalan. “Kalau bisa sih nggak mahal-mahal, tapi benar-benar memperhatikan dan fokus ke anak,” repet perempuan pemilik rambut panjang lurus ini kalem.
Punya orangtua yang musisi, Miyake kemudian tumbuh dalam suasana musikal yang kental. Tapi Aksan dan Titi justru tak mengharuskan anaknya kelak bakal jadi musisi juga. “Kalau bisa jadi dokter,” celetuk Titi sembari terkekeh. Dari kacamata Aksan –kini sibuk sebagai drummer POTRET bareng Melly Goeslaw dan Anto Hoed—mereka tetap akan mengajarkan musik, karena memang membantu tingkat emosi dan kecerdasan anak. “Tapi kelak dia mau jadi apa, kita nggak akan paksakan,” tegas drummer jazz yang menyebut musiknya dengan “21st Century Music”
Berlibur di luar Jakarta, menjadi pilihan pasangan ini ketika mengajak Miyake jalan-jalan.
“Biasanya kita pilih pantai Ancol atau Taman Safari, supaya bisa terbebas dari pengapnya Jakarta,”celetuk Titi sambil tertawa ringan. Meski “resah” dengan Indonesia, Aksan dan Titi tak pernah berpikir untuk pindah dari Indonesia. “Kalau pun pindah, tetap di Indonesia kok,” sahut Aksan, yang juga ngebentuk Aksan Sjuman & The Committee Of The Fest Experimental.
*obrolan ini dimuat di majalah parentguide jakarta, edisinya lupa...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar