Kamis, 17 Juli 2014

SUMELEH, Derajat Tertinggi Kemanusiaan

HARI INI, aku mendapat pencerahan. Dari sebuah dialog singkat. Bicara kerelaan. Masih ada korelasinya dengan cinta, dalam arti yang lebih luas, tidak sekadar relasi perempuan dan laki-laki. Benarkah kita –manusia—nyaris tak punya kerelaan ketika harus berbagi dengan orang lain? Ketika harus melihat kebahagiaan orang lain?

Mencapai tataran “rela” dengan ikhlas, bukan perkara mudah. Tokoh-tokoh besar agama pun tidah mudah mencapai tataran itu. Padahal konon kabarnya mereka mendapat tuntunan secara lisan dari penguasa jagat.

Benar, kerelaan memang harus menafikan ego. Kerelaan itu harus berkacak pinggang, meski kemudian kita melepaskannya dengan senyum. Dalam sebuah dialog historis materialis dialektika, saya mendapatkan satu wejangan yang sebenarnya sederhana tentang kerelaan. Mereka menyebutnya ‘sumeleh’ – dalam konteks Jawa, artinya berserah dan rela dan ikhlas. Konsepsi ini nyaris tak terbersit dalam benak saya, sampai kemudian saya mendapat makna yang lebih mengena.

Mencintai dan kerelaan itu letaknya di dalam hati. Sehingga bukan bagaimana membunuh atau mengusirnya, tapi bagaimana membiarkannya di sana, hidup tanpa tekanan dan tanpa bantuan. Ada spirit, pengalaman spiritual, perdebatan batin dan pencarian makna hidup, untuk benar-benar akhirnya bisa menjadi satu garis lurus bernama kerelaan. Lalu apa korelasinya dengan cinta? Saya harus mengatakan, cinta disini adalah pengalaman pribadi dalam makna yang seluas-luasnya. Bukan dipersempit hanya relasi “cinta” dengan lawan jenis.

Pernah kita menyadari, mencintai seseorang itu tak harus ada di sisi kita, tak harus bisa kita lihat wajahnya, tak harus bisa kita sentuh, tak harus bisa kita dengar suaranya. Benar, bahwa mencintai itu tidak harus hidup di dunia yang sama dengannya. Benar, bahwa mencintai itu mungkin saja berpisah.

Pernahkah kita belajar, yang terpenting dalam mencintai itu bukan bagaimana kita melupakan kesalahannya, tapi bagaimana kita bisa memaafkannya dengan tulus dan rela. Benar, bahwa dalam mencintai itu bukanlah bagaimana kita mempertahankannya dalam genggaman kita, tapi bagaimana melepaskannya dengan kerelaan penuh saat ia ingin pergi mencari kebahagiaannya.

Jika cinta ditanam dalam hati bukan oleh malaikat tapi oleh sosok yang kita puja, cinta itu pasti bermekaran dalam hati. Cinta yang tak pernah tertukarkan, dan pastilah kita tujukan pada dia yang menanamnya. Tapi apa mau di kata jika semua tak seindah itu. Maka, sepenuh hati kita kudu rela melepasnya. Waktu akan mendewasakan cinta.

Ternyata, sumeleh, kerelaan dan cinta itu linier…..

Akhirnya Menemukan 'Hidayah'

Mengapa saya begitu keukeuh bersikap setuju dengan pluralisme dan keberagaman? Sebenarnya sederhana saja, karena saya malu kepada pencipta manusia. Karena DIA –apapun sebutannya, bagaimanapun ujudnya—membuat dunia ini bnegitu beragama, tidak seragam pasti punya maksud. Dan kita manusia, yang menjadikan [maunya] seragam dengan apa yang kita mau. Nehi-nehi ya…

DALAM sebuah diskusi singkat dengan seorang kawan, muncul pertanyaan itu, mengapa saya selalu berusaha mempengaruhi, mengajak, berdiskusi, dan sharing tentang indahnya menjadi beragam. Ini berlaku di semua lini kehidupan ya. Agama, politik, sosial, budaya –semuanya terlibat. Lalu bagaimana diantara kita kemudian ada yang memaksakan menjadi homogen dan mengabaikan yang tidak sependapat?

Saya harus akui, dimensi pemahaman orang memang berbeda-beda melihat istilah pluralisme. Tidak semua orang juga setuju dengan istilah ini. Tapi yang paling rentan adalah wilayah keagamaan. Dan itulah gunanya pemuka agama apapun, mempunya pemahaman, wawasan dan keterbukaan menanggapi hal-hal tertentu. Kalau muncul kata “pokoknya”, itu tandanya Anda segera menyingkir, cari kerja baru atau minta pindah divisi, misalnya. Karena satu kata itu sejatinya kunci untuk menanggapi tanggapan.

Nurani saya terganggu ketika banyak teman menawarkan kepada saya untuk mencoba “agama” mereka, hanya karena saya kerap mengatakan: “Tuhannya satu, agamanya banyak!”. Kata-kata yang selalu ditudin pengingkaran saya kepada yang maha kuasa –versi teman saya pastinya. Sikap yang seharusnya kita munculkan terhadap perbedaan adalah toleransi antar sesama umat, menghindari diskriminasi terutama terhadap umat minoritas, dan menjalin hubungan yang harmonis. Meskipun agama itu berbeda, sebenarnya memiliki titik persamaan, yakni menyembah terhadap Tuhan yang sesungguhnya sama. Namun, pendapat seperti ini justru dianggap sesat dan menghancurkan keyakinan atau akidah umat.

Tulisan ini, bukan tulisan pertama yang saya gunakan untuk menyodorkan tentang pluralisme, dan tudingan aneh-aneh sudah biasa saya dengar dan terima. Termasuk dari teman-teman, dan yang menganggap saya teman. Padahal tujuan saya simpel: kembali ke akar manusia pertama. Siapa yang menciptakan agama? Tuhan? Manusia pertama? Ah, pertanyaan yang tidak pernah saya dapatkan jawabannya, dari agama manapun.

Kembali ke pluralisme. Mungkin juga saat ini ada yang sedang membaca tulisan saya ini dan kemudian mengatakan: saya tidak punya konsep keTuhanan yang jelas? Saya tidak punya konsep bahwa Tuhan bakal memberi sesuatu dengan cuma-cuma. Karena pujian, hinaan, dan kesengsaraan, sejatinya adalah perjalanan yang wajib didengar lagi, sebelum urusan surga neraka.

"Saya muak dengan teman, katanya temen, dan seolah temen yang berdandan bersama pemuka agama, seolah semuanya selesai dengan hanya berfoto dan bicara tentang ayat suci. Berbicara soal surga neraka, bicara soal moralitas, bicara soal tata krama. Obrolan yang sampai sekarang membuat saya kebingungan. Biarlah kita berteman dan respect dengan orang lain, tanpa buka mulut dengan bau bangkai, ngomporin orang lain untuk menjadi pengikut-pengikutnya".

Jangan katakan saya belum mendapat “hidayah”. Urusan hidayah, pencerahan atau terserah istilah yang digunakan, bukan urusan kita, saya dan Anda. Mengapa? Karena ketika kita sudah bicara hidayah, ujung-ujungnya adalah menggiring kita untuk menjadi sama dengan penyebut hidayah itu. Kalau saya mau, ya saya ikut dengan ikhlas. Tapi kalau saya tidak mau dan memang tidak pernah mau terlibat dengan urusan hidayah menghidayah itu, jangan paksa untuk mendapatkannya.

Marilah kita menghormati, respek, dan meredam keinginan pewartaan kalau hanya untuk membuat orang lain “ingin tersentuh” dengan kita. Berbuat baik, menyenangkan, perhatian dan bisa menjadi bagian dari pluralisme, menurut saya: itulah "hidayah" yang sesungguhnya.

Bhinneka [Seharusnya] Belum Terluka

Saya baru membaca dan melihat berita foto, di Irak, puluhan perempuan yang yang “diduga” pelacur, tewas diberondong sekelompok pria bersenjata. Konon –tulis berita tersebut—ini dilakukan untuk “membersihkan” kota dari dosa. Miris melihatnya. Bahkan pelacur pun, berhak hidup. Siapa berhak menentukan mati hidup seseorang?

+++
SAYA tidak akan membahas berita tersebut, karena terlalu politis. Tapi saya teringat satu kisah dalam alkitab, ketika ada seorang pelacur yang mencoba akan dirajam, karena dianggap pendosa. Dialognya begini: “Guru, wanita ini telah berbuat zinah..menurut taurat, harus dirajam sampai mati....jawab guru "Jika diantara kamu ada yang tidak berbuat dosa maka hendaklah yang pertama kali melempari batu." Dan satu persatu calon perajam itu undur diri, karena merasa tak satupun yang bersih dari dosa.

Tidak ada orang yang berhak menghakimi dosa orang lain. Oke, dia bersalah, secara hukum negara mungkin memang harus dihukum sesuai peraturan yang ada, tapi siapa yang berhak mengatakan dengan keras: “Dia berdosa!” Kita? Saya? Anda?

Inilah kegelisahan saya sebagai manusia, sahabat, kawan biasa, atau mungkin musuh –kalau ada yang menganggap begitu. Mungkin diantara kawan-kawan saya, ada yang jadi pelacur, jadi penjahat, jadi direktur, jadi polisi atau tentara, jadi kacung kampret, jadi penipu, jadi bajingan, jadi guru, jadi penggosip, atau jadi rohaniwan. Tapi apapun itu, kita tak berhak mengklaim dosa orang lain, seolah kita bersih dari dosa.

Namanya manusia kabarnya memang gudangnya dosa. Macam-macam. Kumpul si A, mungkin ngomongin B, kumpul C mungkin jelekin D, kumpul E mungkin menjatuhkan si F. Kita, menjadi merasa senasib dan bisa berkumpual baik, hanya ketika ada sahabt, atau kawan kita yang meninggal. Selebihnya, selalu merasa jauh lebih baik ketimbang yang lain. Selebihnya, merasa jauh lebih kere dari yang lain. Selebihnya, merasa jauh lebih kaya ketimbang yang lain, selebihnya merasa jaug lebih hebat ketimbang yang lain. Maaf, saya muak dengan asumsi-asumsi konyol itu.

Sampai detik ini, yang bisa membuat saya bisa bersahabat dengan siapapun adalah: ketulusan untuk menjadi teman, sahabat, atau bahkan keluarga. Mungkin kalau saya pilih-pilih berteman dengan yang kaya, hebat, posisi tinggi, hati saya hanya akan dipenuhi kepentingan-kepentingan omong kosong yang akhirnya meruntuhkan kemanusiaan saya. Kalau saya malas berteman dengan kawan saya yang gembel, miskin, jelek, dan tidak punya posisi tinggi dalam pekerjaannya, niscaya saya hanya jadi manusia yang sebenarnya merendahkan derajat kemanusiaan saya sendiri.

Apa sih hakikat pertemanan dan persahabatan? Ngomongin teman di belakang? Memilih menjadi “musuh” meski harus kehilangan humanisme yang sejati? Atau memilih pertemanan karena merasa senasib, seide dan selevel? Bullshit kawan-kawan. Buat saya, berteman ya berteman. Bahkan ketika engkau menipuku, bahkan ketika engkau menjatuhkan martabatku, bahkan ketika engkau melecehkan kemanusiaanku, bahkan ketika engkau merasa derajatmu lebih tinggi ketimbang aku. Saya tidak peduli, berteman [atau bersahabat], ya bersahabat saja.

Ini kegelisahan saya. Hidup saya hanya ingin berada diantara manusia dan kemanusiaan yang sesungguhnya. Tanpa syarat, tanpa embel-embel. Tapi kalau ada yang merasa dirinya lebih bersih dan merasa tanpa dosa: silakan rajam saya duluan.

Biarlah kita tetap dan selalu jadi sahabat yang Bhinneka Tunggal Ika

Jakarta, 15-07-2014

Senin, 25 November 2013

Siapa Mau Jadi "Pelempar Batu" Duluan?

Ketimbang hakim di pengadilan, kini banyak bertebaran “hakim-hakim” jalanan, yang merasa dirinya berhak menjadi hakim atas kesalahan orang lain. “Hakim-hakim” itu bermulut nyinyir dan menjaddi “tuhan” atas nama kebenaran mereka sendiri. Agama dan Tuhan, jadi “palu” untuk menjatuhkan hukuman.


SEKARANG ini, menjadi manusia adalah “kesalahan besar” menurut saya. Bukan tidak bersyukur dilahirkan sebagai makhluk paling sempurna derajatnya diantara makhluk lainnya, tapi justru karena derajat yang tinggi itulah, saya merasa “bersalah” menjadi manusia. Dalam kitab suci apapun, yang diklaim paling benar atau yang diklaim tiruan sekalipun, setiap manusia yang diciptakan, selalu dihembuskan dengan napas dan tetirah berupa sifat-sifat Tuhan. Siapa yang berani ngeyel tentang karakter Tuhan?

Tapi entah melupakan karakter itu, atau ternyata buah kuldi tentang pengetahuan yang baik dan buruk terlalu membuka mata manusia, bahwa mereka –manusia itu—bisa setara dengan Tuhan. Manusia cenderung menjadi makhluk yang mengabaikan catatan-catatan apik tentang penciptaan dan ruh Allah itu.

Kristen masuk Islam disebut sesat, Islam masuk Kristen dianggap murtad. Islam masuk Kristen dianggap bertobat, sementara Kristen masuk Islam dianggap mendapat hidayah. Begitu saja terus bolak-balik. Media ikut andil menyuburkan sektarianisme itu dengan “mengusik” persoalan keyakinan ini, dengan pihak-pihak yang pastinya senang “berkoar-koar”.  Mas, Mbak, urusan keyakinan itu, urusan personal! Bukan sekadar catatan tertulis di masjid, gereja, atau lembaga-lembaga keagamaan yang diakui. Silakan jadi public relations untuk agama masing-masing, tapi apakah orang lain tertarik atau tidak, sudah bukan urusan kita lagi.

Tapi ya sudahlah, mungkin memang “Tuhan” diciptakan oleh Tuhan lain, sehingga manusia mungkin saja dibuat oleh Tuhan yang berbeda-beda. Ya tidak heran, kalau kemudian mengklaim sebagai pemilik hakiki kebenaran karena Tuhannya memang ngomong begitu. Ini dengan asumsi, Tuhan memang ada banyak. Mungkin juga masing-masing “Tuhan” itu bersaing menciptakan manusia baik, tapi membolehkan untuk menyakiti, melukai, kalau perlu membunuh manusia ciptaan “Tuhan” lain. Mungkin loh ya...

Kita terlalu mudah menjadi “hakim” atas manusia lain, atas dasar kebenaran yang kita yakini. Kalau tidak “sama” berarti tidak benar, dan pasti salah. Saya punya banyak sahabat baik, tapi apakah mereka akan tetap menganggap saya sahabatnya kalau kemudian saya menjadi Kristen? Apakah mereka akan tetap bersahabat ketika saya memutuskan jadi Islam? Atau apakah saya tetap dianggap sebagai bagian persaudaraan, ketika saya mengatakan hanya percaya pada Tuhan, apapun agama si Tuhan itu?

Saya teringat peristiwa beberapa abad silam, ketika seorang “Manusia” dihadapkan pada pilihan sulit soal hukuman kepada pelacur yangg tertangkap massa. Mereka  ingin mengadili dengan merajam dan mungkin membunuhnya. Rakyat dan para pengikut berteriak, ”Orang ini berdosa, dia sudah mencemarkan hari suci dengan dosa percabulan yang maha berat, hukum rajam dia sampai mati”. Sang “Manusia” pusing tujuh keliling, karena manusia-manusia yang keras hati itu berbuat seolah mereka adalah Sang Maha Kuasa. Lalu Sang “Manusia” berkata dengan tenang dan lantang “Barangsiapa yang tidak berdosa, silahkan dia yang pertama kali melempar batu kepada pendosa ini”.

Siapa mau jadi “pelempar batu” duluan?


Minggu, 22 September 2013

Aku Cemburu, dan Aku Terbunuh Pelan-Pelan


Pernah merasakan cemburu? Entah kepada saudara, orangtua, atau pasangan kita mungkin? Rasanya macem-macem deh. Kadang marah yang benar-benar marah, sesekali mencari tahu siapa yang membuat kita cemburu, atau malah menjadi cemburu buta alias marah-marah tidak jelas karena perasaan yang berlebihan kepada pasangan kita.





BANYAK yang mengatakan, kalau cemburu itu bumbunya orang bercinta, rempah-rempah pedas dalam sebuah hubungan. Cinta tanpa cemburu –katanya—seperti sayur tanpa garam, lempeng saja rasanya. Banyak orang bilang cemburu adalah tanda atau bukti cinta. Katanya semakin besar rasa cintanya, semakin besar pula efek cemburunya. Selain tanda cinta, cemburu juga sering jadi pembenaran perilaku yang menyakiti. Benarkah begitu?



Dalam beberapa literatur bahasa, kata “cemburu” sama sekali tidak punya makna positif. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, cemburu itu “keirihatian, kesirikan, kecurigaan, kekurangpercayaan.” Masih belum lengkap? Oke, saya tambahkan dari dictionary.com: “cemburu adalah ketakutan, kecurigaan akan adanya ancaman, persaingan, ketidaksetiaan.” Kalau masih belum percaya juga, silakan buka beberapa kamus lain, untuk lebih meyakinkan Anda.



Saya ingin mengatakan, dimana unsur cinta dalam cemburu itu? Apakah ketika kita ketakutan, curiga, irihati, tidak setia, itu bagian dari kolam cinta yang menyenangkan? Saya sih bilang tidak!



Saya pernah merasakan “ketidaksehatan” soal cemburu ini. Ketika menjalin hubungan dengan seseorang, saya merasakan ketakutan kalau pasangan saya berpaling, saya merasakan kecurigaan kalau pasangan saya berselingkuh, saya merasakan orang lain yang dekat dengan pasangan saya adalah ancaman terhadap hubungan saya.  Semua hal yang tidak menyenangkan itu, saya rasakan hingga membuat saya merasa seperti “tembok ratapan” yang tiap hari dikunjungi tangisan dan kekuatiran.



Dalam  salah  tulisan dari Lexedeprasis tentang cemburu,  dituliskannya:  Ada 3 fase lengkap dari pola cemburu dalam hubungan cinta : 1. menutup diri, 2. menutup asset, dan 3. menyerang. Tidak ada satupun fase yang sehat, itu artinya tidak ada cemburu yang sehat. Cemburu pasti dan selalu merusak. Cemburu tidak bikin Anda lebih sayang atau  cinta, karena justru menyabotase, melemahkan, mengerdilkan kemampuan kita untuk mencintai. Cemburu bersumber dari rasa takut, dan rasa takut adalah pembunuh nomor 1 dalam hubungan cinta. 



Dan ternyata, kita lebih suka “terbunuh pelan-pelan” dengan cemburu itu, termasuk saya….


Jumat, 19 Juli 2013

Yuk, Belajar Melibatkan Mata Batin

BELAJAR melihat yang tidak tampak, --tidak ada hubungannya dengan lelembut ya—ternyata bukan perkara mudah. Ini bicara soal penghakiman kita atas orang lain, yang keluar dari mulut kita karena melihat apa yang tampak di permukaan saja. Saya terus-menerus menjadi “murid” untuk tahu bagaimana seharusnya melihat, mengapresiasi, mungkin menghakimi, orang lain, tapi tetap mencoba cari tahu bagaiman kehidupan yang tidak tampak oleh kita.

Melihat apa yang tampak apa adanya untuk sekarang ini menjadi sangat lumrah. Orang mulai lupa tentang melihat jauh kedalam hati sanubari seseorang. Wajar memang, penampilan luar adalah yang nampak untuk dinilai awal pertama kali mengenal seseorang. Bagaimanapun juga penampilan luar menjadi mudah untuk kita nilai karena ini kelihatan untuk bisa lebih mudah ditebak. Melihat penampilan luar, kemudian menjai hakim atas perilakunya yang tidak kita setuju, rasanya sudah jamak dilakukan manusia.

Tapi bagaimana kalau saya mengajak, kita menjadi manusia baru yang bisa memperhatikan sikap, perilaku, dan pemikiran seseorang yang ingin kita “hakimi” dengan lebih jernih. Bagaimana kita melihat orang yang hobinya minjem duit terus, tapi perspekstif psikologinya? Bagaimana kita melihat kawan kita yang hobinya main perempuan, dari sisi karakter dan kisah hidupnya? Atau bagaimana kalau kita melihat kawan kita yang gengsi untuk mengakui kekurangannya, dengan melihat perjalanan hidupnya?

Saya pernah “iseng” ingin melihat reaksi orang lain, jika saya terlihat urakan, ugal-ugalan, dan sedikit rock n’roll. Suatu ketika saya ingin menjual kalung dengan permata ke salah satu toko emas terkenal di salah satu mall besar di Jakarta. Saya memakai kaos bergambar tengkorak, bertuliskan nama band metal favorit saya. Kemudian celana jeans yang sudah sobek di dengkul, dan sepatu converse yang sudah butut. Ketika saya masuk, outletnya sedang sepi. Beberapa karyawannya sedang ngobrol di pojok ruangan. Kedatangan saya tidak disambut layaknya customer. Ketika saya melihat-lihat pun, mereka masih cuek hanya melirik. Baru ketika saya mengeluarkan anting permata dengan sertifikat resmi yang ingin saya jual, mereka beringsut ramah dan baik hati.

Itu sekadar contoh saja. Tapi hal-hal seperti itu mungkin pernah Anda alami dalam konteks yang berbeda. Bagaimana Anda dihakimi karena penampilan Anda yang tidak terlihat keren, rapi, ganteng, cantik atau kumuh? Saya teringat cerita masa kecil di salah satu koran di Semarang. Seorang petani, dengan memakai sarung dan kaos kumuh mondar-mandir di showroom mobil. Boro-boro bertanya, karyawannya malah memelototi petani itu dengan rasa curiga yang amat sangat. Ketika petani tersebut bertanya soal salah satu mobil, karyawannya malah ngacir. Sampai akhirnya ada salah satu karyawan perempuan yang –mungkin—kasihan, nyamperin bertanya apa keperluannya dengan ramah. Sembari menunjuk salah satu mobil, petani tersebut mengatakan: “Saya mau beli yang ini!” Sembari membuka sarungnya, petani tersebut mengatakan, “Saya mau bayar lunas sekarang,” katanya sembari memperlihat lipatan uang jutaan dalam sarungnya.

Ilustrasi lain terinspirasi dari lagu Titik Puspa, “Kupu-Kupu Malam’.  Anda yang laki-laki mungkin hanya bisa mengatakan: “Pakai, bayar, kelar!” sementara yang perempuan mungki mendamprat, “Dasar perusak rumah tangga!”. Hanya itu? Saya pernah mewawancarai seorang PSK untuk riset tulisan dan buku. Dia janda anak 1 yan sudah beranjak remaja. Suaminya meninggal dan dia harus menghidupi anak, dan orangtuanya yang miskin. Klise memang, tapi begitulah realitanya. Keluarga dan anaknya jelas tidak tahu apa yang dilakukannya. Pokoknya ada uang dan kesejahteraan.

Kisah lain muncul dalam Alkitab. Seorang pelacur yang mengalami pendarahan, berusaha menjamah jubah Yesus. Karena dia yakin, hanya dengan menjamah jubahnya, sakitnya akan sembuh. Tapi karena ditutup oleh murid-muridnya, perempua tersebut kesulitan. Apalagi orang sekelilingnya juga meremehkan perempuna tersebut karena tahu dia pelacur. Dan benar- ketika berhasil menyentuh jubah Yesus, sakitnya tersembuhkan. Kemudian Yesus menoleh dan memberkatinya.

Dari beberapa ilustrasi di atas, saya hanya ingin mengatakan, hati-hati menghakimi seseorang dengan ucapan yang mungkin menyakiti, melemahkan, atau membuat dendam dan luka batin. Jangan karena yang tampak membuat kita kesal jengkel, sebal dan benci, kita boleh mengucapkan serapah apapun kepada orang lain. Melihat dengan batin, menyadari bahwa semua manusia terlahir sama, mungkin akan membantu kita memahami seseorang. Mudah? Amat sangat tidak. Tapi bukan sesuatu yang mustahil.


Kita memiliki mata untuk melihat. Namun penglihatan kita ada batasnya. Bahkan terkadang betapa mudahnya kita tertipu oleh apa yang kita lihat. Ternyata tidak semua yang kita lihat sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Orang yang arif tidak akan melihat hanya pada apa yang terlihat. Dia melihat tidak hanya dengan mata kepalanya, tapi juga melibatkan mata hatinya.

Sabtu, 01 Juni 2013

IBU, Bahagiamu Bukanlah Matematika

“cinta seorang Ibu adalah kesabaran dan kata maaf, disaat orang-orang lain meninggalkan kita. cinta Ibu tidak pernah gagal ataupun terputus meski hatinya tersakiti. - (Helen Steiner Rice)

SALAH satu lubang kesalahan terbesar kita adalah, tidak membahagiakan ibu. Mengapa saya sebut lubang? Karena kita selalu menimbunnya dengan tumpukan kesalahan, disadari atau tidak, yang membuat ibu kita menangis, atau berlutut berdoa untuk apapun yang kita lakukan. 


Dulu saya kerap berpikir, ketika memberikan sesuatu yang berujud benda, sepeti sebuah cicilan kebahagiaan. Kasih ibu mungkin pernah kita ibaratkan seperti kredit bank yang bisa kita lunasi dalam jangka waktu tertentu. Ketika kita memberikan jam tangan, emas berlian, rumah, atau mobil mungkin, seolah kita sudah membayar tunai cintanya kepada kita.

“Ibu hanya ingin melihat kamu senang dan bahagia. Itulah kebahagiaan ibu, bukan benda-benda mahal yang tampak di depan mata,”  -- begitu kalimat singkat yang diucapkan ibu saya ketika saya “iseng” bertanya tentang bahagia di mata beliau.

Tentu saja kebahagiaan itu bukan matematika yang bisa diasumsikan dengan angka-angka, dengan jumlah kebendaan yang kasat mata, dengan deretan pundi-pundi rupiah yang berjejer di rekening.  Konsepsi kebahagiaan ibu adalah ketika anaknya menemukan apa yang diinginkan, menerima manusia lain dengan baik, dan peka terhadap lingkungan dan [mungkin] relijiusitasnya. Ada yang bisa mengalkulasi berapa “harga” dari konsepsi kebahagiaan itu?

Seorang novelis dan dramawan Perancis abad 17, HonorĂ© de Balzac, pernah mengatakan, “hati seorang Ibu adalah sebuah jurang yang dalam, yang didasarnya bisa kau temukan maaf.” Artinya, seberapapun besarnya kita melakukan kesalahan, di jurang hati ibu, selalu ada maaf. Meski kita sering menyakiti, tapi selalu terbuka pintu maaf yang tidak terbatas.

Pertanyaannya, sanggupkah kita melihat ibu kita menangisi kita, menangis kesalahan kita, menangisi  langkah-langkah gegabah yang kita lakukan? Seperti lirik lagu yang mungkin kita pernah dengar, “....di doa ibu kudenger, ada namaku disebut....”

Saya hanya ingin berbagi catatan singkat: “menjadi seorang Ibu penuh waktu adalah salah satu pekerjaan dengan bayaran tertinggi, karena bayarannya adalah cinta yang murni.” Kalau kata presiden Amerika Serikat peling terkenal, Abraham Lincoln, “atas diriku sekarang ini, maupun harapanku atas diriku, aku berutang pada Ibuku, malaikatku.”

Ibu, inilah anakmu, yang selalu ingin terus membahagiakanmu.....