Kamis, 23 Mei 2013

Amor Vincit Omnia : Jatuh Cinta Adalah Kebodohan?


Saya pernah menulis dalam sebuah status Facebook, “Sabar itu tidak ada batasnya!”. Dan ketika itu, saya mendapat repson yang bermacam-macam. Rata-rata mengatakan, bahwa kita ini manusia yang punya batas, termasuk sabar. Tapi tidak sedikit yang memberi tanda “like this” meski tampaknya mikir untuk komentar, ketimbang di-bully.

SECARA manusia, omongan saya tadi jelas menjadi perdebatan. Mana mungkin manusia punya sabar yang tak terbatas? Tanpa batas itu hanya milik Tuhan –begitu kata kawan-kawan saya yang tiba-tiba semuanya menjadi lebih relijius saat menjelaskan kata “sabar” yang saya upload itu. Mungkin kalau saya rekam, bisa jadi edisi kotbah Jumat untuk beberapa bulan [agak lebay sih  kalau ini],

Melihat reaksi spontan yang tertuang, saya menyadari kita memang manusia terbatas. Bagaimana tidak, kata-kata yang mencuat dalam komentar, semuanya menunjukkan kertidaksabaran untuk mencerna, merenungkan dan kemudian bisa berpendapat dengan jernih.

Ada yang mengatakan, “sabar = tolol” dengan asumsi, ketika kita disakiti, kita dirugikan, kita diinjak-injak, tapi masih bisa menerima orang lain yang memperlakukan kita seenaknya itu.  Saya hanya tersenyum, dan mencoba menerawang kesabaran saya sendiri untuk tidak membalas semua komentar yang tidak sabaran itu. “Bagaimana kalau kita diduakan dan kita tidak tahu, apakah harus sabar juga?” ini komen dari seorang sahat perempuan.

Jawaban saya singkat: “Iya!” dengan embel-embel layaknya rohaniwan juga, harus mendoakan tanpa henti, dan menetramkan diri sendiri, meski saya tahu itu bukan perkara yang amat mudah pastinya.

Saya harus jujur mengatakan, saya adalah “petobat baru” soal kesabaran. Saya adalah new comer soal kesabaran. Dalam istilah saya, ada yang namanya “manajemen kesabaran” yang perlu kita latih. Sekolahnya memang tidak di bangku formal, karena sekolahnya adalah sekolah kehidupan sehari-hari. Dalam bahasa latin, kesabaran disebut dengan patientia.

Yang menarik perhatian saya adalah komentar yang mengatakan, “kesabaran adalah cinta”. Saya amati, mungkin saja kawan yang komentar itu sedang galau atau menye-menye, tapi tidak. Ada penjelasan serius dibawahnya. Menurutnya,  ada istilah latin yang sepadan yaitu Amor Vincit Omnia. Terjemahan bebasnya: cinta mengalahkan segalanya. Hmm, tahu apa kawan saya ini tentang cinta, lah wong sampai detik ini, dia belum punya pasangan tetap je. Cinta dan kesabaran memang sepaket.

Kalau Anda cinta dengan seseorang, silakan menjadi orang “bodoh” baru. Maaf, tidak menyalahkan yang mau jadi bodoh, karena itu resep mujarab untuk tetap bertahan dengan kekasih kita. Apa hubungannya dengan sabar? Kawan saya ini –sebutlah dengan nama Dave—selalu mengatakan, cinta justru tidak membuat makin sabar, tapi makin belajar menghadapi orang yang tidak sabaran itu. Cinta lebih sering menjadikan kita tolol, karena sabar menunggui pujaan hati keluar dengan berbagai hal yang harus dilakukan.

Dalam arti positif, cinta mengalahkan segalanya sebenarnya tepat. Mengapa? Ketika kita jatuh cinta dengan seseorang, siapapun itu, tiba-tiba kita jadi terminator yang menurut saja dicucuk hidungnya, selama yang kita cintai senang dan merasa bahagia. Meski sebenarnya tidak ada jaminan dia mencintai kita dengan porsi yang sama. Kita belajar dengan kesabaran tingkat “dewa” ketika hati dongkol tak terkira melihat pujaan hati kita terlihat “menyebalkan”. Dalam fase ini, “sabar tanpa batas” seharusnya menjadi kosakata yang rutin. Bukan sekadar cari muka ketika memberi catatan kritis.

Jangan muncul peribahasa baru: “kasihan mengalahkan cinta!” Runyam kalo begitu....

Jangan Menjadi Pelaku Stigmatisasi



Dari kecil, mungkin dari lahir ceprot, saya sudah dilabeli dengan agama tertentu yang sama dengan orangtua saya. Tentu saja saya tidak memilih suka-suka, karena memang belum sanggup untuk menentukan pilihan apapun. Jadi ketika itu, terima saja yang dilabelkan.


Ketika makin dewasa, belajar ilmu-ilmu yang ternyata tidak pasti, saya dijejalkan dengan penjelasan-penjelasan bahwa agama adalah yang sudah “disepakati” oleh negara. Ketika itu ada 5. Sudah tahu kan? Yang kini bertambah 1 jadi 6. Konghucu masuk jadi agama ke-6.

Saya kemudian jadi agak bingung ketika bicara soal klaim-klaim kebenaran mutlak, dan kemudian menafikan agama lain sebagai “ketidakbenaran” hakiki. Ketika saya kemudian makin mengritisi, mencari pembanding, mencari penjelasan tentan “kebenaran” dan “ketidakbenaran” itu, ada banyak cabang yang saya temukan. Bahkan di setiap agama yang diakui.

Kemudian cap kafir, murtad, atheis, mrosal, liberal, sekuler, nyeleneh, mungkin tidak waras mulai berseliweran ke kuping saya, ketika mempertanyakan klaim-klaim itu. Apakah stigmatisasi tersebut berhasil menyakiti saya atau tidak, sayalah yang memutuskan. Saya memiliki otonomi penuh terhadap diri saya sendiri. Bukan orang lain. Inilah rahasia mengapa saya selalu terus belajar untuk tak sakit hati dikata-katai orang lain

Bukan untuk mempengaruhi pemikiran supaya goyah, tapi sekadar berdiskusi cerdas. Sayangnya, saya belum menemukan orang yang benar-benar bisa dengan santai ngobrol soal ini. Soal apakah saya ini kafir atau tidak, sudah tergolong murtad atau tidak, adalah kavling sang Maha Hakim. Bukan orang lain yang menentukan vonisnya. Saya relatif sudah tercerahkan soal ini.

Nilai pribadi saya tak ditentukan oleh penghakiman orang. Akan tetapi oleh keseluruhan yang telah saya perbuat dalam hidup ini, baik yang tampak maupun yang tak tampak. Kalau Anda sudah melewati masa-masa “stigmatisasi” itu, berarti Anda sudah menjadi orang yang tercerahkan.

Saya selalu tersenyum dengan stigmatisasi tersebut. Karena saya ingin jadi manusia yang tidak memberika stigma juga. saya terus memilih untuk merdeka dan tak terkungkung oleh pandangan orang, oleh indoktrinasi, oleh nilai-nilai yang katanya sudah established.