Jumat, 14 Januari 2011

Seno Gumira Ajidarma : Hidup Menyempal Anak Profesor!

“AKU dijadikan apa oleh kalian?” --- pertanyaan itu muncul ketika kami menanyakan ingin disebut sebagai apa sosoknya. Dan baiklah, saya akan menempatkan Seno Gumira Ajidarma sebagai seorang manusia biasa. Bukan sebagai seniman, bukan sebagai penulis, bu­kan pula sebagai wartawan. Mengapa? Karena berbicara dengan pria kelahiran Bos­ton, 19 Juni 1958 ini, kita menemukan karakter mul­tidimensi yang tidak lazim— karakter kemanusiaan yang terlihat tidak biasa. Saya lebih suka menyebut pria berambut gondrong (yang mulai banyak memutih ini), ‘anak nakal yang pintar.’ 

Saya mewawancarai ayah satu anak ini pada suatu siang yang cukup terik di kampus tempatnya mengajar, Fakultas Film dan Televisi, Institut Kesenian Jakarta [IKJ] Jakarta. Oh ya, di kampus inilah, Seno juga dinobatkan sebagai alumni fakultas sinematografi. “Saya balik kandang,” celetuknya sambil terkekeh ringan. Sembari me­nyesap kopi hitam di depannya, Seno bercerita dari angkatannya yang masuk ke IKJ, yang lulus masih bisa dihitung jari. “Mungkin sebelumnya sudah pada bekerja dan malas menyelesaikan kuliahnya,” tukas ayah fotografer Timur Angin ini kalem.  

Besar di Jogjakarta, Seno kecil sebenarnya agak “berbeda” dengan anak kecil lainnya. Saat anak lain masih berkutat dengan nangis dan disuapin, Seno malah menjadi “leader” untuk ramai-ramai menolak ikut kelas wajib paduan suara. “Sebenarnya karena saya bosan dan saya ijin untuk tidak ikut. Karena disarankan keluar kalau sudah bosan, ya sudah, saya ajak kawan-kawan yang sudah bosan juga,” kenang seniman yang juga dosen di Universitas Indonesia ini sambil terbahak ringan. Sebenarnya, Seno mengaku “trauma” ketika SD. Pasalnya, selain dirinya dianggap “biang kerok” setiap ada kekacauan di sekolah, Seno kecil selalu diposisikan sebagai mediocre, atau “golongan tengah”. 

Waktu SD, anak pertama dari dua bersaudara yang lahir di Boston, Amerika Serikat, itu selalu duduk di baris tengah agak depan. ”Yang pintar duduk di belakang, yang kurang bisa menangkap pelajaran duduk di depan, sementara saya di tengah-tengah,” kenang penerima SEA Write Award 1987 ini menerawang. Repotnya, posisi itulah yang mem­buatnya tidak pernah merasa hebat. Sebaliknya, selalu merasa kurang. ”Kon­sekuensinya mahal, karena aku harus belajar keras.” Ketika ditanyakan kabar kawan-kawannya yang “pinter” karena duduk di belakang, Seno hanya terkekeh. “Rata-rata memang sukses sesuai pan­dangan orang. Tapi tidak ada yang tahu mereka siapa bukan? Meskipun mereka memilih pekerjaannya sebagai bagian dari politik identitasnya,” ucap penyuka kopi tubruk ini rada skeptis . “Hidup kita adalah proyek yang tidak ada habisnya,” celetuknya lagi, mencoba menelaah secara filosofis

Cerita menarik dari Seno adalah ketika SD orangtuanya pernah dipanggil ke sekolah gara-gara nilai agamanya: merah! “Nilai rendah saja aib, apalagi merah,” ucap­nya sambil terbahak. Waktu SMP, ia memberontak: tidak mau pakai ikat pinggang, baju dikeluar­kan, yang lain pakai baju putih ia pakai batik, yang lain berambut pendek ia gondrong. “Aku pernah diskors karena membolos,” tutur Seno, santai. Ketika itu semua terjadi, biasanya ibunyalah yang turun tangan. “Dia tidak pernah marah, tapi memberi wejangan yang membuat saya menurut,” kenang si “anak bandel” ini. Setelah lulus SMP, Seno tidak mau sekolah. Keinginan itu tentu saja mengejutkan orangtuanya. Meski Seno kemudian “cuek” saja. 

Simak alasan­nya tentang hal itu. “Saya terpengaruh cerita petualangan Old Shatterhand di rimba suku Apache, karya pengarang asal Jerman Karl May.” Dan mulailah petualangan hatinya. Seno mengembara mencari pengalaman. Seperti di film-film: ceritanya seru, menyeberang sungai, naik kuda, dengan sepatu moccasin, sepatu model boot yang ada bulu-bulunya. Selama tiga bulan, ia mengembara di Jawa Barat, lalu ke Sumatera berbekal surat jalan dari RT Bulaksumur yang gelarnya profe­sor doktor. Lancar. Sampai akhirnya jadi buruh pabrik kerupuk di Medan. Karena kehabisan uang, ia minta duit kepada ibunya. Tapi, ibunya mengirim tiket untuk pulang. Maka, Seno pulang dan meneruskan sekolah.

Orangtuanya bukan orang sembarangan. Ayahnya, Prof. Dr. Sastroamidjojo, ada­lah ahli fisika dan guru besar Fakultas MIPA Universitas Gadjah Mada. Sedang ibunya, Poestika Kusuma Sujana [alm], adalah dokter spesialis penyakit dalam. Untuk urusan ilmu pasti, Seno harusnya tidak ada persoalan, karena mewarisi otak eksak dari orangtuanya. “Kalau diukur dari nilai pelajaran, ilmu pasti saya tidak jelek-jelek amat. Tapi percayalah, saya paling tidak suka dengan aljabar, ilmu ukur, dan berhitung. Tidak menyenangkan sama sekali,” tegas mantan pemimpin redaksi majalah Jakarta-Jakarta ini lugas. Tentu jadi pertanyaan besar ketika anak profesor fisika, ternyata punya jalan hidup yang ”menyimpang” dari ekspektasi orang. “Saya dianggap menyimpang karena berbeda dengan orangtua. Apa yang salah ketika saya memutuskan berbeda?” ujarnya retoris. 

Pembedaan itu muncul ketika komu­nitas yang dipilih sesuai dengan jiwanya. Bukan teman-teman di lingkungan elit perumahan dosen Bulaksumur (UGM), rumah orangtuanya. Tapi, komunitas anak-anak jalanan yang suka tawuran dan ngebut di Malioboro. “Aku suka itu karena liar, bebas, tidak ada aturan.”

Sampai saat ini Seno telah menghasilkan puluhan cerpen yang dimuat di beberapa media massa. Cerpennya “Pelajaran Mengarang” terpilih sebagai cerpen terbaik Kompas 1993. Buku kumpulan cerpennya, antara lain: “Manusia Kamar” (1988), “Penembak Misterius” (1993), “Saksi Mata” (l994), “Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi” (1995), “Sebuah Pertanyaan untuk Cinta” (1996), “Iblis Tidak Pernah Mati” (1999). Karya lain berupa novel “Mat­inya Seorang Penari Telanjang” (2000). Pada tahun 1987, Seno mendapat Sea Write Award. Bukunya yang berjudul “Negeri Senja” bahkan mendapat peng­hargaan tertinggi dalam dunia sastra Indonesia, Khatulistiwa Literary Award pada tahun 2004. Berkat cerpennya “Saksi Mata”, Seno memperoleh Dinny O’Hearn Prize for Literary, 1997. Buku yang terbit tahun 2007: “Kalatidha” (novel), “Linguae” (kumpulan cer­pen), dan “Sembilan Wali & Siti Jenar” (nonfiksi) ; sedangkan “Sukab VS. Ninja Burik” (komik strip di majalah Sequen, bersama Asnar Zacky), dan “Nagabumi” (cerita silat di harian Suara Merdeka, Semarang) masih terus bersambung sampai sekarang dan sudah menjadi novel [2009].

“Menulis adalah napas saya. Menulis adalah belajar tentang kebebasan. Saya boleh tidak bekerja apa saja, tapi tidak dengan menulis!” tegas pria yang menolak ketika obrolan mulai masuk ke ranah keluarga. “Kita bicara topik yang lain saja,” tegas pria yang menikahi Ikke Susilowati, ketika berumur 19 tahun. Seno mulai menulis di SMA, tahun 1974. ”Aku mewajibkan diriku menulis karena aku suka membaca,” lanjut­nya. Ia hidup dari menulis, meski tak bercita-cita menjadi penulis. ”Aku hanya terobsesi menguasai tulisan,” katanya. Sama seperti setiap orang yang mencari identitas, Seno mengaku tidak pernah mengarahkan dirinya seperti sekarang ini. “Saya pikir tidak semua orang berpikir soal itu, karena semuanya bicara soal kemapanan, status sosial. Seolah semua memang harus begitu yang baik, di luar itu akan dilihat ber­beda,” tutur Seno lagi. Tertarik puisi-puisi mbeling-nya Remy Sylado di majalah Aktuil Bandung, Seno pun mengirimkan puisi-puisinya dan dimuat. Honornya besar. Semua pada ngenyek Seno sebagai penyair kontemporer. Tapi ia tidak peduli. Seno tertantang untuk mengirim puisinya ke majalah sastra Horison. Tembus juga. “Umurku baru 17 tahun, puisiku sudah masuk Horison. Sejak itu aku merasa sudah jadi penyair,” kata Seno bangga. 

Tulisan pertamanya dimuat di Harian Berita Nasional [kemudian jadi Bernas] di Jogjakarta. “Lucunya, koran ini adalah koran yang tidak punya huruf T,” kenangnya terbahak. Novel pertama, dianggapnya tidak ada. Kenapa? “Karena memang menurut saya jelek sekali. Tidak pernah saya tuliskan dalam karya-karya saya. Ceritanya soal penari yang dipacari penjahat,” pungkas Seno.

Fase “pemberontakan” dimulai ketika melihat pementasan Rendra dilarang di UGM. “Saya mikir, kenapa harus dilarang, sementara di kampus-kampus lain diijinkan main. Ketika akhirnya main, saya nonton,” kenangnya. Ketika itu, Rendra membuat Perkemahan Kaum Urakan berupaya menjawab tantangan ekspresi kaum muda yang lembek ketika itu. “Dan orang tidak tahu, acara apa itu. Saya sendiri langsung tahu mau jadi apa, ketika nonton Rendra. Betul, saya ingin jadi seniman,” tegas pengagum pengarang R.A. Kosasih ini. Hal itulah yang juga membuatnya memilih teater ketika SMA. “Saya makin paham klise-klise berkesenian. Saya bela­jar tentang bagaimana manusia harus berkepribadian dari teater,” tukasnya. Kisah menarik berteater adalah sudah latihan selama 2 tahun lebih, tapi peran yang [pernah] dimainkannya hanya sekali numpang lewat. “Ketika itu saya hanya sekali muncul di panggung ketika teater saya mementaskan Frederico Gar­cia Lorca,” kenangnya sembari ngakak. 

Dulu ia ingin jadi seniman ”biasa” yang bisa merasa bahagia dengan apa adanya. Ia merasa sudah mencapainya pada usia 17 tahun ketika mengikuti rombongan Teater Alam. Pada usia 19 tahun ia sudah bekerja di koran sehingga berani menikahi Ike. Pada usia 20 tahun, Timur Angin—yang kini berprofesi sebagai fotografer, lulusan Institut Kesenian Jakarta, tempat ayahnya menyele­saikan S-1-nya di bidang film—lahir. “Ketika sudah punya anak, upacara dalam hidup sudah saya tuntaskan, dan saya tidak punya target apa-apa lagi,” tegasnya.

Orangtuanya mungkin “jengkel” ketika Seno kecil kerap berulah yang mem­buat mereka mengelus dada. Sekarang, harusnya mereka akan berbangga. Meski tidak ada hubungan­nya dengan eksakta, Seno membukti­kan diri punya otak yang cukup bagus. S1-nya diambil dari Sinematografi IKJ Jakarta. Kegelisahan membawanya pada pencarian S2 di Jurusan Filsafat Universitas Indonesia. Selesai? Ternyata tidak, karena cerita Panji Tengkorak “sukses” membuatnya tertarik masuk kelas doktoral. Ia menyelesaikan S-3-nya dalam de­lapan semester diselingi proses kreatifnya melahirkan tiga novel—salah satu novelnya, “Negeri Senja”, mendapat Khatulistiwa Literary Award 2004—dua naskah drama, skenario, dan puluhan cerita pendek, kolom, esai yang dimuat di berbagai media. Ia masih bisa melakukan kegiatan yang ia gemari: memotret, bahkan sempat pameran karena ada teman yang memintanya. “Karena sering menulis cerpen, aku dikira sebagai cerpenis, he..he..he.”

Meski terlihat makin tua, tapi kata seorang kawan wartawan, Seno Gumira Ajidarma justru terlihat makin maskulin dan mempesona. Kalau disinggung soal itu, Seno hanya terkekeh saja. Gaya hidupnya yang serba lepas—konon—berimbas pula pada pola pendidikan anaknya. Timur Angin, fotografer yang cukup terkenal di In­donesia, adalah intimasi dirinya sendiri ketika muda. Meski mengaku jarang ketemu dan ngobrol, “karena dia sudah punya kehidupan sendiri,” kata Seno, tapi naluri sebagai ayah membuatnya tampak bangga dengan pencapaian anaknya. Dan kami meninggalkan pria gondrong yang bercelana jeans, kaos oblong biru, dengan gaya bicara sakpenake [seenaknya –red] ini di deretan poster film di dekat ruangan­nya di IKJ.

foto: m.i. mappasenge

1 komentar: