Selasa, 23 November 2010

Eksekusi Pemikiranmu & Matilah Otakmu

Apa ketakutan terbesar manusia?  Ketika pemikiran dan ide-ide dimatikan! Ketika identitas diri dimampatkan! Dan ketika kekritisan dieksekusi. Matilah otak kita. Memang, berpikir kritis itu meletihkan, karena kita “terpaksa” terus-menerus bertanya kepada diri kita sendiri, menimbang berbagai hal, mempertanyakan segala sesuatu. 


Berpikir kritis itu merisaukan, karena kita tak pernah benar-benar bisa merasakan zona aman—sebab kemapanan kita pun perlu kita pertanyakan. Berpikir kritis itu, pada tahap tertentu, acap menakutkan; karena jawaban dari pertanyaan kita bisa berupa penelanjangan atas diri kita sendiri sebugil-bugilnya: apa/siapa saya sebenarnya, tanpa topeng-topeng sosial yang saya kenakan ganti-berganti setiap hari itu? Apa/siapa saya sebenarnya di hadapan manusia dan Tuhan?


Banyak para ahli yang mencoba merumuskan apa yang dimaksudkan dengan critical thinking. Salah satunya adalah menurut Halpen dalam Arief Ahmda (1996), berpikir kritis adalah memberdayakan keterampilan atau strategi kognitif dalam menentukan tujuan. Proses tersebut dilalui setelah menentukan tujuan, mempertimbangkan, dan mengacu langsung kepada sasaran-merupakan bentuk berpikir yang perlu dikembangkan dalam rangka memecahkan masalah, merumuskan kesimpulan, mengumpulkan berbagai kemungkinan, dan membuat keputusan ketika menggunakan semua keterampilan tersebut secara efektif dalam konteks dan tipe yang tepat. 


Berpikir kritis juga merupakan kegiatan mengevaluasi-mempertimbangkan kesimpulan yang akan diambil manakala menentukan beberapa faktor pendukung untuk membuat keputusan. Berpikir kritis juga biasa disebut directed thinking, sebab berpikir langsung kepada fokus yang akan dituju.


Karakteristik lain yang berhubungan dengan berpikir kritis, dijelaskan Beyer (1995: 12-15) secara lengkap dalam buku Critical Thinking, yaitu: dispositions, criteria, argument, reasoning, point of view, procedures for applying criteria. Lima perilaku yang sistematis dalam berpikir kritis, a. Keterampilan Menganalisis, b. Keterampilan Mensintesis, c. Keterampilan Mengenal dan Memecahkan Masalah, d. Keterampilan Menyimpulkan, e. Keterampilan Mengevaluasi atau Menilai.


Kesudian berpikir kritis akan mengantar kita kepada pengenalan diri sendiri seutuhnya, tergantung sejauh mana kita mau dan berani mengenali diri sendiri: kesejatian pribadi kita, kemampuan kita, kekuatan kita, keterbatasan kita, kelemahan kita, ketololan kita, dsb. Lalu, pada gilirannya, berpikir kritis akan mengajak kita menjelajahi masalah (apa saja) yang sedang atau akan kita hadapi, sekaligus berupaya mencari jalan keluarnya secara kritis: berdasarkan fakta pengenalan kita atas diri sendiri dan kondisi nyata yang dihadapi.


Berpikir kritis akan membikin pengamalnya jadi manusia pembelajar yang tak akan berhenti mencari sepanjang hidupnya. Mencari, mempertanyakan, mempelajari segala hal; pembelajaran tak kunjung henti: Hidup yang tak dipertanyakan adalah hidup yang tidak layak dijalani, kata pakde Socrates. The unexamined life is not worth living.


Nah, masihkah kita butuh segala pelatihan manajemen dan pengembangan diri itu, kalau kita sudi berpikir kritis? Baiklah kita ubah sedikit pertanyaannya: setelah mengikuti segala pelatihan manajemen dan pengembangan diri itu, lantas apa manfaatnya kalau kita masih tak sudi berpikir kritis?


Dan, ya, berpikir kritis itu bukan perkara mampu atau tak mampu, tapi soal mau atau tak mau. Bagaimana caranya? Duh, masa iya kita perlu ikut Pelatihan Berpikir Kritis, sebagai ganti/tambahan pelatihan manajemen dan pengembangan diri?  


Sumber tulisan: 
http://learningtoread.wordpress.com/
http://www.forumbebas.com/

Jumat, 19 November 2010

Menjadi-lah KOMUNAL & EQUAL

dari KECIL, gue selalu diajarkan soal kesetaraan manusia. Gue diajarkan untuk melihat manusia lain, siapapun dia, setara dengan kita. tidak ada perbedaan kasta, tidak ada perbedaan kelas. Semua setara. dan itu yang sampai sekarang jadi sudut pandang gue ketika melihat manusia lain. Komunal dan setara.

sampai akhirnya gue terlibat sebuah pembicaraan dengan seorang yang secara materi jelas di atas rata-rata. Dia punya posisi kuat di kantornya. secara overall, gue hanya bisa mengelus dada. dia melihat manusia itu berbeda secara kelas. gue terlibat perdebatan ringan.

menurutnya, jika seseorang menjadi sopir, ya dia hanya seorang supir. dia tidak berhak mask dalam komunitas yang bukan supir yang kelasna di atasnya. dia juga "terkejut" ketika gue blang, pembantu gue dulu, makan satu meja dan lauk pauknya sama dengan gue. "tidak bisa begitu, tetap harus dibedakan supaya mereka tidak nglunjak!'

kalau sekadar tidak nglunjak, pendekatan yang gue lakukan berbeda dengan dia. gue lebih memlih menjadi seoragn kawan yang bisa berbincang santai danterbuka, ketimbang menjadi bos besar yang hanya bisa berteriak dan memberi komando dengan teriak-teriak. kita sebagai manusia komunal, lebih serin memposisikan diri sebagai 'bukan yang setara'

naluri komunal (communal instinct) diperlihatkan dengan kecenderungan memandang masalah dari sudut komunal dan berorientasi pada komunal, yakni golongan, suku, agama, dan ras.

"Bush kobarkan Perang Salib gaya baru", "Zionis Yahudi merusak dunia" Konflik Poso dan Ambon adalah konflik Islam-Kristen". "Islam agama teroris" "Pihak Kristen melakukan pemurtadan", "Islam biang perusuh", "Cina itu tak suka bergaul dan wataknya pelit", "Batak itu kasar, Jawa itu lelet" dll, adalah pernyataan-pernyataan yang komunalistik yang mudah kita temui dimana-mana.

Mereka yang komunalistik tidak mampu melihat dunia besar dari perpektif yang lebih luas, mendalam, atau lebih tinggi. Sehingga pandangannya cenderung bias.

kembali pada obrolan gue. dari perspektif komunal, kawan satu ini tidak bisa melihat bahwa dirinya bagian dari komunal sempit. dia melihat, orang lain yang berbeda dengan dirinya, memang berbeda. dia tidak bisa melihat, bahwa perbedaan itu harus jadi kekayaan, "medan pertempuran".

Kapankah kita bisa mengeksplorasi perbedaan komunal sebagai asset, mengkomedikan dan menghumorkan perbedaan komunal sebagai bagian dari kekayaan kita dalam hidup yang beraneka suku, adat, dan agama. Dan utamanya meninggalkan prasangka negative antar komunal yang selalu digunakan untuk saling menyerang.

Selasa, 16 November 2010

Engkau BERHARGA Di Mataku

SAYA ini orang lemah sebenarnya. Hanya sanggup berkata dan memberi dorongan untuk bergerak. Mungkin tidak melesat, tapi perlahan bergerak. Mungkin tidak semerbak, tapi membawa perubahan. Meski kecil. Kalianlah orang kuat itu. Kalianlah yang sebenarnya memberi angin perubahan itu. Kalianlah kebebasan itu.

Kebebasan? Benar. Kita ini, saya dan Anda, adalah pemilik jiwa merdeka yang bisa melakukan ide apa saja. Kita bisa menjadikan hidup kita berarti, tapi kita juga bisa membuat hidup kita seperti kubangan yang selalu dihindari.

Dalam dictum yang muncul di otak saya, kebebasan adalah situasi di luar diri kita yang melingkupi sekaligus, perasaan dalam diri kita yang memungkinkan kita melakukan perbuatan-perbuatan baik bagi diri kita dan kemanusiaan secara keseluruhan.

Tolong dipahami, kebebasan adalah pintu yang terbuka untuk mendapatkan segala yang indah dan baik yang bisa diperoleh manusia, yaitu keadilan dan perwujudan potensi diri tanpa rasa takut.

Saya bukan Tuhan. Saya bukan nabi. Saya juga bukan messenger yang memenuhi kisah usang di kitab suci. Saya bukan pelacur yang selalu dituding paling hina dibanding manusia lain. Saya hanya manusia yang mencoba mencari kebebasan dan potensi diri, tanpa tekanan dan ketakutan.

Tapi mungkin saya [merasa] lebih hina dibanding pelacur, saya merasa lebih kelam dibanding perompak yang paling kejam. Pernahkah kamu tahu, kegelapan malam adalah kantong yang sesak dengan emas fajar?

TIDAK!

Karena, ketika itu saya merasa tak pernah memberi arti dan terombang-ambing dalam ambigu kelemahan yang tiada tara. Saya ingin membawa diri dan suasana hati, ikutlah, karena ini adalah sebuah kontemplasi hati, menemukan hakiki. Mungkin tak mudah dan [seolah] tak mungkin. Percayalah, petiklah kembang kecil ini dan ambillah, jangan tunda lagi. Saya takut ia akan terkulai lagi dan gugur ke atas debu.

Barangkali kembang itu tak mendapat tempat di kalung bungamu, tapi berilah dia kehormatan dengan satu sentuhan rasa sakit dari tanganmu dan petiklah. Saya takut hari akan berakhir sebelum saya sadar dan waktu persembahan sudah usai.

Teman, meskipun warnanya tidak cemerlang dan wanginya tidak semerbak, pakailah kembang itu dalam setiap perjalanan mimpimu dan petiklah ia selagi waktu masih ada. Kebebasan jiwa, soul, heart, mind itu penting. Menjadi kembang tak harus semerbak, tapi bisa menghiasi dan memberi keindahan. Dan kita berekspresi melawan ketakutan atas kekuatiran. Karena jika kita menutup pintu atas semua kesalahan, kebenaran pun akan terhalang masuk.

Karena, engkau, siapapun itu, mewangi atau tidak – kamu adalah berharga…

Kosong

Pernah merasakan sebuah kekosongan? Apa saja. Kekosongan pikiran, kekosongan hati, kekosongan tujuan hidup atau kekosongan untuk mengerti sebuah ruang yang tercerabut.  Semuanya membuat kita menjadi tiba-tiba “mati” dan tidak menemukan apa-apa lagi. Kosong.

Kekosongan itu membuat kita seperti papan tulis bersih tanpa coretan dan penulisnya bingung ingin menulis apa di papan tulis yang masih mulus itu. Ketika kemudian mulai mencoret, karena sedang “kosong” kita tak pernah mengerti apa yang kita tulis.

Seorang filsuf bernama Rene Descartes pernah mengatakan Corgito Ergosum, yang dalam ranah filsafat diartikan dengan ‘saya berpikir, maka saya ada’. Lalu apakah ketika kita sedang kosong dan tidak berpikir [atau memikirkan sesuatu], itu artinya kita tidak ada? Tidak ada secara fisik jelas tidak, tapi kesulitan menemukan hati, menemukan soul, menemukan cinta dan menemukan kehidupan itu sendirilah, yang membuat kita tidak ada. Kita menjadi kosong.

Kosong itu tidak berada pada sebuah ruangan. Kosong itu putih, bersih tapi terasing. Dan saya sedang berada di keterasingan itu. Dan kembali kepada “menjadi ada” itu kini jadi tidak mudah. Saya terasing dan kehilangan ke-ada-an.
 

Senin, 15 November 2010

Menyapamu Adalah Sebuah Gelisah, Karena Aku Kehabisan Kata

Ketika Cinta Kunamakan Diam, dan Diam Kusebut Ke-Tiada-aan. Setiap berhadapan dengan sosoknya, aku nyaris tak bisa berkata-kata. Melihatnya tersenyum, tertawa lirih, bahkan caranya mempermainkan bola mata, membuatku selalu gelisah. Bukan, bukan sebuah kegelisahan tentang birahi, tapi sebuah kegelisahan menjadi terasing dalam keterasingan bersamanya.

Saya amat mengamini pendapat filsuf Perancis, Jacques Derida yang mengatakan, “…setiap peristiwa dalam kehidupan manusia, adalah unik dan khas…”. Setiap kehidupan punya cerita, setiap kejadian dalam lintasan hidup, selalu unik. Tak peduli apakah itu menyenangkan, biasa-biasa saja, atau malah menyakitkan. Kita tak bisa menolak ketika akhirnya jalan hidup kita, melenceng dengan impian kita. Kita tak bisa mengelak, ketika detik demi detik banyak hal tak terduga bermunculan.

Pun dengan kehidupan saya. Ada episode-episode yang saya racik sendiri, kemas dengan balutan benang emas, tapi tak sedikit yang tertinggal [atau saya tanggalkan], karena episode itu begitu perih, menyayat, membingungkan bahkan mungkin membuat saya “gila”.

Tak secara spesifik saya bicara soal rasa dan perasaan. Tapi hari-hari ini, episode kehidupan saya sedang berganti-ganti layar. Dimana-mana, terbentang warna-warna yang berubah-ubah. Meski geber utamanya tak pernah usang dan kusam untuk dimaknai.  Hari ini mungkin layar itu terbeber soal makzul dari keriuhan, mengundurkan diri dari bising dan mencari sepi. Esok, layar itu berkembang menjadi gelisah cinta dan perasaan yang terombang-ambing. Lusa, layar itu bisa menjadi api membakar tiap relungnya.

Tapi semua memang bermuara di satu titik, cinta. Saya tergores oleh cinta itu. Sehingga perasan perasaan yang muncul pun bergelombang di sekitar cinta itu. Dia –wanita berkacamata itu--  membuat saya tersedak, tersenyum bahagia, terkekeh, kadang-kadang menangis dan terkesiap menahan galau ketika resah demi resah bertubi-tubi berdatangan. Saya [juga] pernah emosi, bahkan marah. Tapi itu bukan sesuatu yang permanen menjadi kekuatan raga untuk “melawan” kegelisahannya. Jujur, Saya tak sanggup untuk menjadi api bahkan dalam sekam-nya sekalipun.

Ada beberapa ungkapan menarik tentang cinta yang masih saya ingat dari beberapa buku. Salah satunya adalah, jika orang yang jatuh cinta bisa memilih maka ia akan memilih untuk tidak jatuh cinta. Cinta merupakan atribut kehidupan manusia. Pun cinta kepada lawan jenis. Ia adalah fitrah hiasan umat manusia. Seorang yang bernama manusia akan dan pernah jatuh cinta kepada manusia lain. Ini adalah sesuatu yang tak bisa kita tolak.

Lalu mengapa memilih untuk tidak jatuh cinta? Jatuh cinta kok tidak dipilih? Cinta kan indah dan menyenangkan? Awal dari cinta memang merupakan keindahan. Namun pertengahan cinta adalah kegelisahan. Orang yang dimabuk cinta pastilah pernah merasakan penderitaan kegelisahan ini. Gelisah karena menahan beratnya kerinduan. Gelisah akan ketidakpastian apakah orang yang ia cintai benar-benar akan menjadi miliknya. Gelisah ketika orang yang ia cintai ternyata bisa menyakiti.

Seorang penyair bersenandung,
"Tak seorang pun di muka bumi yang lebih sengsara dari seorang yang jatuh cinta, meskipun ia mendapati cinta itu manis rasanya. Setiap saat engkau lihat ia selalu menangis, entah karena enggan berpisah atau karena rindu yang membara. Jika sang kekasih jauh, ia menangis karena rindu, jika dekat ia menangis karena takut berpisah dan kehilangan.”

Bahkan akhir cinta bisa merupakan kehancuran.  Kegelisahan dan kehancuran inilah yang membuat cinta tidak dipilih. Sayang, orang yang jatuh cinta tak bisa memilih untuk tidak jatuh cinta. Cinta datang begitu tiba-tiba. Kedatangan cinta membuang kesadaran jauh ke belakang. Ketika kesadaran itu kembali mendatangi, sadarlah orang yang jatuh cinta bahwa dirinya sudah terjerat cinta.

Ada ungkapan, cinta itu bertindak dulu baru berpikir. Betul juga. Cinta memang tidak bisa ditolak. Datangnya cinta memang begitu tiba-tiba. DAN Datangnya cinta bukanlah sebuah dosa, dimanapun dia singgah.

Scene hidup saya memang masih terus bergulir. Bab per bab masih akan tertulis, sampai kelak ketika saya mati, catatan kehidupan itu akan bertengger di rak yang mungkin bersanding dengan cinta, kesedihan atau tetap menjadi sebuah pertanyaan? Saya adalah saksi, bahwa orang yang jatuh cinta tak bisa memilih untuk tidak jatuh cinta.

[yado, 14 november 2010, 2.44 wib – untuk perempuan berkacamata itu, yang selalu membuatku memilih untuk jatuh cinta]

Perempuan Berkacamata Itu, Membawaku Mencintai Cinta

SEBUTLAH namanya BlueBells, seperti nama bunga. Bukan karena dia suka warna biru, tapi karena dia suka bunga itu. Tidak semua bunga memang, tapi keindahan dan warna-warni bunga selalu membuatnya kegirangan dan tersenyum.

Bahasa geraknya adalah tubuhnya. Dia mengepak kesana-kemari dengan [atau] tanpa sayap yang mengembang. Dia –perempuan berkacamata itu—ibarat mesin waktu yang dalam sekejab melompat-lompat dalam aura resah, gembira, marah, dan kebingungan. Dan itulah energy yang membuatnya selalu melayang-layang dalam detik demi detik hidupnya.

Dia cantik, meski bukan “dewi” dengan kecantikan dan keindahan sempurna, tapi dia juga bukan kurawa, yang terlahir dengan kebinasaan tentang memiliki hati dan erupsi perasaan.  Dia terlahir sebagai perempuan yang memiliki kepekaan. Dia tercipta sebagi perempuan yang juga punya kelemahan. Tapi dia tumbuh dalam keniscayaan untuk menjadi sosok yang dicintai dan mencintai, dengan ketulusan. Bukan dengan kalkulasi untung rugi.

Setiap detiknya adalah warna. Meski tak selalu cerah, kadang kusam dan redup, tapi itulah kehidupannnya. Seperti hidup manusia lain, kadang-kadang bisa dihadapinya dengan tegar, tapi sesekali dilewatinya dengan airmata dan “penderitaan batin” yang tak pernah seorang pun tahu.

Raganya bukan baja yang kokoh menghadapi terpaan. Bahkan besi baja pun bisa luluh terkena empasan angin dan hujan. Tapi dia bisa lebih keras dibanding baja yang paling keras, ketika ada hal yang  harus membuatnya berdiri tegak, menjadi tombak dan siap “menusuk” dengan kekuatan yang tak terduga.

Fisiknya adalah kerapuhannya. Disana [memang] bersemayam kemerdekaan untuk ber-quantup leap, menjadi apapun yang dia mau dalam sekejab, menuangkan ide dan mimpi-mimpinya dalam visualisasi nyata. Tapi tubuh dagingnya tak bisa diajak berlari cepat. Ada kerapuhan ragawi yang kerap melemahkannya. Ada redam-redam sakit yang membuatnya memperlambat kejutan-kejutannya. Meski sesekali, dia melokalisir-nya dan menerabas dengan kekuatan bara yang memerah. Tapi, dia bukan manusia super. Dia manusia biasa. Yang bisa terjatuh, terluka dan terdiam dalam misterinya.

Jujur, perempuan berkacamata itu sesekali menjadi manusia yang menggelisahkan, dengan sejuta pertanyannya, seribu keingintahuannya, dan selaksa rasa yang kerap membuat terombang-ambing. Dia membawa kegelisahan ketika senyumnya tak lagi mengembang, menjadi kerutan kecil di ujung bibir lembutnya.

Hi, perempuan berkacamata, selalu tersenyumlah bahkan di saat keping-keping hatimu sedang kau tautkan lagi. Karena,  kekuatanmu bukan lagi badaniah, tapi ketulusan dan kasih yang menerima.

[yado, 14 november 2010, 18.03 wib – betul, tentang kamu]

Jumat, 12 November 2010

Seperti Apakah Tuhan Yang Anda Kenal?

"Kalau Tuhan benar-benar ada, maka sudah seharusnya dia dimusnahkan," kata  seorang filsuf Rusia Mikhail Bakunin. Tuhan yang menyerang Jemaah Ahmadiyah  dan Tuhan yang saya pelajari di bangku sekolah membuat saya mengamini Bakunin. 

Tuhan, yang harus ditulis dengan huruf besar sebagai tanda keagungan-Nya.  Tuhan yang lelaki, atau paling tidak yang mempunyai kekuasaan patriarki, dan yang membuat mulut bocah saya terbungkam ketika hendak melontarkan pertanyaan  "mengapa perempuan tidak bisa menjadi pastor?"

Namun, mengapa manusia mempercayai Tuhan yang seperti ini? Ketercengangan,  kebingungan dan keresahan manusia akan alam terkadang menuntunnya untuk  mencari "Yang Maha Kuasa". Karena itulah, manusia sempat menyembah gunung, matahari atau cahaya apa saja dari langit. Karena bagi mereka, Tuhan tidak  lain dan tidak bukan adalah "Yang paling ditakuti". Kepercayaan pada yang maha kuasa memang sering didasarkan pada ke-egoisan.

Karena manusia ingin diselamatkan, diberkahi dan diberi rejeki yang melimpah dari yang disembah, mereka bahkan mencoba menyogok Tuhan dengan sesaji. Tidaklah heran bagi manusia seperti ini, Tuhan adalah diktator yang selalu  menuntut. Tuhan yang pencemburu, yang begitu murka ketika manusia melupakanNya. Keberadaan Tuhan seperti ini begitu tergantung pada manusia.

Dengan kata lain, dia serupa dengan manusia yang menyembahNya: sebuah keberadaan yang menuntut dan tidak mandiri. Yang tak rela diduakan. Yang selalu tergantung pada elu-eluan penyembahnya. Tuhan dengan krisis identitas.

Dan tidaklah heran, bila Tuhan semacam ini dapat ditemukan dalam sosok pemerintah otoriter: pada Firaun Mesir yang mengaku sebagai utusan Tuhan, dalam sosok Kaisar Jepang yang menjadi wakil Yang Maha Tinggi, atau pada pemerintah Kerajaan Inggris kuno. Bahkan juga dalam pejabat tinggi negara kita yang memaksa para warganya untuk menulis agama mereka ­ kepercayaan  mereka pada Tuhan. Dan dalam keroyokan yang mengamuk, merusak dan menyerang insan-insan yang tak mempercayai Tuhan tertentu.

Tuhan seperti ini menjadi simbol patriarki, yang melahirkan dualisme tajam:  Yang Kuasa dan pengikutNya. Namun, ambisi manusia untuk memuja terkadang sama  besarnya dengan ambisinya untuk dipuja. Karena itulah, Tuhan dan pengikutnya seringkali menjadi cermin yang memantulkan persona yang sama. Dan karena itu pula, si pengikut dapat berlaku seperti Tuhan mereka: penghukum yang tak kenal ampun. Bahkan lebih parah, karena dalam si pengikut, apa yang abstrak dan menjadi metafor, dapat menjadi nyata dalam tindakan mereka. Apa yang menjadi kata, tiba-tiba menjadi kekejaman yang mengakibatkan tangis dan membawa mangsa.

Penggambaran Tuhan sebagai Yang Maha Tinggi, Yang Maha Esa, seakan tidak lain  adalah cara manusia untuk menjadi narsis. Karena gambaran seperti inilah yang  memberi kesempatan manusia untuk memahkotai diri mereka sendiri dengan gambaran yang begitu melambung dan dilambungkan. Kemarahan para pengeroyok terkadang disebabkan oleh kekecewaan narsis mereka.

Ketika Tuhan mereka digambarkan berbeda, ketika kelompok lain menawarkan interpretasi yang berlawanan dari ide mereka, ketika manusia layaknya Musdah  Mulia atau Ahmadiyah yang mempunyai pandangan "baru" tentang Tuhan, ego pengeroyok inilah yang telah tersakiti. Karena pada saat itu, para narsis ini tiba-tiba menghadapi kenyataan bahwa harapan mereka tak  akan pernah sampai. Narsis yang tidak siap untuk merombak keyakinan mereka  atau paling tidak mendengar keyakinan yang lain. Namun, narsis yang marah karena kekecewaan. Karena Tuhan mereka tidaklah selalu benar, besar, dan kekar.

Inilah salah satu alasan yang membuat atheis meninggalkan Tuhan. Bagi banyak atheis, hanyalah dalam sains-lah kebenaran dapat diungkap. Dengan bukti dan  akal. Namun, sains sendiripun seringkali relatif dan dapat disanggah: Teori  Newton dipatahkan oleh Einstein yang menawarkan teori relativitas. Teori Einstein ditentang lagi oleh Neils Bohr yang menyatakan bahwa teori Einstein tidak cukup relative karena Einstein luput mengindahkan karakter kuantum mekanik yang tak pernah konstan, dan yang selalu terpengaruh oleh subyektifitas sang peneliti. Neils Bohr-pun disanggah lagi oleh Everett, dan seterusnya dan seterusnya. Memang, dalam pencariannya akan kebenaran, manusia tak pernah dapat menemukan jawaban akhir yang pasti.

Dan bukankah pencarian akan Tuhan dapat dibandingkan dengan pencarian dalam  sains? Karena keduanya menyiratkan pertanyaan-pertanya an akan keberadaan, kehidupan dan asal galaksi kita, dan asal kita sebagai manusia.

Karena bila kita berani untuk mencari dan mencari lagi akan kebenaran, kita  akan ditarik pada labirin yang berlapis dan tiada habisnya. Dalam pusaran-pusaran teori, tanya, jawab dan kebimbabangan, yang di dalamnya selalu ada jurang begitu dalam yang belum pernah kita lihat. Yang tak akan dapat kita kunjungi. Namun, hal inilah yang terkadang membuat saya terus mencari  dan mencari.

Pada suatu renungannya akan Tuhan, Einstein menyatakan bahwa ada suatu "keindahan yang tiada tara", yang tak pernah dapat kita mengerti. Sesuatu yang membuat kita tersentuh dan beriman. Dan karena ketidak-mengertian inilah, Einstein terus mencari.

Memang, ketidak sabaran akan jawaban yang serba cepat, keinginan untuk mengambil jalan pintas dan ambisi akan kekuasaanlah yang dapat menuntun  manusia untuk merumuskan Tuhan yang satu, yang kaku. Walaupun di dunia ini, terdapat bermacam-macam Tuhan. Beberapa teks bahkan sempat menyebut lebih dari 200 tuhan dalam sejarah dunia.

Dan di dunia yang serba dinamik, yang terus bergerak dan menari dalam segala  getarannya, bagaimana Tuhan dapat menjadi begitu statik: berhenti dan terpaku dalam suatu zona tempat dan waktu? Dalam sebuah dogma yang membuahkan amarah? Tuhan yang dilahirkan oleh dogma adalah Tuhan yang mati. Tuhan yang dapat dibunuh oleh para atheis. Tuhan yang telah saya bunuh.

Karena seharusnya, pencarian akan Tuhan selalu membawa kita pada ketidak-tahuan. Pada pertanyaan. Dan terkadang, kebingungan. Karena itu, kita harus siap tidak saja untuk menemukan "keindahan yang tiada tara", namun juga kekecewaan. Karena pencarian akan Tuhan adalah tidak lain dan tidak bukan pencarian akan esensi kita, keberadaan kita. Esensi kita yang tak terlihat namun ada. Esensi yang begitu dekat, namun tak dapat dimengerti.

Karena itulah Chuan Tzu berkata: "Kita berkata aku, namun tahukah kita siapa  dan apa artinya aku?"

Dan segala kebingungan, segala tanya, di antara yang ada dan tanpa, saya dapat berkata: Saya tidak percaya akan Tuhan. Namun saya percaya akan tuhan. tuhan yang tak berkelamin, yang tak semena-mena, yang tak maha tinggi dan yang tak maha Esa. Dalam tuhan yang seperti ini, saya dapat bertakwa.

[thanks to: Puspa & Soe Tjen Marching buat tulisan ini]

Yeah, My Name is Freedom

BERHATI-HATILAH menggunakan istilah ‘bebas dan bertanggungjawab’  karena menurut Rudolf Steiner, seorang pemikir asal Jerman kelahiran Austria, secara instinktif, diartikan sebagai tanggungjawab yang didasarkan pada otoritas di luar dirinya (peraturan, teks, ideologi, kepercayaan, nilai-nilai kelompok/masyarakat/suku dsb), karena istilah itu rawan manipulasi.
 
Sebenarnya saya tak sengaja ketemu pemikiran si Rudolf ini. Ketika sedang mencari bahan untuk ngeblog tentang nama yang saya pakai sebagai judul blog, saya ketemu buku lawas ketika sempat ikut ekstension filsafat beberapa tahun silam.  Namanya berserakan di internet. Saya tertarik dengan pemikirannya tentang kebebasan.

Sumbangan Rudolf Steiner  mengenai filsafat kebebasan menjadi sangat berguna untuk membantu kita memahami kebebasan.  Gagasannya saya ringkas sebagai berikut: Pertama Rudolf menunjuk adanya dua realita: yaitu manusia dan di luar manusia. Manusia dilengkapi kemampuan yang disebut sensory perceptions untuk mengakses realita di luar dirinya yang beragam (alam, tumbuhan, binatang, orang lain). Persepsi yang tersensor ini  ternyata toh dipengaruhi oleh tujuh instansi/level motives yaitu: reflexes, drives, desires, motifs, wishes, intentions, and commitments.

Dengan kombinasi berbagai level itu, manusia memproduksi berbagai persepsi yang tersensor untuk memaknai dunia luar dan dirinya, istilahnya consciousness (tolong jangan diterjemahkan menjadi “kesadaran”).  Karena tersensor, celakanya atau untungnya, persepsi itu menghasilkan sebuah dunia pemahaman yang penuh kontradiksi, dualitas, polarisasi: baik-buruk, benar-salah, cantik-jelek dsb. Semakin berargam level motif yang memasuki sebuah fenomena, semakin ruwet polarisasi persepsi itu. 

Kedua, moral imagination merupakan hasil kerja yang seolah berada dalam hati dan budi individual. Selanjutnya Rudolf mengamati peran ego, yang mempunyai “kehendak untuk bertindak” dalam diri manusia untuk mempengaruhi dunia di luar dirinya, berpangkal dari imaginasi moral yang yang sudah dimilikinya. Ego yang hendak mengkomunikasikan dirinya itu disebutnya self-awareness (lagi, jangan diterjemahkan dengan kata “kesadaran”). 

Apakah teori di atas sudah menjawab pertanyaan tentang kebebasan? Yang paling tepat mungkin adalah memberi jaminan kesempatan tiap individu membangun imaginasi moralnya yang makin lama-makin lengkap. Peraturan harus dibuat untuk mempertahankan ruang situasi kebebasan itu, dan bukannya menutupinya.

Bagaimana dengan Anda?

(thanks to: kang pitoyo adhi di belanda untuk pencerahannya)

Setara, Sekasta atau Seenaknya?

ini kisah nyata dan sering ketemu. dalam perjalanan hidup, kita pasti akan menemukan banyak tipikal manusia. ada yang baik hati, jujur, tapi tak sedikit yagn culas, sok baik tapi “menginjak” di belakang, atau memang dasarnya jahat dan selalu tidak suka dengan kebaikan orang.

aku banyak bersua dengan model seperti itu. pertama,  setara. Ini manusia yang menghargai manusia lain dengan  asik. Mungkin sesekali kepleset, tapi tipikal inilah yang biasanya ramah, bersahaja, tidak pamer dan tulus. Bukan karena urusan kepentingan semata. karena saya wartawan dan situ narasumber [yang mungkin memang amat dibutuhkan]. biasanya diluar urusan pekerjaan, tipikal ini tetap welcome as a friend. sayangnya, tipikal ini tak terlalu banyak.

yang kedua, sekasta. entah kenapa, saya paling banyak menemukan tipe ini. berteman, beraikan, bersahabat, karena sekasta. karena merasa punya posisi ekonomi yang lebih mapan, merasa punya kedudukan yang potensial untuk menjadi penindas.  tipe ini biasanya selalu ingin dihormati oleh siapapun yang dianggap kastanya berbeda [baca: lebih rendah].

sering membuat saya tertawa bodoh, emosi dan kadang mengumpat. repotnya, tipe ini paling banyak berada di sekitar saya.

Ketiga tipe seenaknya. Ini bisa masuk kolaborasi tipe pertama dan kedua. tapi mereka biasanya tak terlalu peduli dengan semua kerepotan kasta itu. mereka bisa seenaknya, tanpa melihat apa yang dlakukan merugikan atau menguntungkan. yang penting senang. orang ini moody, karena bisa menyenangkan, tapi bisa jadi sangat menjengkelkan. untungnya, mereka biasanya tulus.

saya? selalu berusaha menjadi egaliter dan equal….

spiritualitas dimulai, ketika agama berakhir?

spiritualitas dimulai, ketika agama berakhir?

BANYAK orang yang mengaku beragama, tapi dia tidak punya spiritualitas dan  pemahaman tentang agama itu sendiri. mungkin termasuk saya, anda, atau malah ternyata kita semua berada pada posisi itu juga.

mungkin kita harus belajar dari sudut pandang lain. kita harus paham dulu, Tuhan sebenarnya tidak bisa didapatkan dalam bentuk apapun, nama, agama, tempat pemujaan atau upacara-upaacra. itu hanya simbolisasi Tuhan. Karena itu DIA harus ditemukan di suatu tempat di dalam hati manusia.

agama seperti sekolah dimana kita memperoleh beberapa pemikiran dasar tentang Tuhan, keperluan untuk hidup bermoral, cara-cara pemujaan dan sebagainya. Tuhan adalah sosok yang sangat halus jauh melebihi pikiran dan perasaan manusia yang dapat dicapai. Tuhan bisa dirasa melalui pengalaman manusia.

oleh karena itu dalam mempraktekkan spiritual, kita mencari untuk mengalami yang NYATA tersebut di atas. Untuk ini kita berharap mendapatkannya melalui proses dimana makin lama makin mencairkan dan melarutkan sifat keakuan kita apapun nama, bentuk dan kualitasnya dan mengosongkan kesadaran kita.

Jadi ketika kita menjadi seperti Dia di dalam alam kita, kita mulai mengalami atau merasakan menjadi satu dengan Dia yang ada di dalam diri kita. dalam istilah jawa 'manunggaling kawulo lan gusti' yang dalam pemahaman sempit saya, adalah munculnya kesadaran sipiritual tentang keberadaan Tuhan dalam diri kita.

pada dasarnya pemahaman akan Tuhan ini menghidupkan kembali hubungan antara kita dengan Tuhan yang ada di dalam diri kita. Dimana hubungan ini memberikan rasa keTuhanan yang alami dan kekuatan untuk menahan ego/identitas kita, yang akan terhapus secara perlahan-lahan. Tuhan yang hadir di dalam diri kita mulai terwujud dalam pikiran dan tindakan kita.

mungkin yang perlu diperjelas, kita tidak sedang me-transformasi Tuhan dalam ujud kita, tapi lebih mentransformasi sifat-sifat Tuhan dalam hidup kita. dan pengalaman itu, memang tidak bisa dilakukan seketika, perlu waktu, proses dan pemahaman diri tentang tuhan itu sendiri.

Sabtu, 06 November 2010

SATORI In LOVE

SAYA sedang jatuh cinta, dan rasanya menyenangkan. Saya bisa mengerti, ketika seseorang jatuh cinta, dia akan banyak tersenyum. Tapi saya juga pernah merasakan putus cinta dan percayalah, itu bukan hal yang ingin Anda rasakan. Impact-nya bisa bermacam-macam. Bahkan tidak sedikit yang memilih kembali jadi abu ketimbang melepaskan dewa amor itu.

Saya tidak akan bicara dewa amor itu. Cinta, istilah latinnya adalah amor dan caritas. Menurut Plato, semua cinta adalah cinta akan keindahan. Menurut filsuf Yunani ini, cinta bentuknya sempurna. Kemudian berkembang dan punya banyak pemahaman. Salah satu yang cukup melankolis adalah pendapat Sigmund Freud yang mengatakan bahwa eros, yang ditafsir sebagai pemenuhan seksual, merupakan inti dari apa yan dinamakan cinta. Konon sejarah manusia merupakan pergumulan antara eros dan thanatos [naluri kematian].

Cinta juga membuat banyak manusia seolah-olah kuat dan seolah-olah berani. Padahal mungkin mereka rapuh dan merepih asa yang tak berkesudahan. Berapa banyak manusia yang memilih mati karena cinta? Bunuh diri rasanya jadi jamak.

Tahukah Anda, bunuh diri itu merupakan suatu pelanggaran yang  serius terhadap cinta diri yan sejati? Sebab ketika seseorang melakukannya, seseorang memustahilkan pencapaian tujuan akhir hidupnya, yaitu kebahagiaan abadi. Seseorang yang bunuh diri, hanya tampaknya saja berani. Padahal sebenarnya, dia pengecut.

Saya melihat jatuh cinta, mencintai, dicintai, sebenarnya adalah pencerahan atau dalam bahasa filsafatnya disebut satori. Pencerahan cinta sebenarnya mencakup kembali kepada hakikat asli dan hubungan riil dengan dunia dan manusia. Pencerahan cinta itu sebuah lorong panjang yang bisa ditemukan lewat pencairan panjang juga.

Saya bisa mengerti seseorang yang memilih tidak melanjutkan hubungan cintanya karena tak juga menemukan sisi philia dan pencerahan dari hubungan itu. Tapi saya juga bisa memahami mengapa manusia begitu kekeuh mempertahankan cinta.

Sekali lagi, cinta itu keindahan dan saya selalu ingin menjadi indah…


Mencintaimu Seperti DERAS HUJAN

PERNAHKAH KAMU MEMPERHATIKAN hujan yang turun deras? Hujan itu tak sempat berkompromi dengan lokasi dimana dia bakal tumpah. Tak peduli apakah airnya akan menggenangi kemudian memberi limpahan banjir yang tak berkesudahan. Sungguh, hujan itu tak peduli.

Aku hanya beranalogi, tentang sebuah rasa, perasaan, asa dan [mungkin] pengharapan. Aku hanya mencoba menyelusup pada ruang batin yang tak pernah terpenjara oleh kata-kata. Disana, biasanya terangkum satu kejujuran yang menjadi puncak dari moralitas manusia. Ketika menyapa cinta, tak akan kau temui sejumput serapah. Ketika menemukan cinta, tak bakal kau temui selasar punai yang bersuara busuk.

Dalam tetralogi “Bumi Manusia"-nya Pramoedya Ananta Toer, melalui percakapan romantis tokoh utamanya kepada kekasihnya, Minke. Pram menulis;

“Cinta itu indah Minke, terlalu indah, yang bisa didapatkan dalam hidup manusia yang pendek ini. Sungguh indah, juga kebinasaan yang mungkin membuntutinya. Orang harus menghadapi akibatnya. Lagi pula, tak ada cinta yang muncul mendadak, karena dia adalah anak kebudayaan, bukan batu dari langit”.

Tak ada cinta yang muncul secara mendadak, ia bukan batu yang tiba-tiba saja jatuh dari langit. Bagaimanapun ia masih ada dalam variable ruang, maka kehadirannya membutuhkan sebab.

Banyak motif dan alasan mengapa laki-laki, misalnya, jatuh hati kepada seorang perempuan. Begitu sebaliknya. Jika disebutkan motif atau alasan tersebut maka yang muncul pasti beragam. Tergantung kebutuhan masing-masing orang.

Dan ilustrasi hujan itu menjelaskan kepada kita, rasa apapun itu, ternyata tak pernah dibatasi, dikerangkeng, dipenjara, ditembok, oleh apapun. Dia bisa datang dimana, kapan saja dan oleh siapa saja.

Mungkin kita bisa belajar dari sebuah diary kecil:
Mencintai angin harus menjadi suit? Mencintai air harus menjadi ricik? Mencintai gunung harus menjadi terjal? Mencintai api harus menjadi jilat? Mencintai cakrawala harus menebas jarak? 
 
 
 
Aku mencintaimu [seperti] deras hujan...

Menjadi MALAIKAT Tanpa SAYAP

BAGAIMANA rasanya kehilangan waktu bersama orang yang kita cintai? Waktu bermain, sharing, bercengkerama dan apapun yang biasa dilakukan bersama. Pedih dan menangis mungkin. Apalagi kalau waktu itu hilang karena perbuatan kriminal yang tidak pernah kita duga.

Suatu pagi yang cerah, penulis menemukan satu kisah kehilangan itu. Oprah Show di salah satu televisi swasta "menemukan" seorang perempuan, seorang ibu dan seorang single parent bernama Jackie Millar, sebagai bintang tamu. Buat penulis, dia seperti "malaikat" berwujud manusia.

Ketika sedang meninap di rumah kawannya, dua remaja berandalan bernama Craig dan Joss yang awalnya berniat mencuri mobilnya, menembak kepala Jackie dari jarak dekat, setelah sebelumnya kepalanya ditutup dengan bantal. Jackie yang penggemar fotografi itu, tidak tewas, tapi benar-benar harus memulai hidupnya dari nol.

Jackie lumpuh sebelah, harus belajar menelan, mengunyah dan sensor motoriknya agak terganggu yang membuatnya harus bicara pelan-pelan. Satu yang pasti, mujizat itu ada ketika Jackie bisa bertahan hidup sampai usianya sekarang [ketika ditembak umurnya sekitar 45 tahun, dan kini 57 tahunan].

Bukan kisah itu sebenarnya yang luarbiasa. Dua tahun setelah menjadi "normal" lagi, Jackie melakukan hal yang mengejutkan. Dia mengunjungi penembaknya yang dipenjara. "Aku terkejut dan takut, karena merasa dia akan memamki dan menendangku, hal yang memang menjadi haknya,' kata Craig, yang ikut diwawancara lewat telekonference video dari penjara.

Ternyata tidak, meski ketika ditemui tidak berani menatap dan hanya menunduk, Craig 'salah prediksi' tentang sikap Jackie. Ibu dua anak itu memeluknya, memegang tangannya dan memaafkan semua yang pernah dilakukan Craig kepadanya. "Aku seperti punya masa depan lagi ketika Jackie memaafkan akud dengan tulus," kata Craig lagi.

Yup. Jackie memang memaafkan. Malah seperti kata Chad, anak sulungnya, ketika siuman dari penembakan itu, hal pertama yang dilakukannya adalah memberikan maaf kepada penembaknya. "Aku seperti melihat anakku sendiri membuat pengakuan telah melakukan hal buruk," kata Jackie ketika ditanya sikapnya itu.

Satu karya yang luarbiasa bukan? Memaafkan orang yang nyaris membunuhnya. Pendapat Jackie sederhana, ketika kita memendam rada marah dan dendam kepada seseorang, sebenarnya kita menyimpan racun yang 'membunuh' diri kita pelan-pelan. "Saya harus melanjutkan hidup dan yang saya lakukan adalah memaafkan dia," ucap Jackie yang juga menjadi buta akibat penembakan itu.

Bagaimana dengan kamu, saya dan kita? Jujur saja, saya pun kadang-kadang memilih menyimpan 'racun' dalam diri saya, sulit untuk memaafkan orang yang menyakiti dan membuat saya sebal. Bahkan keyakinan yang saya anut pun jelas-jelas mengatakan, 'kasihilah sesamamu manusia, seperti engkau mengasihi dirimu sendiri' tapi tetap saja keukeuh menyimpan 'racun' itu. Tapi Jackie Millar membuat saya malu. Dia dengan cepat memaafkan penembaknya dan merasa hidupnya makin tenteram.

Banyak hal yang membuat kita buta, meski kita melihat. Tapi Jackie melihat dengan terang, justru ketika menjadi buta. Meminjam apa yan dikatakan Mahatma Gandhi, "orang suci" dari India, "Orang lemah tak pernah bisa memaafkan, karena mengucapkan kata maaf adalah atribut orang kuat!"

Rabu, 03 November 2010

Merayakan Keberagaman ala AKSAN SJUMAN & TITI HANDAYANI

KEBERAGAMAN dan ke-bhineka-an, membuat pasangan drummer Sri Aksana Sjuman dan Titi Handayani Rajo Bintang menemukan cinta. Dan kemudian menjadi spirit dalam mendidik dan membesarkan anaknya kelak.  “Kita maunya, anak kita nanti bisa merasakan indahnya sebuah perbedaan,” kata dua musisi yang memilih jazz sebagai basic bermusiknya.



JATUH CINTA memang sejuta rasanya. Hal itu dirasakan oleh Aksan ketika mengajar seorang murid bernama Titi. Ketika itu, mantan drummer Dewa 19 ini adalah pengajar di salah satu sekolah musik, dan Titi adalah seorang muridnya.

“Dia kelihatan menarik, smart dan nyambung dengan apa yang saya omongkan,” celetuk anak pasangan sutradara Sjuman Djaja dan pebalet, Farida Oetoyo ini sembari tersenyum.

Aksan mengaku, dia memang jatuh cinta duluan. “Tapi ketika itu saya gengsi untuk ngaku,” ujarnya buka rahasia.  Masalah lain, Titi ketika itu –Aksan menyebut tahun 2000an—masih duduk di bangku SMA, sementara Aksan sudah ngetop sebagai drummer papan atas.

Kedekatan itu ternyata menguntungkan ketika  Aksan dan Titi memilih bersahabat dekat. Meski awalnya sama-sama sudah punya pacar, persahabatan itu toh menjadi sarana yang asik untuk saling sharing.  Sampai suatu titik, Aksan merasa sering kehilangan kalau nggak ketemu Titi.

“Saya merasa lebih kehilangan ketika tidak bertemu atau bersama dia. Padahal ketika itu kita belum pacaran,” aku laki-laki berdarah Solo ini.  Setelah bersahabat selama dua tahunan, Aksan dan Titi akhirnya sepakat untuk pacaran.  

Perbedaan usia yang cukup jauh, ternyata tak menjadi kendala berarti buat dua insan ini. Aksan yang kelahiran Jakarta 22 September 1970, ternyata bisa connect dengan Titi yang lahir di Jakarta 10 Februari 1981. Perbedaan 11 tahun sempat membuat orang-orang dekat mereka meragukan keseriusan hubungan mereka.  “Padahal kita sih asik-asik saja,” celetuk alumnus Institut Musik Daya Indonesia [IMDI] Jakarta sambil terkekeh.

Yang lucu, menurut Titi, Aksan sebenarnya sudah melamarnya sampai tiga kali selama pacaran.

“Tapi aku menolaknya, karena berbagai alasan termasuk kesiapan mental menjadi seorang istri,” kenang perempuan yang awalnya sempat ditentang orangtuanya Idham Rajo Bintang dan Susy Aryani, ketika memutuskan menjadi drummer [dan musisi]. Sampai ketika malam tahun baru 2004, saat manggung di GWK Bali [kebetulan Titi ikut],  Aksan melamarnya [lagi] di belakang panggung.

“Aku sempat sebel, karena sebelumnya dicuekin habis sama Aksan. Tapi ketika dia melamar lagi, aku nggak bisa ngomong apa-apa dan mengiyakan,” kenang cewek yang tumbuh di daerah  Maninjau, Sumatera Barat.  Minggu, 15 Agustus 2004, di Masjid Al Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Aksan dan Titi akhirnya disahkan menjadi suami istri.

Perkawinan mereka menjadi perkawinan dua budaya yang berbeda. Titi berdarah Sumatera yang ceplas-ceplos dan kadang meledak-ledak, sementara Aksan tumbuh dalam budaya Jawa di-mix dengan style Jerman.  Aksan sempat kuliah beberapa tahun di Folkwang Hoechschule Essen Jerman, jurusan Jazz Studiengang. Gaya hidup Eropa, membuatnya menjadi orang mandiri dan cuek. Lucunya, Aksan masih serig terkaget-kaget ketika Titi ceplas-ceplos. “Itu karakter Jawanya, ha..ha,” ucapnya terbahak.

Sementara Titi melihat Aksan yang lebih dewasa, adalah sosok yang penyabar dan cerdas.
Aku termasuk orang yang susah jatuh cinta, tapi ketika melihat Aksan aku suka karena wawasannya luas dan bisa diajak ngomong apa saja, papar Titi, yang kini jadi dosen di IMDI.

Dua kutub, dua karakter dan dua emosi yang berbeda itu, ternyata bisa membuat mereka saling ngerem.  Dalam bahasa Titi, yang ‘lucunya’ sempat meraih penghargaan ‘'Aktris Pendatang Baru Terbaik' Indonesia Movie Award [IMA] 2008, “Ketika Aksan ngebut, aku yang ngerem, begitu sebaliknya, ketika aku sedang kencang, Aksanlah yang menjadi penyeimbang,” tukas perempuan yang mas kecilnya sering main teater ini sambil melirik suaminya.  Titi juga mengaku, ketika pacaran tanpa tedeng aling-aling ‘mempertontonkan’ karakter masing-masing.

“Jadi kita sudah tahu jelek-jeleknya ketika pacaran. Saat menikah ya santai saja,” terang Titi.

ANAK YANG PEDULI
Titi dan Aksan tak menampik ketika disebut masa kecil mereka sudah berkecukupan. Bagaimana tidak, Titi adalah anak pengusaha hotel di Sumatera Barat, sementara Aksan punya orang tua sutradara film dan pebalet terkenal. Dimanja? Sombong? Atau mungkin merasa berbeda dengan kawan-kawan lain?

“Justru karena itu, dari kecil saya malah milih naik bis kota rama-ramai kalau sekolah soalnya malu kalau dijemput pakai mobil,” kenang Aksan. Apalagi kemudian ayahnya menyelipkan nilai-nilai nasionalisme dan sosial kepada Aksan. “Saya beruntung punya orangtua yang sangat toleran dan sosial,” imbuhnya.

Begitupun Titi. Meski ayahnya adalah orang yang pertama membangun hotel di Maninjau, tapi perempuan yang awalnya ‘sangat tomboy’ ini tak mau terkungkung pada ‘tembok kekayaan’ itu. “Saya mana betah degan model hidup seperti itu. Jadi ya mainnya dengan anak-anak lain juga. Nggak beda-bedainlah,” tegas cewek yang sering berkutat dengan musick scoring film ini kalem.

Tidak membedakan dan menerima perbedaan itulah yang kemudian ditularkan kepada anaknya, Miyake Shakuntala Sjuman.  “Anak itu kan selalu ingin bermain, jadi kita biarkan dia bermain dan kita awasin saja,” jelas Titi.  Aksan dan Titi mengaku bukan termasuk orangtua yang suak melarang anak-anaknya untuk melakukan aktivitas.

“Dia mau kotor-kotoran, dia mau hujan-hujanan, atau dia belepotan lumpur misalnya, kita nggak akan marahin. Biarin saja dia bereksplorasi,” tegas perempuan yang pernah kecewa karena batal duet bersama grup kondang asal Amerika Serikat, The Manhattan Transfers, di Java Jazz 2008.

Soal lingkungan hidup dan lingkungan sosial, menjadi salah satu concern pasangan musisi yang pernah bersama membuat ilustrasi musik pada film, di antaranya film The Photograph dan 6:30, untuk Miyake yang lahir di Jakarta, 4 November 2005 silam.

“Selain sekolah, di rumah saya juga membiarkan dia bermain-main dengan teman-temannya di halaman. Kadang-kadang main dengan anak kampung juga nggak masalah,” terang Aksan. “Soal lingkungan hidup, atau global warming,  meski dengan cara yang sederhana soal buang sampah misalnya, tapi kita ingin ajarkan kepada Miyake,” papar Titi dan Aksan serempak.

“Karena kita sudah melahirkan Miyake, kita juga harus kasih lingkungan yang sehat dan menyenangkan. Jangan dipenuhi dengan adegan kekerasan atau kekacauan, termasuk lingkungan hidupnya,” terang Aksan, yang pernah merilis album solo “Peaceful Journey” tahun 2004 silam bersama musisi jazz international : Joe Rosenberg, Peter Scherr, Masako Hamamura dan Eugene Pao.

Miyake juga bergaul dengan anak-anak pembantu yang bekerja di rumah mereka. “Kita pelan-pelan memberi penjelasan pada anak kita, tidak semua orang beruntung. Kita ingin dia bisa baik dan respect pada semua manusia kelak,” tegas Titi.

Hiruk pikuk Jakarta dan persoalan udara bersih, juga masuk perhatian pasangan ini. “Kalau memang kelak Jakarta sudah semakin tidak sehat, bisa saja kita putuskan untuk pindah, ke Bali milsanya,” tegas Aksan.  “Sekarang memang apa-apa yang kita lakukan sudah tidak berpikir hanya untuk kita berdua,” imbuh Aksan.

Aksan dan Titi juga orangtua yang tidak memaksakan sekolah tertentu untuk anaknya. “Sekolah penting untuk sosial dan melatih kepekaan anak. Tapi kita juga perhatikan sisi bermain dan emosi anak. Kalau dia nyaman dan senang, ya lanjut,” kata Titi. Soal mahal tidaknya, Titi dan Aksan tidak terlalu persoalan. “Kalau bisa sih nggak mahal-mahal, tapi benar-benar memperhatikan dan fokus ke anak,” repet perempuan pemilik rambut panjang lurus ini kalem.

Punya orangtua yang musisi, Miyake kemudian tumbuh dalam suasana musikal yang kental. Tapi Aksan dan Titi justru tak mengharuskan anaknya kelak bakal jadi musisi juga. “Kalau bisa jadi dokter,” celetuk Titi sembari terkekeh.  Dari kacamata Aksan –kini sibuk sebagai drummer POTRET bareng Melly Goeslaw dan Anto Hoed—mereka tetap akan mengajarkan musik, karena memang membantu tingkat emosi dan kecerdasan anak. “Tapi kelak dia mau jadi apa, kita nggak akan paksakan,” tegas drummer jazz yang menyebut musiknya dengan “21st Century Music”

Berlibur di luar Jakarta, menjadi pilihan pasangan ini ketika mengajak Miyake jalan-jalan.

“Biasanya kita pilih pantai Ancol atau Taman Safari, supaya bisa terbebas dari pengapnya Jakarta,”celetuk Titi sambil tertawa ringan.  Meski “resah” dengan Indonesia, Aksan dan Titi tak pernah berpikir untuk pindah dari Indonesia. “Kalau pun pindah, tetap di Indonesia kok,” sahut Aksan, yang juga  ngebentuk Aksan Sjuman & The Committee Of The Fest Experimental.

*obrolan ini dimuat di majalah parentguide jakarta, edisinya lupa...