Senin, 06 Agustus 2012

per-EMPU-an


Mari “mengerti” perempuan.  Silakan cekikikan dengan ajakan saya itu. Tapi apa yang saya semburkan di atas, bukan perkara main-main dan pemikat emosional laki-laki semata. Mengapa? Karena “mengerti” yang saya tawarkan adalah sebuah wacana tentang dominasi dan subordinasi. Dan kemudian bicara soal kesepahaman.

MENGAPA  harus ada dua kelamin yang berbeda di jagat ini? Pernahkah terpikir, ketika kelamin-kelamin itu diciptakan, sang hyang widhi tak pernah mengembuskan dominasi satu kelamin atas kelamin lainnya? Kemudian atas nama kelebihan fisik, kemampuan adaptasi, dan olah raga yang lebih mumpuni, perempuan menjadi subordinasi.

Oke, mengapa saya menggunakan kata “per-empu-an”. Empu adalah istilah untuk menyebut seseorang yang memiliki daya linuwih, waskita, berilmu tinggi, ahli sastra, menguasai ilmu kasampurnaning urip , dan pembuat suatu karya agung. Penyebutan istilah itu tidak hanya sekadar menyebutnya sesuai jenis kemaluannya saja, tetapi lebih tegas [dan mulia] karena menyebutnya dengan aspek esensi yang lebih manusiawi. “Mengerti” perempuan, adalah membenci dominasi satu kelamin atas kelamin lainnya. Laki atas perempuan atau sebaliknya.

Lalu apa esensinya ajakan saya itu? Begini: Ketubuhan perempuan itu sejatinya adalah milik perempuan itu sendiri, apapun kondisinya. Bahkan ketika perempuan itu sudah menikah atau memiliki pasangan, mereka –pasangannya itu—hanya berhak memiliki raga. Tapi pilihan atas tubuh dan pikirannya, seratus persen milik si perempuan itu. Belajar [mengerti] perempuan, seperti istilah yang sudah saya babar di atas, sebenarnya dalam dunia kecil kita adalah belajar dengan manusia berilmu tinggi, berdialog tentang kesempurnaan hidup dan mampu membuat karya agung. Apa karya itu? Perubahan wajah kehidupan manusia [jadi lebih baik pastinya].

Hal itu tidak bisa dilakukan saat kata bernama “dominasi”  mulai masuk dan bertahta. Tatanan kesetaraan bisa jadi terinjak-injak ketika itu terjadi. Sinergi dua kelamin ini tak harus saling melumerkan, tapi justru harus makin mengikatkan. Kata-kata klise? Memang, dan teori kesetaraan memang bukan perkara mudah seperti membersihkan ingus dari hidung.

Manusia bernama laki-laki dan perempuan dibentuk dan diberi napas, bukan untuk menjadi ranting lemah. Mereka dilahirkan ke dunia untuk memiliki keberanian. Memiliki martabat yang sama. Itu artinya menghormati kemanusiaan. Itu artinya mencintai kehidupan tanpa mengizinkan cinta itu menjadi jangkar. Itu artinya kita berjuang untuk jadi pemenang. Dan pemenang itu bukan persoalan kelamin dan dominasi, tapi kesepahaman.