Ke-tiada-an adalah nisbi. Kekosongan adalah nihil. Dan kehampaan adalah patron. Semuanya bermuara pada ketidakadaan. Semuanya similair. Lalu dimanakah ke-ada-an itu bersinggah? Dimanakah posisi manusia yang karena berpikir maka dia ada itu berada?
+++
Saya sedang melayang di atas kekosongan itu. Kehampaan itu begitu terasa bahkan ketika tubuh ini terasa lengkap dan tidak kekurangan satu apapun. Kok bisa? Pikiran ini mengalir begitu cepat, tapi arahnya tak beraturan. Detak jantung pun berdebam kencang, tapi tak berirama sama sekali. Lebih pada periodesasi kelelahan yang tidak terdeteksi sebelumnya. Membuat tubuh ini terasa renta.
Aku seperti kehilangan dalam kehilangan. Mengembara dalam ruang tanpa batas, tak pernah tahu waktu dan arah untuk kembali. Ada cahaya, tapi nyaris seperti fatamorgana. Ketika didekati hanya visualisasi kosong yang mengecewakan. Aku kehilangan pegangan, aku kehilangan kendali, aku kehilangan hati, aku kehilangan rasa dan aku kehilangan kekuatan.
Di dalam kehilangan itu, aku kembali kehilangan. Kehilangan cahaya, kehilangan tangan, kehilangan mata, kehilangan tubuh, meski ragaku tampak melayang-layang. Aku seperti dihisap tarikan debu, berserakan tapi mematikan dan tak memberi ruang udaranya.
Nyaris seperti mati. Nyaris seperti mayat yang tetap bisa berdiri tapi tak bisa bergeming. Nyaris seperti roh yang lupa dimana raganya tinggal. Nyaris seperti manusia yang tak pernah diciptakan oleh sang pencipta. Hampa, kosong dan mati. Aku tidak mengenal diriku sendiri, karena aku sudah kehilangan dalam kehilanganku.
Lalu adakah ke-ada-an untuk ragaku yang tersisa ini? Entahlah. Ketika nisbi bersinergi dengan nihil, semuanya nyaris tak mungin bertemu. Adakah kesempatan untuk hidup sebelum mati, adakah hembusan nafas sebelum lunglai? Di pekarangan jiwa, di kebun hati dan di belukar kehidupan, selalu ada titik terang yang bukan fatamorgana. Sekecil apapun itu. Dan disanalah, mungkin kehilanganku atas kehilangan akan tertemukan. Entah oleh siapa.