Mari “mengerti”
perempuan. Silakan cekikikan dengan
ajakan saya itu. Tapi apa yang saya semburkan di atas, bukan perkara main-main
dan pemikat emosional laki-laki semata. Mengapa? Karena “mengerti” yang saya
tawarkan adalah sebuah wacana tentang dominasi dan subordinasi. Dan kemudian
bicara soal kesepahaman.
MENGAPA harus ada dua
kelamin yang berbeda di jagat ini? Pernahkah terpikir, ketika kelamin-kelamin
itu diciptakan, sang hyang widhi tak
pernah mengembuskan dominasi satu kelamin atas kelamin lainnya? Kemudian atas
nama kelebihan fisik, kemampuan adaptasi, dan olah raga yang lebih mumpuni,
perempuan menjadi subordinasi.
Oke, mengapa saya menggunakan kata “per-empu-an”. Empu adalah
istilah untuk menyebut seseorang yang memiliki daya linuwih, waskita,
berilmu tinggi, ahli sastra, menguasai ilmu kasampurnaning
urip , dan pembuat suatu karya agung. Penyebutan istilah itu tidak hanya
sekadar menyebutnya sesuai jenis kemaluannya saja, tetapi lebih tegas [dan
mulia] karena menyebutnya dengan aspek esensi yang lebih manusiawi. “Mengerti”
perempuan, adalah membenci dominasi satu kelamin atas kelamin lainnya. Laki atas
perempuan atau sebaliknya.
Lalu apa esensinya ajakan saya itu? Begini: Ketubuhan
perempuan itu sejatinya adalah milik perempuan itu sendiri, apapun kondisinya.
Bahkan ketika perempuan itu sudah menikah atau memiliki pasangan, mereka
–pasangannya itu—hanya berhak memiliki raga. Tapi pilihan atas tubuh dan
pikirannya, seratus persen milik si perempuan itu. Belajar [mengerti]
perempuan, seperti istilah yang sudah saya babar di atas, sebenarnya dalam
dunia kecil kita adalah belajar dengan manusia berilmu tinggi, berdialog
tentang kesempurnaan hidup dan mampu membuat karya agung. Apa karya itu? Perubahan
wajah kehidupan manusia [jadi lebih baik pastinya].
Hal itu tidak bisa dilakukan saat kata bernama “dominasi” mulai masuk dan bertahta. Tatanan kesetaraan
bisa jadi terinjak-injak ketika itu terjadi. Sinergi dua kelamin ini tak harus
saling melumerkan, tapi justru harus makin mengikatkan. Kata-kata klise?
Memang, dan teori kesetaraan memang bukan perkara mudah seperti membersihkan
ingus dari hidung.
Manusia bernama laki-laki dan perempuan dibentuk dan diberi
napas, bukan untuk menjadi ranting
lemah. Mereka dilahirkan ke dunia untuk memiliki keberanian. Memiliki martabat
yang sama. Itu artinya menghormati kemanusiaan. Itu artinya mencintai kehidupan
tanpa mengizinkan cinta itu menjadi jangkar. Itu artinya kita berjuang untuk
jadi pemenang. Dan
pemenang itu bukan persoalan kelamin dan dominasi, tapi kesepahaman.