BELAJAR melihat yang tidak tampak, --tidak ada
hubungannya dengan lelembut ya—ternyata
bukan perkara mudah. Ini bicara soal penghakiman kita atas orang lain, yang
keluar dari mulut kita karena melihat apa yang tampak di permukaan saja. Saya
terus-menerus menjadi “murid” untuk tahu bagaimana seharusnya melihat,
mengapresiasi, mungkin menghakimi, orang lain, tapi tetap mencoba cari tahu bagaiman
kehidupan yang tidak tampak oleh kita.
Melihat apa yang tampak apa
adanya untuk sekarang ini menjadi sangat lumrah. Orang mulai lupa tentang
melihat jauh kedalam hati sanubari seseorang. Wajar memang, penampilan luar
adalah yang nampak untuk dinilai awal pertama kali mengenal seseorang. Bagaimanapun
juga penampilan luar menjadi mudah untuk kita nilai karena ini kelihatan untuk
bisa lebih mudah ditebak. Melihat penampilan luar, kemudian menjai hakim atas
perilakunya yang tidak kita setuju, rasanya sudah jamak dilakukan manusia.
Tapi bagaimana kalau saya
mengajak, kita menjadi manusia baru yang bisa memperhatikan sikap, perilaku,
dan pemikiran seseorang yang ingin kita “hakimi” dengan lebih jernih. Bagaimana
kita melihat orang yang hobinya minjem duit terus, tapi perspekstif
psikologinya? Bagaimana kita melihat kawan kita yang hobinya main perempuan,
dari sisi karakter dan kisah hidupnya? Atau bagaimana kalau kita melihat kawan
kita yang gengsi untuk mengakui kekurangannya, dengan melihat perjalanan
hidupnya?
Saya pernah “iseng” ingin melihat
reaksi orang lain, jika saya terlihat urakan, ugal-ugalan, dan sedikit rock n’roll.
Suatu ketika saya ingin menjual kalung dengan permata ke salah satu toko emas
terkenal di salah satu mall besar di Jakarta. Saya memakai kaos bergambar tengkorak,
bertuliskan nama band metal favorit saya. Kemudian celana jeans yang sudah
sobek di dengkul, dan sepatu converse
yang sudah butut. Ketika saya masuk, outletnya sedang sepi. Beberapa karyawannya
sedang ngobrol di pojok ruangan. Kedatangan saya tidak disambut layaknya customer. Ketika saya melihat-lihat pun,
mereka masih cuek hanya melirik. Baru ketika saya mengeluarkan anting permata
dengan sertifikat resmi yang ingin saya jual, mereka beringsut ramah dan baik
hati.
Itu sekadar contoh saja. Tapi hal-hal
seperti itu mungkin pernah Anda alami dalam konteks yang berbeda. Bagaimana Anda
dihakimi karena penampilan Anda yang tidak terlihat keren, rapi, ganteng,
cantik atau kumuh? Saya teringat cerita masa kecil di salah satu koran di
Semarang. Seorang petani, dengan memakai sarung dan kaos kumuh mondar-mandir di
showroom mobil. Boro-boro bertanya,
karyawannya malah memelototi petani itu dengan rasa curiga yang amat sangat.
Ketika petani tersebut bertanya soal salah satu mobil, karyawannya malah
ngacir. Sampai akhirnya ada salah satu karyawan perempuan yang –mungkin—kasihan,
nyamperin bertanya apa keperluannya dengan ramah. Sembari menunjuk salah satu
mobil, petani tersebut mengatakan: “Saya mau beli yang ini!” Sembari membuka
sarungnya, petani tersebut mengatakan, “Saya mau bayar lunas sekarang,” katanya
sembari memperlihat lipatan uang jutaan dalam sarungnya.
Ilustrasi lain terinspirasi
dari lagu Titik Puspa, “Kupu-Kupu Malam’. Anda yang laki-laki mungkin hanya bisa
mengatakan: “Pakai, bayar, kelar!” sementara yang perempuan mungki mendamprat, “Dasar
perusak rumah tangga!”. Hanya itu? Saya pernah mewawancarai seorang PSK untuk
riset tulisan dan buku. Dia janda anak 1 yan sudah beranjak remaja. Suaminya
meninggal dan dia harus menghidupi anak, dan orangtuanya yang miskin. Klise
memang, tapi begitulah realitanya. Keluarga dan anaknya jelas tidak tahu apa
yang dilakukannya. Pokoknya ada uang dan kesejahteraan.
Kisah lain muncul dalam
Alkitab. Seorang pelacur yang mengalami pendarahan, berusaha menjamah jubah
Yesus. Karena dia yakin, hanya dengan menjamah jubahnya, sakitnya akan sembuh.
Tapi karena ditutup oleh murid-muridnya, perempua tersebut kesulitan. Apalagi orang
sekelilingnya juga meremehkan perempuna tersebut karena tahu dia pelacur. Dan benar-
ketika berhasil menyentuh jubah Yesus, sakitnya tersembuhkan. Kemudian Yesus
menoleh dan memberkatinya.
Dari beberapa ilustrasi di
atas, saya hanya ingin mengatakan, hati-hati menghakimi seseorang dengan ucapan
yang mungkin menyakiti, melemahkan, atau membuat dendam dan luka batin. Jangan
karena yang tampak membuat kita kesal jengkel, sebal dan benci, kita boleh
mengucapkan serapah apapun kepada orang lain. Melihat dengan batin, menyadari
bahwa semua manusia terlahir sama, mungkin akan membantu kita memahami
seseorang. Mudah? Amat sangat tidak. Tapi bukan sesuatu yang mustahil.
Kita memiliki mata untuk
melihat. Namun penglihatan kita ada batasnya. Bahkan terkadang betapa mudahnya
kita tertipu oleh apa yang kita lihat. Ternyata tidak semua yang kita lihat
sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Orang yang arif tidak akan melihat
hanya pada apa yang terlihat. Dia melihat tidak hanya dengan mata kepalanya,
tapi juga melibatkan mata hatinya.