Ketimbang hakim di pengadilan, kini banyak bertebaran “hakim-hakim” jalanan, yang merasa dirinya berhak menjadi hakim atas kesalahan orang lain. “Hakim-hakim” itu bermulut nyinyir dan menjaddi “tuhan” atas nama kebenaran mereka sendiri. Agama dan Tuhan, jadi “palu” untuk menjatuhkan hukuman.
SEKARANG
ini, menjadi manusia adalah “kesalahan besar” menurut saya. Bukan tidak
bersyukur dilahirkan sebagai makhluk paling sempurna derajatnya diantara
makhluk lainnya, tapi justru karena derajat yang tinggi itulah, saya merasa “bersalah”
menjadi manusia. Dalam kitab suci apapun, yang diklaim paling benar atau yang
diklaim tiruan sekalipun, setiap manusia yang diciptakan, selalu dihembuskan
dengan napas dan tetirah berupa
sifat-sifat Tuhan. Siapa yang berani ngeyel
tentang karakter Tuhan?
Tapi
entah melupakan karakter itu, atau ternyata buah
kuldi tentang pengetahuan yang baik dan buruk terlalu membuka mata manusia,
bahwa mereka –manusia itu—bisa setara dengan Tuhan. Manusia cenderung menjadi
makhluk yang mengabaikan catatan-catatan apik tentang penciptaan dan ruh Allah
itu.
Kristen
masuk Islam disebut sesat, Islam masuk Kristen dianggap murtad. Islam masuk
Kristen dianggap bertobat, sementara Kristen masuk Islam dianggap mendapat
hidayah. Begitu saja terus bolak-balik. Media ikut andil menyuburkan sektarianisme itu dengan “mengusik”
persoalan keyakinan ini, dengan pihak-pihak yang pastinya senang “berkoar-koar”. Mas, Mbak, urusan keyakinan itu, urusan
personal! Bukan sekadar catatan tertulis di masjid, gereja, atau lembaga-lembaga
keagamaan yang diakui. Silakan jadi public
relations untuk agama masing-masing, tapi apakah orang lain tertarik atau
tidak, sudah bukan urusan kita lagi.
Tapi
ya sudahlah, mungkin memang “Tuhan” diciptakan
oleh Tuhan lain, sehingga manusia mungkin saja dibuat oleh Tuhan yang
berbeda-beda. Ya tidak heran, kalau kemudian mengklaim sebagai pemilik hakiki
kebenaran karena Tuhannya memang ngomong begitu. Ini dengan asumsi, Tuhan
memang ada banyak. Mungkin juga masing-masing “Tuhan” itu bersaing menciptakan
manusia baik, tapi membolehkan untuk menyakiti, melukai, kalau perlu membunuh
manusia ciptaan “Tuhan” lain. Mungkin loh
ya...
Kita
terlalu mudah menjadi “hakim” atas manusia lain, atas dasar kebenaran yang kita
yakini. Kalau tidak “sama” berarti tidak benar, dan pasti salah. Saya punya
banyak sahabat baik, tapi apakah mereka akan tetap menganggap saya sahabatnya
kalau kemudian saya menjadi Kristen? Apakah mereka akan tetap bersahabat ketika
saya memutuskan jadi Islam? Atau apakah saya tetap dianggap sebagai bagian
persaudaraan, ketika saya mengatakan hanya percaya pada Tuhan, apapun agama si
Tuhan itu?
Saya
teringat peristiwa beberapa abad silam, ketika seorang “Manusia” dihadapkan
pada pilihan sulit soal hukuman kepada pelacur yangg tertangkap massa.
Mereka ingin mengadili dengan merajam
dan mungkin membunuhnya. Rakyat dan para pengikut berteriak, ”Orang ini
berdosa, dia sudah mencemarkan hari suci dengan dosa percabulan yang maha
berat, hukum rajam dia sampai mati”. Sang “Manusia” pusing tujuh keliling,
karena manusia-manusia yang keras hati itu berbuat seolah mereka adalah Sang
Maha Kuasa. Lalu Sang “Manusia” berkata dengan tenang dan lantang “Barangsiapa
yang tidak berdosa, silahkan dia yang pertama kali melempar batu kepada pendosa
ini”.
Siapa
mau jadi “pelempar batu” duluan?