INI kisah nyata tentang seorang perempuan tuna netra. Sebut saja namanya Diana. Dia adalah ibu dari delapan orang anak. Bukan orang kaya, biasa saja. Miskin? Secara materi mungkin agak tertatih, tapi Diana punya “kekayaan” lain yang lebih dibanding perempuan lain. Apa itu?
Diana ditinggalkan suaminya –bukan diceraikan—ketika melahirkan anak bungsunya. Sang suami terpikat perempuan lain dan membuat Diana harus jungkir-balik menafkahi anak-anaknya yang mulai beranjak besar. Tidak semua dirawatnya, karena dengan keterbatasan fisiknya, Diana tentu saja “kerepotan” mengurus delapan orang anak. Beberapa anaknya “terpaksa” dirawat orang lain, tapi seperti pengakuannya: sebenarnya, hati seorang ibu tak pernah rela anaknya berpisah.
Kemudian untuk menopang hidupnya, Diana mengambil kursus pijat sampai akhirnya bekerja di salah satu panti pijat khusus tuna netra. Dan itulah yang member harga diri sebagai seorang ibu. Tak pernah mengeluh hingga kemudian anak-anaknya dewasa dan berhasil mandiri. Kisah hidupnya berakhir, ketika Diana meninggal karena sakit.
Satu pertanyaan yang selalu dijawabnya dengan ringan dan tulus, apakah Diana merasa sakit hati dengan perlakuan suaminya?
“Saya memaafkan dia, dari pertama dia menyakiti saya.”
Kisah Diana, dari kasat mata tampaknya bicara soal ‘kelemahan’ perempuan. Kalau sudut pandang itu yang Anda tangkap, maaf Anda salah. Diana bicara soal keteguhan, pengampunan, ketulusan dan mengasihi. Bukan soal mudah memilih berada di sisi ini, karena dia adalah perempuan yang tersakiti. Biasanya, manusia akan langsung melawan atau menghujat dengan cara apapun, ketika dirinya tersaikiti yang amat sangat.
Ibarat angin, Diana adalah kesejukan yang membawa keluarganya melintasi badai. Dia melewati jurang, dan selamat sampai di ujung. Dia mengakhiri “pertandingannya” dan berhasil mencapai garis finish.
Apa yang Anda dapat dari ilustrasi Diana ini? Ketika kita tersakiti, secara manusia pasti terluka. Saat kita membawa luka itu berkepanjangan, kita sebenarnya membawa racun dari dalam hidup kita. Dendam itu arsenic –racun yang membunuh pelan-pelan dalam tubuh.
Mengampuni, memaafkan, atau melupakan kesakitan itu ‘nyaris’ tidak mungkin. Tapi Diana bisa melakukannya saat dengan tulus membuang “racun” dari pertama kali terluka. Beranikah Anda ambil keberanian itu?
[Jakarta, Jumat 07.01.2010]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar