Kamis, 17 Juli 2014

Bhinneka [Seharusnya] Belum Terluka

Saya baru membaca dan melihat berita foto, di Irak, puluhan perempuan yang yang “diduga” pelacur, tewas diberondong sekelompok pria bersenjata. Konon –tulis berita tersebut—ini dilakukan untuk “membersihkan” kota dari dosa. Miris melihatnya. Bahkan pelacur pun, berhak hidup. Siapa berhak menentukan mati hidup seseorang?

+++
SAYA tidak akan membahas berita tersebut, karena terlalu politis. Tapi saya teringat satu kisah dalam alkitab, ketika ada seorang pelacur yang mencoba akan dirajam, karena dianggap pendosa. Dialognya begini: “Guru, wanita ini telah berbuat zinah..menurut taurat, harus dirajam sampai mati....jawab guru "Jika diantara kamu ada yang tidak berbuat dosa maka hendaklah yang pertama kali melempari batu." Dan satu persatu calon perajam itu undur diri, karena merasa tak satupun yang bersih dari dosa.

Tidak ada orang yang berhak menghakimi dosa orang lain. Oke, dia bersalah, secara hukum negara mungkin memang harus dihukum sesuai peraturan yang ada, tapi siapa yang berhak mengatakan dengan keras: “Dia berdosa!” Kita? Saya? Anda?

Inilah kegelisahan saya sebagai manusia, sahabat, kawan biasa, atau mungkin musuh –kalau ada yang menganggap begitu. Mungkin diantara kawan-kawan saya, ada yang jadi pelacur, jadi penjahat, jadi direktur, jadi polisi atau tentara, jadi kacung kampret, jadi penipu, jadi bajingan, jadi guru, jadi penggosip, atau jadi rohaniwan. Tapi apapun itu, kita tak berhak mengklaim dosa orang lain, seolah kita bersih dari dosa.

Namanya manusia kabarnya memang gudangnya dosa. Macam-macam. Kumpul si A, mungkin ngomongin B, kumpul C mungkin jelekin D, kumpul E mungkin menjatuhkan si F. Kita, menjadi merasa senasib dan bisa berkumpual baik, hanya ketika ada sahabt, atau kawan kita yang meninggal. Selebihnya, selalu merasa jauh lebih baik ketimbang yang lain. Selebihnya, merasa jauh lebih kere dari yang lain. Selebihnya, merasa jauh lebih kaya ketimbang yang lain, selebihnya merasa jaug lebih hebat ketimbang yang lain. Maaf, saya muak dengan asumsi-asumsi konyol itu.

Sampai detik ini, yang bisa membuat saya bisa bersahabat dengan siapapun adalah: ketulusan untuk menjadi teman, sahabat, atau bahkan keluarga. Mungkin kalau saya pilih-pilih berteman dengan yang kaya, hebat, posisi tinggi, hati saya hanya akan dipenuhi kepentingan-kepentingan omong kosong yang akhirnya meruntuhkan kemanusiaan saya. Kalau saya malas berteman dengan kawan saya yang gembel, miskin, jelek, dan tidak punya posisi tinggi dalam pekerjaannya, niscaya saya hanya jadi manusia yang sebenarnya merendahkan derajat kemanusiaan saya sendiri.

Apa sih hakikat pertemanan dan persahabatan? Ngomongin teman di belakang? Memilih menjadi “musuh” meski harus kehilangan humanisme yang sejati? Atau memilih pertemanan karena merasa senasib, seide dan selevel? Bullshit kawan-kawan. Buat saya, berteman ya berteman. Bahkan ketika engkau menipuku, bahkan ketika engkau menjatuhkan martabatku, bahkan ketika engkau melecehkan kemanusiaanku, bahkan ketika engkau merasa derajatmu lebih tinggi ketimbang aku. Saya tidak peduli, berteman [atau bersahabat], ya bersahabat saja.

Ini kegelisahan saya. Hidup saya hanya ingin berada diantara manusia dan kemanusiaan yang sesungguhnya. Tanpa syarat, tanpa embel-embel. Tapi kalau ada yang merasa dirinya lebih bersih dan merasa tanpa dosa: silakan rajam saya duluan.

Biarlah kita tetap dan selalu jadi sahabat yang Bhinneka Tunggal Ika

Jakarta, 15-07-2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar