Mengapa saya begitu keukeuh bersikap setuju dengan pluralisme dan keberagaman? Sebenarnya sederhana saja, karena saya malu kepada pencipta manusia. Karena DIA –apapun sebutannya, bagaimanapun ujudnya—membuat dunia ini bnegitu beragama, tidak seragam pasti punya maksud. Dan kita manusia, yang menjadikan [maunya] seragam dengan apa yang kita mau. Nehi-nehi ya…
DALAM sebuah diskusi singkat dengan seorang kawan, muncul pertanyaan itu, mengapa saya selalu berusaha mempengaruhi, mengajak, berdiskusi, dan sharing tentang indahnya menjadi beragam. Ini berlaku di semua lini kehidupan ya. Agama, politik, sosial, budaya –semuanya terlibat. Lalu bagaimana diantara kita kemudian ada yang memaksakan menjadi homogen dan mengabaikan yang tidak sependapat?
Saya harus akui, dimensi pemahaman orang memang berbeda-beda melihat istilah pluralisme. Tidak semua orang juga setuju dengan istilah ini. Tapi yang paling rentan adalah wilayah keagamaan. Dan itulah gunanya pemuka agama apapun, mempunya pemahaman, wawasan dan keterbukaan menanggapi hal-hal tertentu. Kalau muncul kata “pokoknya”, itu tandanya Anda segera menyingkir, cari kerja baru atau minta pindah divisi, misalnya. Karena satu kata itu sejatinya kunci untuk menanggapi tanggapan.
Nurani saya terganggu ketika banyak teman menawarkan kepada saya untuk mencoba “agama” mereka, hanya karena saya kerap mengatakan: “Tuhannya satu, agamanya banyak!”. Kata-kata yang selalu ditudin pengingkaran saya kepada yang maha kuasa –versi teman saya pastinya. Sikap yang seharusnya kita munculkan terhadap perbedaan adalah toleransi antar sesama umat, menghindari diskriminasi terutama terhadap umat minoritas, dan menjalin hubungan yang harmonis. Meskipun agama itu berbeda, sebenarnya memiliki titik persamaan, yakni menyembah terhadap Tuhan yang sesungguhnya sama. Namun, pendapat seperti ini justru dianggap sesat dan menghancurkan keyakinan atau akidah umat.
Tulisan ini, bukan tulisan pertama yang saya gunakan untuk menyodorkan tentang pluralisme, dan tudingan aneh-aneh sudah biasa saya dengar dan terima. Termasuk dari teman-teman, dan yang menganggap saya teman. Padahal tujuan saya simpel: kembali ke akar manusia pertama. Siapa yang menciptakan agama? Tuhan? Manusia pertama? Ah, pertanyaan yang tidak pernah saya dapatkan jawabannya, dari agama manapun.
Kembali ke pluralisme. Mungkin juga saat ini ada yang sedang membaca tulisan saya ini dan kemudian mengatakan: saya tidak punya konsep keTuhanan yang jelas? Saya tidak punya konsep bahwa Tuhan bakal memberi sesuatu dengan cuma-cuma. Karena pujian, hinaan, dan kesengsaraan, sejatinya adalah perjalanan yang wajib didengar lagi, sebelum urusan surga neraka.
"Saya muak dengan teman, katanya temen, dan seolah temen yang berdandan bersama pemuka agama, seolah semuanya selesai dengan hanya berfoto dan bicara tentang ayat suci. Berbicara soal surga neraka, bicara soal moralitas, bicara soal tata krama. Obrolan yang sampai sekarang membuat saya kebingungan. Biarlah kita berteman dan respect dengan orang lain, tanpa buka mulut dengan bau bangkai, ngomporin orang lain untuk menjadi pengikut-pengikutnya".
Jangan katakan saya belum mendapat “hidayah”. Urusan hidayah, pencerahan atau terserah istilah yang digunakan, bukan urusan kita, saya dan Anda. Mengapa? Karena ketika kita sudah bicara hidayah, ujung-ujungnya adalah menggiring kita untuk menjadi sama dengan penyebut hidayah itu. Kalau saya mau, ya saya ikut dengan ikhlas. Tapi kalau saya tidak mau dan memang tidak pernah mau terlibat dengan urusan hidayah menghidayah itu, jangan paksa untuk mendapatkannya.
Marilah kita menghormati, respek, dan meredam keinginan pewartaan kalau hanya untuk membuat orang lain “ingin tersentuh” dengan kita. Berbuat baik, menyenangkan, perhatian dan bisa menjadi bagian dari pluralisme, menurut saya: itulah "hidayah" yang sesungguhnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar