Tidak ada kecap nomor dua, itu pasti! Semua kecap mengklaim selalu produk nomor satu. Kalau ada yang coba-coba berani mengklaim nomor dua, siap-siap saja gulung tikar. Sebenarnya apa sih yang salah dengan nomor dua? Mengapa kita harus selalu ingin menjadi nomor satu? Ketika sekolah dulu, rasanya kalau tidak juara satu, rasanya dunia mau kiamat. Apalagi buat yang terbiasa juara, tiba-tiba harus melorot jadi nomor dua, wah…dunia seperti berhenti berputar.
Karena nomor dua itu bukan yang utama. Karena nomor dua itu selalu menjadi pilihan selanjutnya, bukan pilihan pertama. Karena nomor dua itu biasanya jadi obsesi yang tidak kesampaian. Dan masih banyak lagi yang menempat nomor dua sebagai bagian yang terabaikan. Apakah selalu begitu?
Ternyata tidak! Banyak orang yang menikmmati posisi sebagai si nomor dua. Banyak perempuan –meski mungkin dalam hati kecilnya menolak—pasrah ketika harus jadi istri kedua. Dengan embel-embel kecukupan materi, menjadi nomor dua masih bisa dimaafkan. Penjelasannya [dan perdebatannya] masih bisa dibeberkan soal ini. Kepasrahan juga bisa menjadi apologi ketika nomor dua menjadi permakluman atas sebuah perjuangan. Tidak apa-apa, toh bisa nomor dua. Begitu biasanya kalimat mahfum itu.
Mari melihat nomor dua dengan perpspektif berbeda. Saya orang yang meyakini, posisi nomor dua itu bukan posisi yang enak. Tapi saya tidak mengabaikan, banyak [atau ada] orang yang bisa menenpati posisi nomor dua dengan nyaman, dengan macam-macam alasan. Dalam banyak literature yang saya baca, nyaris tidak saya temukan, nomor dua adalah target. Bahwa sebuah “kebodohan” ketika hanya bermimpi menjadi nomor dua itu.
Saya tidak ingijn member kesimpulan apa-apa tentang nomor dua ini. Yah anggap saja kita punya cinta yang tulus, mateng, tapi yah [takdirkah?] memang harus jadi nomor dua.
Sekadar mengingatkan, cinta...cinta... absolut. Tidak bisa diprediksi oleh akal, tidak bisa dijangkau oleh panca indera, tidak bisa diraba oleh tangan, dan tidak bisa dirasa oleh lidah. Benar-benar tanpa logika. Keberadaanmu merupakan sebuah misteri bagi dunia. Namun walau begitu, engkau akan tetap menjadi dewa agung sepanjang dimensi sejarah kehidupan manusia. "Karenamu dunia ini ada". Eh, ada cinta nomor duakah?
Jadi?
Karena nomor dua itu bukan yang utama. Karena nomor dua itu selalu menjadi pilihan selanjutnya, bukan pilihan pertama. Karena nomor dua itu biasanya jadi obsesi yang tidak kesampaian. Dan masih banyak lagi yang menempat nomor dua sebagai bagian yang terabaikan. Apakah selalu begitu?
Ternyata tidak! Banyak orang yang menikmmati posisi sebagai si nomor dua. Banyak perempuan –meski mungkin dalam hati kecilnya menolak—pasrah ketika harus jadi istri kedua. Dengan embel-embel kecukupan materi, menjadi nomor dua masih bisa dimaafkan. Penjelasannya [dan perdebatannya] masih bisa dibeberkan soal ini. Kepasrahan juga bisa menjadi apologi ketika nomor dua menjadi permakluman atas sebuah perjuangan. Tidak apa-apa, toh bisa nomor dua. Begitu biasanya kalimat mahfum itu.
Mari melihat nomor dua dengan perpspektif berbeda. Saya orang yang meyakini, posisi nomor dua itu bukan posisi yang enak. Tapi saya tidak mengabaikan, banyak [atau ada] orang yang bisa menenpati posisi nomor dua dengan nyaman, dengan macam-macam alasan. Dalam banyak literature yang saya baca, nyaris tidak saya temukan, nomor dua adalah target. Bahwa sebuah “kebodohan” ketika hanya bermimpi menjadi nomor dua itu.
Saya tidak ingijn member kesimpulan apa-apa tentang nomor dua ini. Yah anggap saja kita punya cinta yang tulus, mateng, tapi yah [takdirkah?] memang harus jadi nomor dua.
Sekadar mengingatkan, cinta...cinta... absolut. Tidak bisa diprediksi oleh akal, tidak bisa dijangkau oleh panca indera, tidak bisa diraba oleh tangan, dan tidak bisa dirasa oleh lidah. Benar-benar tanpa logika. Keberadaanmu merupakan sebuah misteri bagi dunia. Namun walau begitu, engkau akan tetap menjadi dewa agung sepanjang dimensi sejarah kehidupan manusia. "Karenamu dunia ini ada". Eh, ada cinta nomor duakah?
Jadi?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar