Apa hakikat dari mencintai? Ketulusan dan kerelaan. Kabarnya begitu. Saya tak perlu berdebat soal itu. Karena dalam kacamata saya yang agak skeptis ini, cinta seperti tombak bermata dua, menghujam dam berefek dua arah, sukacita dan derita. Kita tak pernah bisa menebaknya, meski awal-awalnya kita selalu menikmati rasanya dan menggenggam erat seolah tak ingin dilepaskan.
Saya memang ingin bicara soal cinta. Konon, cinta itu sederhana, seperti percik embun di dedaunan pagi. Sejuk dan fresh. Memberi kita semangat dan gairah untuk berkubang dengan hari-hari yang mungkin menyebalkan, tapi dinikmati serasa memilik sorga. Karena cinta.
Benar, kita semua pernah terpanah kurnia ‘dewa amor’ ini. Andakah yang sedang berada di area yang menyenangkan ini? Ingat, jalannya tak selalu mulus dan lurus. Dia akan berkelok dan penuh tanjakan. Mungkin malah kudu melewati bebatuan yang besar dan terjal. Tapi saya yakin, itu tidak ada artinya ketika kita menuju arah cinta itu. Cinta tak pernah salah. Dia lahir dari sebuah sinergi yang bernama rasa. Tidak peduli jatuh kemana, tidak peduli jatuh kepada siapa, tidak peduli jatuh karena apa, tapi cinta tidak pernah salah.
Pernah merasakan cinta dan kemudian menjadi tertuduh karena ternyata menurut kacamata moralitas dan ke-umuman, si cinta itu jatuh pada tempat yang [amat] salah? Jujur, saya sedang berada di ranah itu. Saya jatuh cinta dan benar-benar jatuh cinta. Cinta itu jatuh kepada saya, cinta itu jatuh ke tanah yang sebenarnya sudah disiram, meksi tak subur. Cinta itu jatuh karena cinta itu memilih insan hati yang akhirnya bertumbuk menjadi rajutan kimiawi yang saling menarik. Pembenaran atas nama cinta?
Saya terpana ketika saya mencoba “melarikan diri” dan membantahnya. Saya benar-benar tidak sanggup untuk hengkang dari tarikannya. Bukan karena tidak bisa, tapi karena memang terlalu kuat untuk dilepaskan. Dan kemudian cinta itu menjadi tersangka, karena semua melihatnya jatuh dan menimpa pada tempat yang “salah” dari kacamata pemahaman ke-umuman.
Dan ketika tumbuh menjadi tenunan indah dan terlihat menarik, “penghakiman” itu datang. Dia tidak mau berbagi kerelaan. Dia tidak mau terlihat ‘abnormal’ meski kenyataannya cupid memanah dalam lingkup yang tidak biasa. Dia memberontak dari persembunyiannya. Hei, dia ingin melepaskan ruang gelapnya. Aku memujanya, tapi tak pernah menggenggamnya.
Kita harusnya menikmati rasa itu. Berada dalam buaian dan ayunan kidung lembut yang menyenangkan. Kita jangan pernah menolaknya, karena akan sangat menyakitkan. Haruskah kita berkata, kalau cinta itu luka, kita tak akan peduli bagaimana sakitnya? Saya memilih mengatakannya.
Tersangka itu bernama CINTA. Dan Hakim membebaskannya, karena CINTA tidak pernah salah…..
Saya memang ingin bicara soal cinta. Konon, cinta itu sederhana, seperti percik embun di dedaunan pagi. Sejuk dan fresh. Memberi kita semangat dan gairah untuk berkubang dengan hari-hari yang mungkin menyebalkan, tapi dinikmati serasa memilik sorga. Karena cinta.
Benar, kita semua pernah terpanah kurnia ‘dewa amor’ ini. Andakah yang sedang berada di area yang menyenangkan ini? Ingat, jalannya tak selalu mulus dan lurus. Dia akan berkelok dan penuh tanjakan. Mungkin malah kudu melewati bebatuan yang besar dan terjal. Tapi saya yakin, itu tidak ada artinya ketika kita menuju arah cinta itu. Cinta tak pernah salah. Dia lahir dari sebuah sinergi yang bernama rasa. Tidak peduli jatuh kemana, tidak peduli jatuh kepada siapa, tidak peduli jatuh karena apa, tapi cinta tidak pernah salah.
Pernah merasakan cinta dan kemudian menjadi tertuduh karena ternyata menurut kacamata moralitas dan ke-umuman, si cinta itu jatuh pada tempat yang [amat] salah? Jujur, saya sedang berada di ranah itu. Saya jatuh cinta dan benar-benar jatuh cinta. Cinta itu jatuh kepada saya, cinta itu jatuh ke tanah yang sebenarnya sudah disiram, meksi tak subur. Cinta itu jatuh karena cinta itu memilih insan hati yang akhirnya bertumbuk menjadi rajutan kimiawi yang saling menarik. Pembenaran atas nama cinta?
Saya terpana ketika saya mencoba “melarikan diri” dan membantahnya. Saya benar-benar tidak sanggup untuk hengkang dari tarikannya. Bukan karena tidak bisa, tapi karena memang terlalu kuat untuk dilepaskan. Dan kemudian cinta itu menjadi tersangka, karena semua melihatnya jatuh dan menimpa pada tempat yang “salah” dari kacamata pemahaman ke-umuman.
Dan ketika tumbuh menjadi tenunan indah dan terlihat menarik, “penghakiman” itu datang. Dia tidak mau berbagi kerelaan. Dia tidak mau terlihat ‘abnormal’ meski kenyataannya cupid memanah dalam lingkup yang tidak biasa. Dia memberontak dari persembunyiannya. Hei, dia ingin melepaskan ruang gelapnya. Aku memujanya, tapi tak pernah menggenggamnya.
Kita harusnya menikmati rasa itu. Berada dalam buaian dan ayunan kidung lembut yang menyenangkan. Kita jangan pernah menolaknya, karena akan sangat menyakitkan. Haruskah kita berkata, kalau cinta itu luka, kita tak akan peduli bagaimana sakitnya? Saya memilih mengatakannya.
Tersangka itu bernama CINTA. Dan Hakim membebaskannya, karena CINTA tidak pernah salah…..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar