DALAM EJAAN yang benar, seharusnya ditulis Yogyakarta. Tapi entah mengapa, banyak penulis, penutur, atau pembicara yang lebih senang [dan mantap] dengan mengatakan: JOGJAKARTA. Konon lebih terasa "rohnya". Eh, pembenaran darimana lagi itu....
Sinergi Jogjakarta [mohon maaf kepada ahli bahasa -red] memang terasa sebagai satu kekuatan bagi pendatang. Kabarnya, Jogjakarta adalah daerah tujuan wisata terbesar ke-2 setelah Bali. Masuk akal, karena Jogjakarta, meski tak punya alam seindah Bali, tapi kaya dengan kekuatan budaya yang santun dan membumi.
Buat penulis, Jogja punya daya tarik yang tak pernah mati. Pulau ini kaya dengan pola sinkretisme jawa dan arab. Hebatnya, paling tidak sampai saat ini, Jogja tak pernah merasa harus terlarut dalam sinkretisme basa-basi.
Tapi kini, Jogja adalah kota yang pesolek. Sayangnya, pupur dan maskaranya masih belepotan. Kota yang pernah begitu piawai mempertontonkan keramahan mbok-mbok bakul, kini --meski masih menyisakan keramahan itu-- menjadi daerah yang makin compang-camping.
Keterbukaan budaya, ternyata tak diimbangi dengan keseimbangan untuk mengadopsi budaya baru. Alhasil jadinya Jogjakarta seperti terengah-engah mempertahankan jati dirinya.
Mencintai Jogjakarta, tak hanya mencintai budaya saja. Mencintai Jogja adalah juga mencintai sinkretisme diam-diamnya. Mencintai Jogja adalah juga mencintai masyarakatnya [khususnya anak muda] yang begitu permisif dengan hal-hal baru. Mencintai Jogja adalah juga menerima segala kebusukannya.
Dan saya jatuh cinta pada pandangan pertama. Jogja adalah cinta pertama saya. Konon, cinta pertama itu sulit dilupakan. Bagi saya, das sein dan das sollen Jogjakarta adalah sintesa yang tak pernah habis, meski mungkin kelak Jogjakarta menjadi nyonya tua yang keriput sekalipun. Meski mungkin Jogjakarta tenggelam oleh abu Merapi yang saat ini sedang terbatuk-batuk parah.
Sinergi Jogjakarta [mohon maaf kepada ahli bahasa -red] memang terasa sebagai satu kekuatan bagi pendatang. Kabarnya, Jogjakarta adalah daerah tujuan wisata terbesar ke-2 setelah Bali. Masuk akal, karena Jogjakarta, meski tak punya alam seindah Bali, tapi kaya dengan kekuatan budaya yang santun dan membumi.
Buat penulis, Jogja punya daya tarik yang tak pernah mati. Pulau ini kaya dengan pola sinkretisme jawa dan arab. Hebatnya, paling tidak sampai saat ini, Jogja tak pernah merasa harus terlarut dalam sinkretisme basa-basi.
Tapi kini, Jogja adalah kota yang pesolek. Sayangnya, pupur dan maskaranya masih belepotan. Kota yang pernah begitu piawai mempertontonkan keramahan mbok-mbok bakul, kini --meski masih menyisakan keramahan itu-- menjadi daerah yang makin compang-camping.
Keterbukaan budaya, ternyata tak diimbangi dengan keseimbangan untuk mengadopsi budaya baru. Alhasil jadinya Jogjakarta seperti terengah-engah mempertahankan jati dirinya.
Mencintai Jogjakarta, tak hanya mencintai budaya saja. Mencintai Jogja adalah juga mencintai sinkretisme diam-diamnya. Mencintai Jogja adalah juga mencintai masyarakatnya [khususnya anak muda] yang begitu permisif dengan hal-hal baru. Mencintai Jogja adalah juga menerima segala kebusukannya.
Dan saya jatuh cinta pada pandangan pertama. Jogja adalah cinta pertama saya. Konon, cinta pertama itu sulit dilupakan. Bagi saya, das sein dan das sollen Jogjakarta adalah sintesa yang tak pernah habis, meski mungkin kelak Jogjakarta menjadi nyonya tua yang keriput sekalipun. Meski mungkin Jogjakarta tenggelam oleh abu Merapi yang saat ini sedang terbatuk-batuk parah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar