INI RESIKO orang dekat dengan zat pencipta. Semua seperti tampak sempurna dan mulia. Kalau fashion bisa jadi indikasi religiusitas seseorang, mungkin kita akan makin banyak melihat seliweran orang [sebutlah kumpulan manusia], yang “tampaknya” makin religius. Bagaimana tidak, sepanjang perjalanan melewati jalan utama di Jakarta, saya harus berhenti karena memberi kesempatan kepada rombongan yang sedang mengalami ‘kegenitan religius’ yang menyambar di kiri kanan.
Mengapa saya sebut kegenitan religius? Karena saya melihat euphoria, saya melihat antusiasme, saya melihat permukaan, dan saya melihat [bukan] pemahaman. Bagaimana tidak, mereka melabeli dirinya dengan gamis, tapi apa yang mereka perlihatkan di jalanan, lebih mirip protokoler pejabat yang tidak bisa tersentuh. Jujur, saya justru melihat konservatisme dengan kekakuan yang membelenggu.
Kalau pemahaman religiusitas –dalam segala bentuknya—hendak diseret dan diberhalakan pada penafsiran yang justru bertentangan dengan manfaat kepada kemanusiaan itu sendiri, atau malah kemudian menindas kemanusiaan itu sendiri, maka religiusitas yang seperti itu adalah religiusitas fosil yang tidak berguna buat kemanusiaan dan manusia. Kita harus berani meninggalkan religiusitas yang menjadi “kumpulan” dogmatisme yang menindas kemanusiaan itu sendiri.
Kita menemukan “Tuhan” dengan cara yang bermacam. Semua menganggap proses spriritualisme –kalau itu memang memberikan spirit—adalah sebuah perjalanan yang ‘akhirnya’ dirasakan untuk bertemu dengan jalan sang khalik. Apapun dan siapapun yang disebut khalik itu. Telusur panjang itu, kemudian bermuara pada keyakinan menemukan yang baik dan berguna. Lalu yang jahat menjadi tidak berguna [dan harus ditinggalkan]. Sebentar, saya ingin bertanya, siapa pencipta jahat dan baik itu?
Dalam konsepsi seorang filsuf modern, Alfred Whitehead, kebaikan dan kejahatan itu bermuara pada Tuhan yang sama. Terdengar paradoksal mungkin, kalau pernyataannya menyebut hal itu. Paradoks ketuhanan itulah yang kemudian memancar dalam diri dan kehidupan manusia. Dalam kacamata Kristiani, disebut Imago Dei, ketika manusia diciptakan dalam citra Tuhan. Dalam pandangan Alfred, dalam diri Tuhan sebenarnya terjadi dialektika yang melibatkan peperangan ‘baik’ dan ‘buruk’. Karena memang Tuhan-lah yang sebenarnya memilik dialektika itu.
Jadi kegenitan religius itu sebenarnya amat menggelikan……
[Jakarta, 2.08 wib, 18 mei 2010]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar