Apa makna sebuah kesombongan? Nyaris tidak ada selain kita berdiri mendongak, menyorongkan kepala seolah menyentuh tubir langit. Kita seolah berdiri bertangkup tangan, bersedekap, dan kemudian memicingkan mata melihat siapapun di depan kita. Yap, semuanya menjadi tidak berarti lagi, karena roh kesombongan itulah yang menguasai kita.
Lalu, apa esensi sebuah perhatian? Kita tidak berdiri sendirian. Ada manusia lain yang terpuruk, tergantung dan mungkin terseok-seok. Kita tidak menyentuh tubir langit, tapi nyaris rebah menyentuh selaksa debu yang bertebaran. Kotor. Kita tidak bersedekap, tapi mengulurkan tangan, dan mungkin saja, terkotori dengan sebuah kehinaan manusia yang tak pernah kita bayangkan. Kita tidak menjadi diri sendiri, karena kita bergerak dalam area komunal.
Kita memang bisa membeli kesederhaan. Kita juga bisa memborong perhatian. Tapi kita tidak bisa menanyakan harga sebuah ketulusan. Kita tidak bisa menggelontorkan segudang biaya untuk sebuah persahabatan yang riil. Kita mungkin mencintai kekayaan, tapi kita tidak bisa mengasihi kesombongan. Kita mungkin bergandengan tangan dengan kemewahan, tapi percayalah, kita tidak bisa memiliki soul, heart dan spirit sebuah cinta sejati.
Berdiam diri dan merasa memiliki dunia, bukanlah esensi sebuah kehidupan yang sesungguhnya. Justru ketika kita berkalang tanah dan tidak [merasa] menjadi siapa-siapa, kita adalah siapa-siapa. Karena disaat kita sedang “kosong” itulah, kita bisa memilih “mengisinya” untuk menjadi apa dan siapa.
Seperti saat kita mencintai seseorang. Sebenarnya, saat itulah kita [harusnya] mulai mencintai “ketisaksempurnaan” dan menerima “kelemahan” yang sebelumnya tidak pernah kita sadari. Menerima kelebihan itu mudah, tapi mampukah kita bertahan ketika kelemahan itu muncul dalam kebimbangan kita? Banyak yang tumbang ketika berada di dalamnya. Salah? Kita tidak bisa menjadi hakim.
Memang, kesombongan, kesehatian dan cinta, tidak bisa selalu berada secara linier dan konruen…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar