Selasa, 12 Oktober 2010

Ketika HIDUPKU Menjadi Roller Coaster

INILAH keperihanku! Beberapa bulan silam, aku memutuskan untuk menyerahkan hatiku pada seseorang. Benar-benar menyerahkan sebagai pijakan untuk sebuah hubungan yang tidak pernah aku anggap permainan semata. Oh ya, aku adalah pemilik sifat mudah akrab dengan seseorang, tapi aku karakter yang amat sulit untuk memutuskan jatuh cinta. Dan inilah paradoksnya. Aku merasa, aku menemukan sosok yang daripadanya aku jatuh cinta.

Tidak mudah menjalaninya, karena persoalan pribadiku ternyata cukup menguras energy pemikiranku. Dan mau tidak mau, membawa pengaruh dalam sikapku bersahabat dengan orang, sikapku ketika harus berdekatan dengan orang lain. Aku menjadi keras, amat keras malah. Aku menjadi manusia yang emosional, meledak-ledak, spontan dan reaksioner. Jauh panggang dari api dengan sifat dasarku, yang mudah tersentuh dengan romantisme apapun.

Relasiku seperti tanjakan dan turunan. Kadang-kadang amat berkualitas [dan kuantitas] dengan dialog dan perjumpaan, tapi kadang justru terhempas dalam sebuah wacana yang menggerahkan. Carut marut hubungan itu begitu terasa ketika hal itu muncul.

Aku pelan-pelan menjadi pribadi lain. Aku makin bisa mengendalikan emosi, menjaga aksi dan reaksi. Aku lebih mengontrol lisanku, meski itu perjuangan yang amat berat. Orang melihatku menjadi orang lain, tapi saya harus katakana, sebenarnya dari sisi dasarnya, itulah aku.

Aku mengabaikan perbedaan apapun dengannya. Aku “merendahkan hati” untuk menjadi orang yang menghormatinya, meski kadang-kadang aku merasa itupun tidak cukup. Orang lain melihat aku lemah dan terpuruk pada situasi yang selalu mengalah, tapi aku menyebutnya, memiliki hati hamba yang tidak terbatas. Aku mau melakukannya, karena aku ingin menjadi panutannya. Karena aku ingin benar-benar merasa nyaman setiap melakukan apapun bersamanya.

Ketika kemudian aku ‘diombang-ambingkan’ pada sebuah realita yang tidak mudah ditembus, aku masih berharap bisa melewati hari-hari bersamanya. Dan aku masih bersamanya. Hingga kemudian aksi dan reaksi itu muncul. Menjerembabkan aku dengan kesakitan yang luarbiasa. Menenggelamkan aku pada palung yang paling dalam. Aku menjadi lelaki yang menangis. Aku menjadi lelaki yang cengeng. Aku tiba-tiba menjadi laki-laki dengan kesakitan bara yang amat sangat.

Ah, ternyata aku dalam mencintainya. Aku ingin memilikinya. Aku ingin menggenggamnya. Aku ingin menorehkan rasa yang tersisa dalam setiap detak napasnya. Aku ingin menanggung sakitnya, aku ingin berputar-putar dalam setiap syarafnya. Aku ingin melaju dalam setiap aliran darahnya. Salahkah aku?

Detik ini, aku dalam pertanyaan besar. Akankah dia kembali dengan rasa yang sama? Atau-kah dia kembali dengan jawaban yang makin membuatku terperosok? Aku tidak tahu, yang aku tahu, aku sudah berjanji: “Aku akan mencintaimu disisa umurku!”

Dan biarlah rasa ini menjadi miliknya, bahkan ketika aku harus berbagi dengan orang lain lagi. Dia tahu, karena dia sudah menempatkan hatiku di bagian dasar hatinya.

[yado, kesepian-kesendirian, 20 september 2010, 11.00 wib]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar