Minggu, 03 Oktober 2010

Menemukan Kesejahteraan Batin di Pesantren Budha

PERNAH mendengar Pesantren Budha?  Jangan merasa ‘bersalah’ kalau Anda belum pernah mendengarnya, karena ternyata memang ada. Saya tidak sedang mencari-cari istilah, atau sekadar ngepas-ngepasin untuk bahan tulisan. Seperti apa konsep pembelajarannya?
+++

Awalnya saya juga sempat bertanya ikhwal pesantren yang digagas oleh Maha Bhisku Dutawira Sthavira, Ketua Vihara Avalokitesvara di Mangga Besar,  Jakarta. Buat saya, gagasan untuk membuka pesantren di vihara adalah hal yang mengejutkan, tapi amat menarik dicermati.  Oh ya, saya ingin bercerita dulu. Obrolan saya dengan pria berusia 56 tahun --yang oleh umatnya dipanggil dengan sebutan Suhu Dutawira, bukan obrolan yang serius dan bikin kening berkerut ya. Santai tapi –kalau istilah saya—menyejukkan. Lah, Suhu Dutawira kalau bicara pelan, lembut, selalu tersenyum, tapi wawasannya tentang hal-hal di luar Budha, membuat saya menikmati dialog ini.

Saya juga bukan pemeluk agama Budha. Toh itu tidak menghalangi niat saya ketika Bhiksu yang saya kenal ramah ini, menelpon dan membuat janji ketemuan.

Dan menghargai perbedaan itulah yang dipelajari Suhu Dutawira sejak kecil. Menurut ceritanya, sejak kecil dirinya sudah akrab dengan keberagaman.  “Ketika kecil, saya tinggal di kampung di daerah Kramat Pulo  Senen. Di sekitar rumah saya ada madrasah dan mesjid. Mereka juga tidak pernah menganggap kami berbeda.”
Menurutnya, kalau bicara perdamaian dan penghargaan atas perbedaan, internal dalam batin haruslah menerima. “Kalau hanya tampak di permukaan saja, sebenarnya manusia itu belum menerima perbedaan,” tegasnya.  Untuk menerima dengan ikhlas, Suhu Dutawira menyebut ‘kesejahteraan batin’ sebagai syarat.  Pria ini meyakini, proses menemukan kesejahteraan batin itu harus alamiah dan tidak ada teorinya. Dia percaya, manusia akan tenang kalau mendapat perhatian. Orang akan menganggap kita dan mereka sama, kalau kita membaur

Suhu Dutawira tidak sedang ingin menjadi kontroversi ketika menggagas Pesantren Budha-nya. Dalam kacamatanya, konsep pesantren adalah ide yang cemerlang untuk mempelajari agama dengan lebih tekun dan maksimal.

Bicara soal pesantren, menurut wikipedia, konsep pesantren ini sebenarnya sudah ada sejak zaman Hindhu Budha di Pulau Jawa. Di Jawa, agama Hindu dan Budha mempunyai lembaga pendidikan yang disebut padepokan, dimana didalamnya ada unsur shastri-(guru) dan cantrik (murid). Jadi konsep pesantren sesungguhnya merupakan hasil dari dialog peradaban. 

Di pesantrennya, banyak yang juga mondok untuk belajar tentang Budha. Suhu Dutawira menolak kalau Budha hanya dihubungkan dengan kaum Tionghoa. Di pesantrennya, sekitar 65 siswa yang belajar, hanya 3 orang Tionghoa. “Selebihnya  Jawa dan beberapa etnis lainnya.” Tidak ada perbedaan, karena keragaman itulah yang diyakininya akan membuat pemahaman tentang Budha makin membaik. Yang terlebih penting, seperti ditegaskannya, Budha tidak pernah mengenal perbedaan. “Kita tidak pernah membedakan siapapun ketika kita menolong. Tidak ada Budha, Islam, Hindu, atau Kristen ketika kita menolong orang, tapi mereka adalah saudara kita. Itu saja prinsipnya,” papar Suhu Dutawira lagi.

Kemudian saya diajak berkeliling di Viharanya. Jangan membayangkan Suhu Dutawira diperlakukan seperti “raja besar” – justru yang membuat saya heran, dia membaur seperti umat kebanyakan. Ngobrol dengan karyawan Vihara secara santai dan akrab. Yang mengagetkan saya, banyak karyawan Vihara yang bukan pemeluk Budha. Ada yang Islam atau Kristen. “Tidak ada masalah kok,” celetuknya sambil tersenyum.

Saya membayangkan, seandainya banyak orang [atau agama] membuka “pesantren” seperti Suhu Dutawira, mengajarkan kasih sayang, cinta dan perdamaian dalam segala bentuknya, mungkin bisa mengurangi kuantitas kekerasan yang makin meningkat belakangan ini.  Dan ‘kesejahteraan batin’ untuk menerima perbedaan dengan apik itu, muncul dari Pesantren Budha.

Dan Saya merasa beruntung menemukan pencerahan ini….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar