Seperti dari kumpulan bunga-bunga dapat dirangkai banyak karangan bunga, demikian pula dalam suatu kelahiran seorang manusia dapat melakukan banyak perbuatan baik. [Dhammapada 53]
+++
Kekerasan yang kita lakukan, akan melahirkan kekerasan baru! – maklumat itu tampaknya sekadar menjadi pameo kosong saja. Meski kita amat sadar [dan mengangguk-angguk setuju], tapi setelah itu lewat begitu saja. Setelah muncul kekerasan baru, barulah kita kembali mengingatnya. Contoh kasus. Bullying yang terjadi di sekolah-sekolah dengan alasan senioritas, kelak akan muncul juga ketika si junior sudah menjadi senior. Begitu seterusnya. Atau kasus STPDN di Jatinangor yang sempat menghebohkan dunia pendidikan kita beberapa tahun silam.
Kalau kita klasifikasi, pasti akan muncul sederet kekerasan atas nama apapun. Ada yang mengatasnamakan setiakawan, agama, sosial, adat, budaya. Tapi kekerasan adalah kekerasan. Dan buat saya, kekerasan itu harus kita lawan, bukan dengan kekerasan. Kita harus melawan dengan kerja keras mengubah pola pikir pengandalan otot, menjadi pengandalan otak.
Saya terdengar seperti utopis memang. Seperti menggantang asap aatau menggarami air laut. Toh sudah banyak ahli, psikolog dan orang pintar dengan berbagai keilmuan yang menawarkan satu idea atau solusi untuk mengatas. Hasilnya memang belum menggembirakan. Yang ada adalah meningkatnya kasus-kasus kekerasan. Terakhir yang sangat mengganggu saya adalah bentrokan di depan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Konon melibatkan etnis Ambon dan Flores. Saya tidak peduli dengan etnis mana, buat saya kekerasan adalah kekerasan. Dan itu harus saya katakan sebagai kebodohan.
Tidak ada agama manapun, yang kalau kita telaah dengan seksama, menganjurkan umatnya untuk melakukan kekerasan dan menyakiti manusia lain yang tidak sepaham. Tidak ada Tuhan manapun, yang menyerukan untuk “membunuh” manusia lain, hanya karena berbeda pendapat. Kalau ada suara seperti itu, saya agak mempertanyakan “ke-Tuhan-annya”.
Pada dasarnya manusia diciptakan untuk bisa berpikir. Berpikir kemudian bertanya untuk mendapat jawaban atas keraguan. Manusia dalah makluk yang menerima keterbukaan dan skeptisisme. Tetap terbuka terhadap ide baru tapi tetap skeptis, artinya jangan asal terima saja dan pertanyakan logikanya. Begitu caranya membedakan kebenaran mendalam (deep truths) dengan omong kosong mendalam (deep nonsense). Keterbukaan itu penting, skeptisisme juga penting, meskipun kontradiktif.
Lahir dari pertanyaan itu, saya ingin mencari tahu jawaban, sebenarnya kekerasan itu mewakili siapa? Etnis, agama, kehormatan, atau egoisme dan kebodohan semata? Tahukah Anda, bahwa memberondong orang lain dengan kata-kata yang menyakitkan termasuk kekerasan? Tahukah Anda, sikap cuek dan diam atas sebuah persoalan, sebenarnya juga kekerasan? Kekerasan itu menjadi milik siapa sebenarnya? Menjadi omong kosong kalau harus “menyingkirkan” kekerasan dari hidup kita, karena secara tidak langsung, kita pun kerap melakukan kekerasan itu. Tapi apakah kemudian kita menjadi pemuja kekerasan itu?
Sifat dasariah manusia adalah mempertanyakan berbagai hal. Kita harusnya dilatih untuk skeptic dalam sisi yang positif. Mengapa? Karena merupakan hal yang sangat baik bagi setiap orang karena dengan melakukan hal itu, seseorang mampu membedakan banyak hal, seperti baik - tidak baik, benar - tidak benar, nyata - tidak nyata. Skeptisisme dapat membuat orang selalu sadar akan banyak hal termasuk dirinya sendiri.
Tapi yang perlu diingat, ketika kita mendapat jawaban [versi kita] dan berbeda dengan orang lain, jangan pernah anggap mereka adalah musuh. Dalam wacana dialog, perbedaan pendapat dan argumentasi menjadi kekayaan yang membuat ruang berpikir kita lebih luas dan merdeka. Bukan dengan kekerasan, apapun bentuknya! Saya jadi ingat sebuah puisi singkat yang saya buat, karena “muak” dengan beberapa berita kekerasan [yang mengatasnamakan apapun].
Hari ini aku dihadang,
Oleh tatapan menantang darahku yang memberontak
“kamu harus menjadi darah juga!” katanya
Aku tertunduk, pasrah..
Hari ini aku memerah,
Aku sudah menjadi darah!
+++
Kekerasan yang kita lakukan, akan melahirkan kekerasan baru! – maklumat itu tampaknya sekadar menjadi pameo kosong saja. Meski kita amat sadar [dan mengangguk-angguk setuju], tapi setelah itu lewat begitu saja. Setelah muncul kekerasan baru, barulah kita kembali mengingatnya. Contoh kasus. Bullying yang terjadi di sekolah-sekolah dengan alasan senioritas, kelak akan muncul juga ketika si junior sudah menjadi senior. Begitu seterusnya. Atau kasus STPDN di Jatinangor yang sempat menghebohkan dunia pendidikan kita beberapa tahun silam.
Kalau kita klasifikasi, pasti akan muncul sederet kekerasan atas nama apapun. Ada yang mengatasnamakan setiakawan, agama, sosial, adat, budaya. Tapi kekerasan adalah kekerasan. Dan buat saya, kekerasan itu harus kita lawan, bukan dengan kekerasan. Kita harus melawan dengan kerja keras mengubah pola pikir pengandalan otot, menjadi pengandalan otak.
Saya terdengar seperti utopis memang. Seperti menggantang asap aatau menggarami air laut. Toh sudah banyak ahli, psikolog dan orang pintar dengan berbagai keilmuan yang menawarkan satu idea atau solusi untuk mengatas. Hasilnya memang belum menggembirakan. Yang ada adalah meningkatnya kasus-kasus kekerasan. Terakhir yang sangat mengganggu saya adalah bentrokan di depan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Konon melibatkan etnis Ambon dan Flores. Saya tidak peduli dengan etnis mana, buat saya kekerasan adalah kekerasan. Dan itu harus saya katakan sebagai kebodohan.
Tidak ada agama manapun, yang kalau kita telaah dengan seksama, menganjurkan umatnya untuk melakukan kekerasan dan menyakiti manusia lain yang tidak sepaham. Tidak ada Tuhan manapun, yang menyerukan untuk “membunuh” manusia lain, hanya karena berbeda pendapat. Kalau ada suara seperti itu, saya agak mempertanyakan “ke-Tuhan-annya”.
Pada dasarnya manusia diciptakan untuk bisa berpikir. Berpikir kemudian bertanya untuk mendapat jawaban atas keraguan. Manusia dalah makluk yang menerima keterbukaan dan skeptisisme. Tetap terbuka terhadap ide baru tapi tetap skeptis, artinya jangan asal terima saja dan pertanyakan logikanya. Begitu caranya membedakan kebenaran mendalam (deep truths) dengan omong kosong mendalam (deep nonsense). Keterbukaan itu penting, skeptisisme juga penting, meskipun kontradiktif.
Lahir dari pertanyaan itu, saya ingin mencari tahu jawaban, sebenarnya kekerasan itu mewakili siapa? Etnis, agama, kehormatan, atau egoisme dan kebodohan semata? Tahukah Anda, bahwa memberondong orang lain dengan kata-kata yang menyakitkan termasuk kekerasan? Tahukah Anda, sikap cuek dan diam atas sebuah persoalan, sebenarnya juga kekerasan? Kekerasan itu menjadi milik siapa sebenarnya? Menjadi omong kosong kalau harus “menyingkirkan” kekerasan dari hidup kita, karena secara tidak langsung, kita pun kerap melakukan kekerasan itu. Tapi apakah kemudian kita menjadi pemuja kekerasan itu?
Sifat dasariah manusia adalah mempertanyakan berbagai hal. Kita harusnya dilatih untuk skeptic dalam sisi yang positif. Mengapa? Karena merupakan hal yang sangat baik bagi setiap orang karena dengan melakukan hal itu, seseorang mampu membedakan banyak hal, seperti baik - tidak baik, benar - tidak benar, nyata - tidak nyata. Skeptisisme dapat membuat orang selalu sadar akan banyak hal termasuk dirinya sendiri.
Tapi yang perlu diingat, ketika kita mendapat jawaban [versi kita] dan berbeda dengan orang lain, jangan pernah anggap mereka adalah musuh. Dalam wacana dialog, perbedaan pendapat dan argumentasi menjadi kekayaan yang membuat ruang berpikir kita lebih luas dan merdeka. Bukan dengan kekerasan, apapun bentuknya! Saya jadi ingat sebuah puisi singkat yang saya buat, karena “muak” dengan beberapa berita kekerasan [yang mengatasnamakan apapun].
Hari ini aku dihadang,
Oleh tatapan menantang darahku yang memberontak
“kamu harus menjadi darah juga!” katanya
Aku tertunduk, pasrah..
Hari ini aku memerah,
Aku sudah menjadi darah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar