Indonesia berduka [lagi]. Setelah dihajar dengan parodi politik yang menyebalkan di semua lini, kini murka alam kembali bermunculan. Jakarta kacau balau direndam air, setelah ditiban hujan selama 3 jam. Ternyata amat mudah membuat Jakarta lumpuh, hanya dengan air. Lalu kemana pejabat yang berwenang itu? Nyaris tak bersuara, semua mencari aman.
Kini, gunung Merapi di Jogjakarta meletus, Mentawai digerus tsunami, Padang kembali diingatkan dengan gempa. Tapi apalagi yang dipertontonkan pejabat kita? Semua menjadi asu, menggonggong dan berteriak dengan dalil-dalil yang membuat rakyat korban makin tersiksa.
Republik ini sudah menjadi republik asu, Entah darimana asalnya pula, asu jadi kata makian. Setiap kita sebel dan marah dengan orang lain, asu-lah yang paling sering disebut, selain kampret, dan monyet. Salah apa sebenarnya si asu ini sehingga jadi sumpah serapah. Apakah, ketika sedang kita menyerampahi, kita berharap orang itu seperti asu, menggongong, menjulurkan lidah dan menumpahkan tahi baunya? Rasanya tidak begitu. Apakah kita menyumpahi dengan si asu ini, tiba-tiba kita seperti jagoan tak terkalahkan? Rasanya juga tidak begitu.
Mari kita menilik republic asu, dimana asu-asu tak lagi menjadi hinaan, tapi menjadi pemegang kekuasaan dengan semua tingkah dan ucapan yang aneh-aneh. Marilah kita mencoba menjadi warga republic asu, dimana ketiadaan tetaplah ketiadaan, tanpa harus menjadi ada atau diadakan. Marilah menjadi warga republic asu, dimana agama dipahami sebagai kerangkeng dan dijadikan monster menakutkan bagi kemanusiaan dan kehidupan. Agama dijadikan dalil ketika bencana berdatangan.
Apakah asu-asu itu sudah pandai bersuara lebih merdu dengan kebohongannya? Atau malah terdengar seperti bualan yang makin membabi-buta? Adakah beda antara kebohongan dan bualan? Kamus Bahasa Indonesia mencatat, berbohong berarti menyatakan sesuatu yang tidak benar. Bual artinya omong kosong; cakap besar (kesombongan). Republic Asu kini menuju yang kedua: membual, karena kebohongan dilakukan berkali-kali. Sama artinya dengan republik omong kosong, Asu yang banyak cakap menyejahterakan rakyat, tapi mempersiapkan, melaksanakan, dan mengawal pemiskinan warganya.
Di republic asu, asu-asu itu makin membabi buta, tak lagi makan serangga dan tetap mengeluarkan tahi busuk-nya! Ah, dasar asu…
[tertunduk berdoa, untuk semua korban bencana tsunami Mentawai, erupsi Gunung Merapi]
Kini, gunung Merapi di Jogjakarta meletus, Mentawai digerus tsunami, Padang kembali diingatkan dengan gempa. Tapi apalagi yang dipertontonkan pejabat kita? Semua menjadi asu, menggonggong dan berteriak dengan dalil-dalil yang membuat rakyat korban makin tersiksa.
Republik ini sudah menjadi republik asu, Entah darimana asalnya pula, asu jadi kata makian. Setiap kita sebel dan marah dengan orang lain, asu-lah yang paling sering disebut, selain kampret, dan monyet. Salah apa sebenarnya si asu ini sehingga jadi sumpah serapah. Apakah, ketika sedang kita menyerampahi, kita berharap orang itu seperti asu, menggongong, menjulurkan lidah dan menumpahkan tahi baunya? Rasanya tidak begitu. Apakah kita menyumpahi dengan si asu ini, tiba-tiba kita seperti jagoan tak terkalahkan? Rasanya juga tidak begitu.
Mari kita menilik republic asu, dimana asu-asu tak lagi menjadi hinaan, tapi menjadi pemegang kekuasaan dengan semua tingkah dan ucapan yang aneh-aneh. Marilah kita mencoba menjadi warga republic asu, dimana ketiadaan tetaplah ketiadaan, tanpa harus menjadi ada atau diadakan. Marilah menjadi warga republic asu, dimana agama dipahami sebagai kerangkeng dan dijadikan monster menakutkan bagi kemanusiaan dan kehidupan. Agama dijadikan dalil ketika bencana berdatangan.
Apakah asu-asu itu sudah pandai bersuara lebih merdu dengan kebohongannya? Atau malah terdengar seperti bualan yang makin membabi-buta? Adakah beda antara kebohongan dan bualan? Kamus Bahasa Indonesia mencatat, berbohong berarti menyatakan sesuatu yang tidak benar. Bual artinya omong kosong; cakap besar (kesombongan). Republic Asu kini menuju yang kedua: membual, karena kebohongan dilakukan berkali-kali. Sama artinya dengan republik omong kosong, Asu yang banyak cakap menyejahterakan rakyat, tapi mempersiapkan, melaksanakan, dan mengawal pemiskinan warganya.
Di republic asu, asu-asu itu makin membabi buta, tak lagi makan serangga dan tetap mengeluarkan tahi busuk-nya! Ah, dasar asu…
[tertunduk berdoa, untuk semua korban bencana tsunami Mentawai, erupsi Gunung Merapi]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar