Minggu, 17 Oktober 2010

Suara Hati, Representasi Kejujurankah?

HATI. Bukan, saya tidak bicara soal organ tubuh manusia yang berrtugas memompa darah itu, tapi hati sebagai organ perasaan, spirit, soul yang kita alami. Apapun yang kita rasakan, marah, benci, sayang, cinta, sebel, emosi, selalu merupakan sinergi apik antara hati sebagai perasaan dan pikiran yang memberi perintah untuk menjalankan.

Dan saya sedang ‘bermasalah’ dengan hati itu. Saya bingung dengan hati. Mengapa “dia” bisa dibentuk dan diolah dengan semua rasa. Mengapa harus ada ada hati dan perasaan itu? Mengapa hati itu kerap memunculkan rasa disaat kita ingin semua yang sudah tertata, tak ingin kita utak-atik lagi?

Kabarnya, hati identik dengan kejujuran. Tapi mengapa saat kita benar-benar merasakan sesuatu yang keluar dari hati, justru kerap dianggap kebohongan dan ketidakjujuran? Mengapa ketika kita menyampaikan perasaan karena kita percaya suara hati, dianggap sebuah kesalahan? Mengapa hati tidak punya template, harus keluar pada saat yang dianggap tepat oleh khalayak?

Ketika saya jatuh cinta [sekarang], mengapa hati dipersalahkan karena terlambat datang? Kemudian saya dipersalahkan karena hati saya dianggap “salah” memiliih orang yang saya cinta. Jadi, dimanakah posisi hati sebagai bahasa kejujuran itu?

Tak Cuma ketika cinta itu datang, bahkan ketika kebencian tiba, saya pun menganggap itu sebuah kejujuran yang disuarakan hati kita. Mungkin salah dari sudut pandang kemanusiaan, tapi kalau suara hati mengatakan begitu? Saya mungkin bisa membantah suara hati itu, tapi apakah siap dengan konsekuensi dari “pembangkangan” itu? Entahlah…

Saya selalu percaya dengan kata hati, meskipun kadang menyakitkan. Meskipun kadang membuat saya terombang-ambing. Apapun hasilnya, suara hati buat saya adalah perasaan terjujur insan manusia.

[yado, 15 oktober 2010, 0.07 wib – suara hati mungkin menyakitkan, tapi biarkan dia bersuara dengan jujur]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar