TIDAK banyak yang mengenal nama Elizabeth Koztova. Penulis perempuan asal Amerika ini memang belum begitu menggema seperti JK Rowling, penulis serial laris Harry Potter misalnya. Atau Stephanie Meyer dan Agatha Christie. Tapi percayalah, bakat menulisnya, berkejaran dengan nama-nama yang sudah membubung duluan itu.
Awalnya saya juga sedikit underestimate dengan nama itu. Meski bukunya ‘The Historian’ yang tebalnya mencapai 768 halaman, dikemas dengan luks, dan member kesan berkelas. Di beberapa toko buku besar di Jakarta, karya Elizabeth ini diletakkan di rak depan yang pasti membuat Anda bakal berhenti sejenak, membukanya dan [mungkin] membelinya, atau malah saking tebalnya, membuat Anda meletakkannya lagi tanpa sempat membaca.
Tapi beberapa teman, ngomporin saya untuk membelinya. Karena menurut mereka, buku Elizabeth ini bagus dan memberi kisah baru tentang sejarah. Sejarah apa, nanti kita perjelas. Dan akhirnya saya membelinya, meski kudu merogoh kocek agak dalam.
Oh ya, buku ini sebenarnya penggabungan antara fakta, fiksi dan sejarah. Dari cara bertuturnya, kita malah bisa terkecoh, karena fiksi-nya nyaris tak tampak dibalut dengan alur yang membuat kita tak ingin berhenti meneruskannya. Hmm, saya pun tak ingin ini menjadi fiksi, karena semua begitu terpampang.
Oke, mari kita bedah bukunya. Kisahnya diawali dari sebuah “kecelakaan’ kecil yang dilakukan Elizabeth di perputakaan pribadi ayahnya. Elizabeth kecil adalah anak seorang diplomat karir yang kerap berpindah-pindah penugasan ke berbagai negara. Ibunya meninggal sejak Liz kecil [hal. 13]. Kecelakaan yang mengungkap sejarah besar itu terjadi ketika dia melihat setumpuk buku tua berdebu yang tampak kurang tersentuh di lemari paling tinggi. Dan ada sebuah tulisan kusam dari leluhurnya. Apa itu?
Elizabeth yang baru berusia enambelas tahun ketika itu, tentu saja penasaran dengan kumpulan surat itu, tapi belum berani menanyakan hal itu kepada ayahnya. Hingga rasa penasaran itu terbawa sampai dirinya dewasa. Dan itulah yang menjadi esensi kisah The Historian ini. Liz kemudian menjadi seorang periset untuk mencari cerita di balik cerita dari kumpulan surat itu. Perjalan risetnya tidak hanya di negaranya saja [kemudian menetap di Inggris] tapi menjelajah sampai Istanbul [Turki], Budapest [Hongaria], Bulgaria, Amsterdam dan pedalaman Eropa Timur yang jarang masuk dalam ranah perbincangan sejarah.
Tahukah Anda, Elizabeth mencoba menjelaskan apa? Vlad! Konon, dialah cikal bakal yang disebut Dracula sekarang. Semua dokumen yang ditemukan Elizabeth membawanya pada sebuah petualangan dan pengalaman tentang kekuatan paling kelam yang pernah dikenal manusia. Liz juga detil menceritakan mengapa akhirnya Vlad diburu untuk dimusnahkan.
Hingga kita kemudian dibawa pada sebuah pertanyaan klasik, sebenarnya Dracula itu ada nggak sih? Apakah Dracula masih hidup sampai sekarang?
+++
Cara bertuturnya ringan, padahal temanya amat berat dan berhubungan dengan sejarah yang sampai sekarang pun masih terus diungkap. Hal lain yang menguntungkan pembaca adalah, cara penggambaran tempat-tempat eksotis seperti Pegunungan Alpen di Swiss, Keindahan alam di Slovenia, atau gereja-gereja tua dan kuno di Austria, dan cerita-cerita universitas-universitas di Eropa Timur yang kental dengan budaya risetnya.
Meski di beberapa bab terkesan bertele-tele, tapi kemudian di akhir bacaan, kita akan tahu, itulah kedetilan Elizabeth dalam menggambarkan lokasi-lokasi yang disebut. Kita yang belum pernah menginjakkan kaki di Eropa pun, bakal terpukau dengan narasinya.
Tulisan fiksi dan sejarah ini, saya rekomendasikan untuk Anda. Satu-satunya kelemahan buku ini adalah ketebalannya. Sulit untuk Anda tenteng atau masuk tas yang bisa Anda buka dan baca lagi di busway atau kereta api. Kalau kelak buku-buku Elisabeth Koztova menjadi best seller, saya pasti sudah tidak akan terkejut lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar