Senin, 25 Oktober 2010

Tell Me, Who Am I?

//Dia tidak punya, tapi GENGSI untuk bilang tidak punya// Dia tidak mampu, tapi GENGSI untuk bilang tidak mampu//Dia tidak tahu dan tidak ngerti, tapi GENGSI untuk bilang tidak ngerti//Dia ingin selalu tampak HEBAT di depan semua orang!// 
+++

Semua kalimat “hebat” itu tiba-tiba diucapkan oleh seseorang kepadaku. Menghentak dan tentu saja mengagetkan aku. Benar-benar mengejutkan dan membuatku terdiam. Antara keinginan untuk membantahnya dan keinginan berkaca, bertanya kepada diri sendiri, benarkah aku seperti yang ditudingkannya itu?

Pernah mengalami masa sulit dalam hidupmu? Fase itu sedang aku jalani sekarang. Aku berada di tubir jurang yang nyaris menghempaskanku. Mengapa aku bertahan, karena “dia” yang membuat aku kuat, sampai sekarang. Dia adalah orang-orang yang aku cintai dan kasihi.

Bahkan ketika fase sulit itu tak juga beranjak dari hidupku, dialah yang berada di hidupku dan selalu menyemangatiku untuk bangkit dan bergerak lagi. Jujur, fase inilah yang membuat aku “meminggirkan diri” dan “ingin menepi” dari semua yang –katanya—membesarkan nama dan hidupku selama ini. Yah, aku benar-benar ingin mengabaikan semua pencapaian yang –katanya—sudah aku capai selama ini.

Fase ini membuatku ingin “menyepi” dan tidak ingin mengenal manusia lain di area yang sama. Mengapa? Karena masa-masa sulit inilah, aku seperti terhempas dan tidak juga beranjak menjadi siapa-siapa. Dan inilah yang kemudian mengubah pandanganku, hidupku, dan caraku berelasi dengan manusia lain.

Aku menjadi seperti pesakitan, meski tak benar-benar ada yang menganggapu begitu. Aku seperti terdakwa yang benar-benar sudah dinyatakan bersalah dan siap dieksekusi. Pasrah dan tampak “menyerah” dengan alibi-alibi. Aku malu, tersisih. Tapia pa yang salah dengan pilihanku itu? Apakah merasa malu sebuah aib? Apakah merasa tersisih adalah dosa besar?

Dan aku bertanya lagi, siapakah aku? Ternyata aku tidak mengenal diriku dengan baik. Aku selalu mencoba mengenal orang lain dengan baik dan benar. Memperlakukannya dengan agung dan menyenangkan. Mencoba memahami dan mengerti mereka dengan cara-cara yang menyenangkan, tapi disisi lain aku makin kehilangan diriku. Aku makin jauh dari diriku sendiri dan makin tidak tahu aku siapa. Aku tidak tahu focus hidupku apa.

Aku makin ragu, apakah aku diciptakan dengan manfaat dan energi positif untuk orang yang aku sayangi dan cintai. Aku [kini] amat mudah menyerah dan terkulai lemah. Dan aku kembali bertanya, siapakah diriku ini sebenarnya?

+++

Seorang kawan mengatakan, tidak ada seorang pun yang bisa bertahan lama menjalin relasi dengan aku. Khususnya perempuan. Entah karena aku selalu dianggap mengagungkan gengsi dan kesombongan? Atau aku orang yang selalu ingin tampak hebat dan lebih pintar di depan orang?

Jujur, aku tidak peduli ingin seperti apa. Aku hanya ingin jadi diriku sendiri.  Yang berpikir bebas, mencintai orang yang memang pantas untuk dicintai, humanis, bergaul tanpa batasan. Persetan dengan gengsi dan kesombongan. Persetan dengan pencitraan. Aku hanya ingin mempunyai malu ketika tak bisa membuat orang lain gembira. Aku hanya ingin punya malu ketika orang terluka karena aku. Aku ingin mempunyai malu, ketika benar-benar aku tak bisa berbuat apa-apa untuk orang-orang yang aku sayangi.

Jadi, apakah aku harus mengundurkan diri dari area ini?

[stc, 8 oktober 2010, 2.06 wib + yado, 25 oktober 2010, 1.30 wib – aku ternyata benar-benar tidak mengenal diriku]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar