Senin, 25 Oktober 2010

Haruskah Kutanggalkan Profesi bernama WARTAWAN?


Dulu, aku adalah orang yang bermimpi ingin menjadi wartawan yang terkenal. Terkenal karena tulisan-tulisan yang kritis dan banyak mendapat apresiasi orang. Terkenal karena punya “otak” dan wawasan yang membuat siapapun akan angkat topi.

Terkenal karena bisa memberi inspirasi banyak orang dengan tulisan-tulisan yang bagus dan bermanfaat. Selain itu impianku adalah hidup sebagai wartawan yang cukup secara materi, punya idealisme dan menjadi contoh wartawan lain.

Ya, aku berhasil menjadi wartawan yang cukup dikenal, meski tidak terkenal. Aku bisa menulis dengan bagus –paling tidak menurut pembaca tulisanku. Aku bisa berwacana dengan otak dan tidak asal njeplak. Meski aku amat sadar, diluar sana, wartawan yang lebih tangguh, cerdas dan berbobot, juga tidak sedikit.

Tapi ternyata dunia ini juga yang banyak memberiku kekecewaan. Aku banyak kawan dan relasi, tapi banyak yang hanya berdasar kepentingan karena aku wartawan. Meski tidak sedikit yang tulus dan benar-benar menjadi kawan. Dunia ini yang memberiku pilihan dalam hidupku. Tapi dunia ini pula yang menghempaskanku ke masa-masa sulit tak berkesudahan.

Ingin kutanggalkan sebutan bernama WARTAWAN itu. Ingin kutinggalkan dunia bernama jurnalistik itu. Ingin kuhapus catatan hidupku di area bernama WARTAWAN itu. Entah mengapa, sebutan wartawan makin membuatku muak dan eneg! Tapi juga ingin membuatku menangis tersedu. 

Amat kuat keinginanku untuk meninggalkan area ini. Menjadi sosok lain yang benar-benar mentah dan baru di area yang berbeda.  Atau aku hanya “menyerah” pada diriku sendiri? Entahlah, sekarang bukan saat yang indah untuk berapologi tentang pilihan-pilihan itu.

[yado, 25 oktober 2010, 1.31 wib – putus asa akut]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar