SEBUTLAH namanya BlueBells, seperti nama bunga. Bukan karena dia suka warna biru, tapi karena dia suka bunga itu. Tidak semua bunga memang, tapi keindahan dan warna-warni bunga selalu membuatnya kegirangan dan tersenyum.
Bahasa geraknya adalah tubuhnya. Dia mengepak kesana-kemari dengan [atau] tanpa sayap yang mengembang. Dia –perempuan berkacamata itu—ibarat mesin waktu yang dalam sekejab melompat-lompat dalam aura resah, gembira, marah, dan kebingungan. Dan itulah energy yang membuatnya selalu melayang-layang dalam detik demi detik hidupnya.
Dia cantik, meski bukan “dewi” dengan kecantikan dan keindahan sempurna, tapi dia juga bukan kurawa, yang terlahir dengan kebinasaan tentang memiliki hati dan erupsi perasaan. Dia terlahir sebagai perempuan yang memiliki kepekaan. Dia tercipta sebagi perempuan yang juga punya kelemahan. Tapi dia tumbuh dalam keniscayaan untuk menjadi sosok yang dicintai dan mencintai, dengan ketulusan. Bukan dengan kalkulasi untung rugi.
Setiap detiknya adalah warna. Meski tak selalu cerah, kadang kusam dan redup, tapi itulah kehidupannnya. Seperti hidup manusia lain, kadang-kadang bisa dihadapinya dengan tegar, tapi sesekali dilewatinya dengan airmata dan “penderitaan batin” yang tak pernah seorang pun tahu.
Raganya bukan baja yang kokoh menghadapi terpaan. Bahkan besi baja pun bisa luluh terkena empasan angin dan hujan. Tapi dia bisa lebih keras dibanding baja yang paling keras, ketika ada hal yang harus membuatnya berdiri tegak, menjadi tombak dan siap “menusuk” dengan kekuatan yang tak terduga.
Fisiknya adalah kerapuhannya. Disana [memang] bersemayam kemerdekaan untuk ber-quantup leap, menjadi apapun yang dia mau dalam sekejab, menuangkan ide dan mimpi-mimpinya dalam visualisasi nyata. Tapi tubuh dagingnya tak bisa diajak berlari cepat. Ada kerapuhan ragawi yang kerap melemahkannya. Ada redam-redam sakit yang membuatnya memperlambat kejutan-kejutannya. Meski sesekali, dia melokalisir-nya dan menerabas dengan kekuatan bara yang memerah. Tapi, dia bukan manusia super. Dia manusia biasa. Yang bisa terjatuh, terluka dan terdiam dalam misterinya.
Jujur, perempuan berkacamata itu sesekali menjadi manusia yang menggelisahkan, dengan sejuta pertanyannya, seribu keingintahuannya, dan selaksa rasa yang kerap membuat terombang-ambing. Dia membawa kegelisahan ketika senyumnya tak lagi mengembang, menjadi kerutan kecil di ujung bibir lembutnya.
Hi, perempuan berkacamata, selalu tersenyumlah bahkan di saat keping-keping hatimu sedang kau tautkan lagi. Karena, kekuatanmu bukan lagi badaniah, tapi ketulusan dan kasih yang menerima.
[yado, 14 november 2010, 18.03 wib – betul, tentang kamu]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar