Ketika Cinta Kunamakan Diam, dan Diam Kusebut Ke-Tiada-aan. Setiap berhadapan dengan sosoknya, aku nyaris tak bisa berkata-kata. Melihatnya tersenyum, tertawa lirih, bahkan caranya mempermainkan bola mata, membuatku selalu gelisah. Bukan, bukan sebuah kegelisahan tentang birahi, tapi sebuah kegelisahan menjadi terasing dalam keterasingan bersamanya.
Saya amat mengamini pendapat filsuf Perancis, Jacques Derida yang mengatakan, “…setiap peristiwa dalam kehidupan manusia, adalah unik dan khas…”. Setiap kehidupan punya cerita, setiap kejadian dalam lintasan hidup, selalu unik. Tak peduli apakah itu menyenangkan, biasa-biasa saja, atau malah menyakitkan. Kita tak bisa menolak ketika akhirnya jalan hidup kita, melenceng dengan impian kita. Kita tak bisa mengelak, ketika detik demi detik banyak hal tak terduga bermunculan.
Pun dengan kehidupan saya. Ada episode-episode yang saya racik sendiri, kemas dengan balutan benang emas, tapi tak sedikit yang tertinggal [atau saya tanggalkan], karena episode itu begitu perih, menyayat, membingungkan bahkan mungkin membuat saya “gila”.
Tak secara spesifik saya bicara soal rasa dan perasaan. Tapi hari-hari ini, episode kehidupan saya sedang berganti-ganti layar. Dimana-mana, terbentang warna-warna yang berubah-ubah. Meski geber utamanya tak pernah usang dan kusam untuk dimaknai. Hari ini mungkin layar itu terbeber soal makzul dari keriuhan, mengundurkan diri dari bising dan mencari sepi. Esok, layar itu berkembang menjadi gelisah cinta dan perasaan yang terombang-ambing. Lusa, layar itu bisa menjadi api membakar tiap relungnya.
Tapi semua memang bermuara di satu titik, cinta. Saya tergores oleh cinta itu. Sehingga perasan perasaan yang muncul pun bergelombang di sekitar cinta itu. Dia –wanita berkacamata itu-- membuat saya tersedak, tersenyum bahagia, terkekeh, kadang-kadang menangis dan terkesiap menahan galau ketika resah demi resah bertubi-tubi berdatangan. Saya [juga] pernah emosi, bahkan marah. Tapi itu bukan sesuatu yang permanen menjadi kekuatan raga untuk “melawan” kegelisahannya. Jujur, Saya tak sanggup untuk menjadi api bahkan dalam sekam-nya sekalipun.
Ada beberapa ungkapan menarik tentang cinta yang masih saya ingat dari beberapa buku. Salah satunya adalah, jika orang yang jatuh cinta bisa memilih maka ia akan memilih untuk tidak jatuh cinta. Cinta merupakan atribut kehidupan manusia. Pun cinta kepada lawan jenis. Ia adalah fitrah hiasan umat manusia. Seorang yang bernama manusia akan dan pernah jatuh cinta kepada manusia lain. Ini adalah sesuatu yang tak bisa kita tolak.
Lalu mengapa memilih untuk tidak jatuh cinta? Jatuh cinta kok tidak dipilih? Cinta kan indah dan menyenangkan? Awal dari cinta memang merupakan keindahan. Namun pertengahan cinta adalah kegelisahan. Orang yang dimabuk cinta pastilah pernah merasakan penderitaan kegelisahan ini. Gelisah karena menahan beratnya kerinduan. Gelisah akan ketidakpastian apakah orang yang ia cintai benar-benar akan menjadi miliknya. Gelisah ketika orang yang ia cintai ternyata bisa menyakiti.
Seorang penyair bersenandung,
"Tak seorang pun di muka bumi yang lebih sengsara dari seorang yang jatuh cinta, meskipun ia mendapati cinta itu manis rasanya. Setiap saat engkau lihat ia selalu menangis, entah karena enggan berpisah atau karena rindu yang membara. Jika sang kekasih jauh, ia menangis karena rindu, jika dekat ia menangis karena takut berpisah dan kehilangan.”
Bahkan akhir cinta bisa merupakan kehancuran. Kegelisahan dan kehancuran inilah yang membuat cinta tidak dipilih. Sayang, orang yang jatuh cinta tak bisa memilih untuk tidak jatuh cinta. Cinta datang begitu tiba-tiba. Kedatangan cinta membuang kesadaran jauh ke belakang. Ketika kesadaran itu kembali mendatangi, sadarlah orang yang jatuh cinta bahwa dirinya sudah terjerat cinta.
Ada ungkapan, cinta itu bertindak dulu baru berpikir. Betul juga. Cinta memang tidak bisa ditolak. Datangnya cinta memang begitu tiba-tiba. DAN Datangnya cinta bukanlah sebuah dosa, dimanapun dia singgah.
Scene hidup saya memang masih terus bergulir. Bab per bab masih akan tertulis, sampai kelak ketika saya mati, catatan kehidupan itu akan bertengger di rak yang mungkin bersanding dengan cinta, kesedihan atau tetap menjadi sebuah pertanyaan? Saya adalah saksi, bahwa orang yang jatuh cinta tak bisa memilih untuk tidak jatuh cinta.
[yado, 14 november 2010, 2.44 wib – untuk perempuan berkacamata itu, yang selalu membuatku memilih untuk jatuh cinta]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar