Jumat, 12 November 2010

Yeah, My Name is Freedom

BERHATI-HATILAH menggunakan istilah ‘bebas dan bertanggungjawab’  karena menurut Rudolf Steiner, seorang pemikir asal Jerman kelahiran Austria, secara instinktif, diartikan sebagai tanggungjawab yang didasarkan pada otoritas di luar dirinya (peraturan, teks, ideologi, kepercayaan, nilai-nilai kelompok/masyarakat/suku dsb), karena istilah itu rawan manipulasi.
 
Sebenarnya saya tak sengaja ketemu pemikiran si Rudolf ini. Ketika sedang mencari bahan untuk ngeblog tentang nama yang saya pakai sebagai judul blog, saya ketemu buku lawas ketika sempat ikut ekstension filsafat beberapa tahun silam.  Namanya berserakan di internet. Saya tertarik dengan pemikirannya tentang kebebasan.

Sumbangan Rudolf Steiner  mengenai filsafat kebebasan menjadi sangat berguna untuk membantu kita memahami kebebasan.  Gagasannya saya ringkas sebagai berikut: Pertama Rudolf menunjuk adanya dua realita: yaitu manusia dan di luar manusia. Manusia dilengkapi kemampuan yang disebut sensory perceptions untuk mengakses realita di luar dirinya yang beragam (alam, tumbuhan, binatang, orang lain). Persepsi yang tersensor ini  ternyata toh dipengaruhi oleh tujuh instansi/level motives yaitu: reflexes, drives, desires, motifs, wishes, intentions, and commitments.

Dengan kombinasi berbagai level itu, manusia memproduksi berbagai persepsi yang tersensor untuk memaknai dunia luar dan dirinya, istilahnya consciousness (tolong jangan diterjemahkan menjadi “kesadaran”).  Karena tersensor, celakanya atau untungnya, persepsi itu menghasilkan sebuah dunia pemahaman yang penuh kontradiksi, dualitas, polarisasi: baik-buruk, benar-salah, cantik-jelek dsb. Semakin berargam level motif yang memasuki sebuah fenomena, semakin ruwet polarisasi persepsi itu. 

Kedua, moral imagination merupakan hasil kerja yang seolah berada dalam hati dan budi individual. Selanjutnya Rudolf mengamati peran ego, yang mempunyai “kehendak untuk bertindak” dalam diri manusia untuk mempengaruhi dunia di luar dirinya, berpangkal dari imaginasi moral yang yang sudah dimilikinya. Ego yang hendak mengkomunikasikan dirinya itu disebutnya self-awareness (lagi, jangan diterjemahkan dengan kata “kesadaran”). 

Apakah teori di atas sudah menjawab pertanyaan tentang kebebasan? Yang paling tepat mungkin adalah memberi jaminan kesempatan tiap individu membangun imaginasi moralnya yang makin lama-makin lengkap. Peraturan harus dibuat untuk mempertahankan ruang situasi kebebasan itu, dan bukannya menutupinya.

Bagaimana dengan Anda?

(thanks to: kang pitoyo adhi di belanda untuk pencerahannya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar