HARI INI, hujan begitu derasnya. Menetesi setiap sudut terbuka. Meski telah reda, tapi aroma tanah yang tersiram itu begitu menggoda. Harum, khas hujan. Sosok perempuan berkacamata itu, dengan jaket tebal ungunya, memilih berjalan-jalan merasakan angin basah itu. Dengan amat detil dia berjalan melewati kebun buahnya.
Tidak ada orang di sekitarnya, karena perempuan itu memang ingin sendiri. Berjalan perlahan melintasi buah demi buah yang mulai matang. Tangannya menyibak tetesan air di dedaunan. Dia berhenti sejenak dan menutup mati. “Ah, betapa menyenangkan tetesan air ini. Sejuk dan menyegarkan,” ucapnya dalam hati.
Dia melangkahkan kakinya ke arah palungan air. Dan berjalan di bawah naungan pohon jacaranda yang tumbuh di kebunnya. Daunnya kuyub, beberapa bunganya berguguran. Tapi indahnya tak tersesat.
++
Perempuan berkacamata itu, adalah perempuan terindah yang pernah Tuhan ciptakan. Aku –si kumbang—selalu terpesona melihatnya di kebun itu. Gambaran dirinya membuat aku enggan terbang jauh dan pindah ke kebun lainnya. Rambutnya tidak terlalu panjang, sebahu. Hitam dan menyenangkan dilihat. Harumnya membuat aku ingin terbang di sebelahnya.
Kulitnya lembut dan putih, ditopang kakinya yang jenjang. Tubuhnya tidak terlalu gemuk, kombinasi utuh dari keindahan dan keseimbangan. Jangankan aku si kumbang, kupu-kupu yang jadi teman terbangku pun, memilih hinggap di bunga saat dia melintas, memberikan senyumannya.
Sesekali aku melihat bertelanjang kaki, merasakan tanah lembut diinjaknya. Meski ternyata, dia tak selalu menikmati ketelanjangan kakinya. “Geli ama binatang kecil-kecil,” elaknya pada Mawar, teman yang sering diajaknya melintas bunga dan buah.
+++
Dan setiap dia tak berjalan di kebun ini, aku merasa terbangku tak ada gunanya. Agak menggelikan, karena kumbang tiba-tiba jatuh cinta kepada manusia. Tapi bukankah cinta adalah hak semua makhluk?
+++
Apa yang terjadi kemudian, perempuan berkacamata itu sendiri tak bisa menebaknya. Semua menggambarkan kemurungan dan mendemonstrasikan hasrat yang tidak pernah dia sendiri tahu.
Kebun itu memberinya ruang untuk berkomtemplasi. Memberinya udara untuk berefleksi. Buah-buah matang itu selalu tersenyum kepadanya dan membuatnya menyanyi riang bersama embun yang dihelanya. Bahkan ketika mendung pun, perempuan berkacamata itu memilih kebun ini sebagai tempatnya berteduh.
+++
Buat aku, si kumbang yang menikmati terbang di kebun ini, perempuan berkacamata itu memberikan wangi dan memancarkan kecantikan yang khusus. Secara kontemporer, cantiknya hangat. Dan sering aku membayangkan terbang seiring di sebelahnya.
+++
Dan gerimis kecil yang merintih, bernyanyi:
Bulan purnama melayang tepat di atas kaki langit, dia membayang dengan sudut yang amat tajam, Sehingga cahayanya yang bergelombang merentang di sepanjang lebar danau. Tapi, bulan memberi cahaya yang dingin…
Di seberang danau, pepohonan pinus yang menjulang, Kayu keras yang telanjang, tak bergerak. Sementara malam terasa kaku, diam dan tak berangin.
Gemintangnya seperti sketsa dari India. Pada langit yang telah berubah menjadi musim dingin. Kecantikanmu sederhana dan hangat. Kejujuranmu selalu melewati taraf menyakitkan. Mencintaimu tak sekadar esoteric, tapi eklectika. Dan biarkan cinta itu tetap bersenandung
+++
Perempuan berkacamata, kembali di kebun itu dan duduk sendirian….
[yado, 29 desember 2010 – 12.10 wib – ah, betapa sulitnya untuk tidak mencintainya]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar