UNTUK “keliaran” pemikiran, tumbalnya adalah tudingan “aneh, atheis, berdosa, penghuni neraka & durhaka” – mengerikan bukan? Tapi apakah tudingan itu membuatku bergerak mundur dan menjadi kucing manis yang enak dielus, diberi susu dan tertidur? Maaf, siapa yang bisa memasung pemikiran, bahkan sekalipun kita sedang terpasung?
Saya ingin mengatakan, bukan perkara tidak ada seorang pun yang berhak dan bisa memenjarakan pikiran. Tubuh ragawi boleh saja terinjak dan terpenjara di tempat yang paling tersembunyi, tapi pikiran tetap akan bebas, sebebas-bebasnya. Dia – pikiran itu—akan tetap mengembara kemana dia suka. Mungkin akan dicerca, dihina, disiksa, tapi dia tak bisa dimatikan.
Saya tidak sedang mengajak untuk setuju dengan saya, bahkan menolak keras pun tidak jadi masalah dengan saya. Saya hanya mengajak untuk melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda. Tidak lazim mungkin, tapi mengapa tidak?
Ini bukan omong kosong, melainkan sesuatu yang benar-benar terjadi. Ini adala realitas kehidupan dari dulu hingga sekarang. Fenomena ini kerap dipandang sebelah mata oleh kalangan-kalangan tetentu, padahal jika mereka bersedia menelisik kedalaman makna, mereka akan menemukan sesuatu yang besar yang sanggup dijadikan perenungan, permenungan serta refleksi terhadap realitas yang ada. Mereka tidak akan menganggap bahwa kata-kata ini bukan sebuah kata bualan yang terpancar dari mulut seorang radikal ateistik.
Andaikan kata-kata ini benar merupakan ujaran dari seorang radikal ateistik, paling tidak mereka dapat mengambil sisi baiknya, sebab segala sesuatu yang ada pasti mengandung nilai yang dapat diambil dan dijadikan sebuah pembelajaran bagi diri pribadi. Coba, cermati serta telisik kembali ungkapan ini serta kantongi nilai-nilainya.
Ini merupakan harapan serta tantangan bagi anda semua untuk bisa menghargai kata kata atau pengujarnya agar tidak selalu berpandangan picik atau culas terhadap realitas hidup dan kehidupan yang sedang menyapa. “Tuhan telah mati!”! Ungkapan Nietzsche dalam Sabda Zaratustranya inilah yang dari zaman dahulu sampai sekarang seolah-olah menjelma sebagai virus dalam diri manusia. Virus ini terus menggerogoti logika dan perasaan manusia.
Ungkapan ini selalu dianggap sebagai virus yang mematikan yang harus segera dibumihanguskan. Padahal jika diperhatikan lebih jauh, ungkapan ini merupakan cambuk pengingat bagi mereka yang telah lalai. Cambuk bagi mereka yang selalu mengutamakan esensi dan eksistensi pribadi hingga mereka menjual, mematahkan dan bahkan membunuh eksistensi Tuhan dalam dirinya.
Ungkapan “Tuhan telah mati”mengandung nilai filosofis yang begitu dahsyat Kematian ini bukan mengarah pada kematian esensi (dzat), melainkan mengarah pada kematian eksistensi (wewenang dan perintah) Tuhan dalam diri seorang manusia.
Secara kodrati, dzat Tuhan bersifat kekal dan abadi. Keberadaanya selalu ada melampaui ruang dan waktu serta menjadi poros kehidupan. Begitu juga dengan eksistensi Tuhan. Secara kodrati eksistensi Tuhan juga bersifat kekal dan abadi, namun dalam realitasnya eksistensi inilah yang kerapa dikebiri oleh pribadi seseorang. Ia kerapa dibantai dan ditiadakan.
Bentuk pembantaian serta peniadaan eksistensi Tuhan mungkin terlihat jelas pada waktu itu, sehingga dengan seketika pula Nietzsche mengujarkan kata-kata tersebut. Pada waktu itu manusia banyak yang beralih pandangan. Mereka selalu mengejar kenikmatan duniawi yang bersifat sementara dibandingkan dengan mengabdi kepada Tuhan. Mereka menghalalkan segala cara demi kepuasan tersebut.
Mereka kerap berbuat curang, culas terhadap sesama, dan bahkan mereka kerap membuat kerusakan-kerusakan di muka bumi hanya demi kepuasan nafsiahnya semata. Di sinilah letak pembantaian dan peniadaan eksistensi Tuhan dalam diri seorang manusia. Wewenang dan perintah-Nya untuk bertaqwa dan tidak membuat kerusakan di muka bumi telah di kebiri dan ditiadakan dari dalam diri pribadinya.
Tuhan seolah tidak ada hingga mereka berbuat sewenang-wenang dan semaunya. Tidakkah telah terungkap jelas, bahwa nafsulah yang telah mengantarkan manusia berada dalam lembah kesesatan. Dialah pengantar manusia untuk berbuat ingkar kepada Tuhan. Olehnya, manusia kini telah beralih melakukan pengagungan dan pemujaan terhadap hakekat Tuhan yang sejati. Manusia telah beralih menuhankan benda-benda, harta, tahta dan lain sebagainya yang merupakan perhiasan dunia yang bersifat semu dan menipu. Orientasi hidupnya kini telah berbelok menuju kebendaan duniawi.
Masih banyak simbol-simbol lain yang merupakan bentuk pembantaian dan
pembunuhan terhadap penuhanan benda-benda keduniawian, yaitu harta, tahta dan lain sebagainya.
pembunuhan terhadap penuhanan benda-benda keduniawian, yaitu harta, tahta dan lain sebagainya.
Lalu, masihkah “keliaran” pemikiran itu dihujat sebagai meremehkan dan kurang ajar kepada Tuhan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar