JUDUL yang saya pakai ini, sudah barang tentu akan membawa kejutan kepada kaum “moralis” dan “rohaniwan’ yang setiap hari berkutat dengan ‘ke-Tuhan-an’ dan ‘ke-Ilahi-an’ sebagai satu-satunya kebenaran mutlak yang tak bisa diganggu gugat. Tuhan, ajaran dan Kitab Suci adalah kebenaran absolute yang bahkan tak boleh dikritisi sedikit pun. Berani mengkritisi? Bersiap-siapkah dicap murtad dan menyempal.
Nietzsche dicap sebagai filsuf ‘pembunuh Tuhan’. Pasalnya, pernyataannya yang kontroversial dan melambungkan namanya kepada deretan filsuf “gila” mengatakan satu istilah latin ‘requeiem aeternam deo’ [istirahat kekal bagi Tuhan]. Artinya, Tuhan sudah mati dan beristirahat dengan nyaman dan aman serta tenang di pusaranya. Apakah filsuf asal Jerman ini sudah gila dan tidak punya pemahaman teologis yang kuat, sampai berani mengatakan begitu?
Nietzsche mungkin orang yang sangat menguasai keilmuan tentang Tuhan atau teologis. Dia lahir dari keluarga [Kristen] Lutheran yang amat –betul, amat taat. Moyang sampai kedua orangtuanya adalah petinggi-petinggi gereja yang sangat dihormati. Bahkan Nietszche sendiri sebenarnya adalah calon pendeta sebelum menemukan belokan iman yang mengguncang keluarga dan dirinya sendiri.
Tentu saja pola pikir ini menggegerkan keluarganya yang dikenal sebagai Kristen [amat] taat. Dan gereja tempatnya bernaung pun pernah memberikan semacam teguran atau pamerdi kepadanya. Tapi apa jawabnya? “Gereja-gerejan kan hanya menjadi makam-makam dan nisan-nisan bagi Tuhan.”
Nietzsche akhirnya memang mengakui hanya ada satu kebenaran, yaitu “tidak ada kebenaran” itu sendiri.
+++
Tidak. Saya tidak akan mengajak Anda yang membaca tulisan ini untuk menjadi “pembunuh” Tuhan seperti Nietzsche. Atau mengajak Anda mempertanyakan “kehidupan” Tuhan yang sudah “dibunuh” oleh filsuf yang aforisme-nya berjudul ‘Orang Gila’ menjadi perdebatan banyak filsuf lain, bahkan sampai saat ini. Saya juga tidak sedang menganjurkan Anda untuk “setuju” atau “menolak” gagasan-gagasannya. Biarkan pilihan itu menjadi pilihan Anda sendiri, bukan berdasar rasio dan [hanya] tulisan saya ini.
Saya membaca pemikirannya dan mengagumi keberanian seorang Nietzsche ini. Kegilaannya pada pencarian dan kegelisahan [dimana filsafat sangat mengagungkan kegelisahan ini] membuat menemukan banyak hal yang tak terbatas. Tapi dia menjadikan pencariannya itu sebagai sebuah kegembiraan yang membuatnya bisa “membunuh Tuhan” – menertawakan ilmu pengetahuan dan logika, menghina metafisika hingga memberikan “keraguan” kepada pemujanya.
Buat saya pribadi, kegelisahan, keraguan dan kegembiraan filsuf ini menyenangkan untuk diikuti. Saya tidak bicara dalam tataran “beriman” atau “tidak beriman” yang berlaku umum, tapi sebuah proses pendewasaan dengan logika berpikir yang linier. Gagasannya memang kontroversial dan mengagetkan, bahkan ketika didiskusikan sampai saat ini.
Ajakannya “membunuh Tuhan” pasti bakal mengguncang iman kita. Tapi saya menyarankan –seperti sering dikatakan dosen filsafat saya—ketika membahas hal ini, letakkan Tuhan di laci meja dulu. Setelah selesai berdiskusi, ambil Tuhan dan silakan ditaruh di posisi terhormatnya lagi.
Saya tidak meminta Anda setuju, tapi saya juga tidak meminta Anda untuk tidak setuju. Ini wacana filsafat yang buat saya mendewasakan keimanan pribadi. Bagaimana dengan Anda?
[semarang, 1 november 2010, 8.36 wib – ingin selalu menggagas dialog tentang Tuhan]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar