Kamis, 23 Mei 2013

Jangan Menjadi Pelaku Stigmatisasi



Dari kecil, mungkin dari lahir ceprot, saya sudah dilabeli dengan agama tertentu yang sama dengan orangtua saya. Tentu saja saya tidak memilih suka-suka, karena memang belum sanggup untuk menentukan pilihan apapun. Jadi ketika itu, terima saja yang dilabelkan.


Ketika makin dewasa, belajar ilmu-ilmu yang ternyata tidak pasti, saya dijejalkan dengan penjelasan-penjelasan bahwa agama adalah yang sudah “disepakati” oleh negara. Ketika itu ada 5. Sudah tahu kan? Yang kini bertambah 1 jadi 6. Konghucu masuk jadi agama ke-6.

Saya kemudian jadi agak bingung ketika bicara soal klaim-klaim kebenaran mutlak, dan kemudian menafikan agama lain sebagai “ketidakbenaran” hakiki. Ketika saya kemudian makin mengritisi, mencari pembanding, mencari penjelasan tentan “kebenaran” dan “ketidakbenaran” itu, ada banyak cabang yang saya temukan. Bahkan di setiap agama yang diakui.

Kemudian cap kafir, murtad, atheis, mrosal, liberal, sekuler, nyeleneh, mungkin tidak waras mulai berseliweran ke kuping saya, ketika mempertanyakan klaim-klaim itu. Apakah stigmatisasi tersebut berhasil menyakiti saya atau tidak, sayalah yang memutuskan. Saya memiliki otonomi penuh terhadap diri saya sendiri. Bukan orang lain. Inilah rahasia mengapa saya selalu terus belajar untuk tak sakit hati dikata-katai orang lain

Bukan untuk mempengaruhi pemikiran supaya goyah, tapi sekadar berdiskusi cerdas. Sayangnya, saya belum menemukan orang yang benar-benar bisa dengan santai ngobrol soal ini. Soal apakah saya ini kafir atau tidak, sudah tergolong murtad atau tidak, adalah kavling sang Maha Hakim. Bukan orang lain yang menentukan vonisnya. Saya relatif sudah tercerahkan soal ini.

Nilai pribadi saya tak ditentukan oleh penghakiman orang. Akan tetapi oleh keseluruhan yang telah saya perbuat dalam hidup ini, baik yang tampak maupun yang tak tampak. Kalau Anda sudah melewati masa-masa “stigmatisasi” itu, berarti Anda sudah menjadi orang yang tercerahkan.

Saya selalu tersenyum dengan stigmatisasi tersebut. Karena saya ingin jadi manusia yang tidak memberika stigma juga. saya terus memilih untuk merdeka dan tak terkungkung oleh pandangan orang, oleh indoktrinasi, oleh nilai-nilai yang katanya sudah established.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar