Saya
pernah menulis dalam sebuah status Facebook,
“Sabar itu tidak ada batasnya!”. Dan ketika itu, saya mendapat repson yang
bermacam-macam. Rata-rata mengatakan, bahwa kita ini manusia yang punya batas,
termasuk sabar. Tapi tidak sedikit yang memberi tanda “like this” meski
tampaknya mikir untuk komentar, ketimbang di-bully.
SECARA manusia, omongan saya tadi jelas menjadi perdebatan. Mana
mungkin manusia punya sabar yang tak terbatas? Tanpa batas itu hanya milik
Tuhan –begitu kata kawan-kawan saya yang tiba-tiba semuanya menjadi lebih
relijius saat menjelaskan kata “sabar” yang saya upload itu. Mungkin kalau saya rekam, bisa jadi edisi kotbah Jumat
untuk beberapa bulan [agak lebay sih kalau ini],
Melihat reaksi spontan yang tertuang, saya menyadari kita memang
manusia terbatas. Bagaimana tidak, kata-kata yang mencuat dalam komentar,
semuanya menunjukkan kertidaksabaran untuk mencerna, merenungkan dan kemudian
bisa berpendapat dengan jernih.
Ada yang mengatakan, “sabar = tolol” dengan asumsi, ketika kita
disakiti, kita dirugikan, kita diinjak-injak, tapi masih bisa menerima orang
lain yang memperlakukan kita seenaknya itu. Saya hanya tersenyum, dan mencoba menerawang
kesabaran saya sendiri untuk tidak membalas semua komentar yang tidak sabaran
itu. “Bagaimana kalau kita diduakan dan kita tidak tahu, apakah harus sabar
juga?” ini komen dari seorang sahat perempuan.
Jawaban saya singkat: “Iya!” dengan embel-embel layaknya rohaniwan
juga, harus mendoakan tanpa henti, dan menetramkan diri sendiri, meski saya
tahu itu bukan perkara yang amat mudah pastinya.
Saya harus jujur mengatakan, saya adalah “petobat baru” soal
kesabaran. Saya adalah new comer soal
kesabaran. Dalam istilah saya, ada yang namanya “manajemen kesabaran” yang perlu
kita latih. Sekolahnya memang tidak di bangku formal, karena sekolahnya adalah
sekolah kehidupan sehari-hari. Dalam bahasa latin, kesabaran disebut dengan patientia.
Yang menarik perhatian saya adalah komentar yang mengatakan,
“kesabaran adalah cinta”. Saya amati, mungkin saja kawan yang komentar itu
sedang galau atau menye-menye, tapi
tidak. Ada penjelasan serius dibawahnya. Menurutnya, ada istilah latin yang sepadan yaitu Amor Vincit Omnia. Terjemahan bebasnya: cinta mengalahkan segalanya. Hmm, tahu apa
kawan saya ini tentang cinta, lah wong sampai
detik ini, dia belum punya pasangan tetap je.
Cinta dan kesabaran memang sepaket.
Kalau Anda cinta dengan seseorang, silakan menjadi orang “bodoh”
baru. Maaf, tidak menyalahkan yang mau jadi bodoh, karena itu resep mujarab
untuk tetap bertahan dengan kekasih kita. Apa hubungannya dengan sabar? Kawan
saya ini –sebutlah dengan nama Dave—selalu mengatakan, cinta justru tidak
membuat makin sabar, tapi makin belajar menghadapi orang yang tidak sabaran
itu. Cinta lebih sering menjadikan kita tolol, karena sabar menunggui pujaan
hati keluar dengan berbagai hal yang harus dilakukan.
Dalam arti positif, cinta mengalahkan segalanya sebenarnya tepat.
Mengapa? Ketika kita jatuh cinta dengan seseorang, siapapun itu, tiba-tiba kita
jadi terminator yang menurut saja
dicucuk hidungnya, selama yang kita cintai senang dan merasa bahagia. Meski
sebenarnya tidak ada jaminan dia mencintai kita dengan porsi yang sama. Kita
belajar dengan kesabaran tingkat “dewa” ketika hati dongkol tak terkira melihat
pujaan hati kita terlihat “menyebalkan”. Dalam fase ini, “sabar tanpa batas”
seharusnya menjadi kosakata yang rutin. Bukan sekadar cari muka ketika memberi
catatan kritis.
Jangan muncul peribahasa baru: “kasihan mengalahkan cinta!” Runyam
kalo begitu....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar