Selasa, 12 Oktober 2010

AGAMA Itu Harusnya Pilihan, Bukan WARISAN

Ini sebuah pertanyaan besar yang bisa membuat setiap kita bersitegang. Padahal, hadapi saja dengan rileks dan santai. Mari kita berbicara dengan senyum dan hati yang tulus. Perbedaan bukannya harusnya jadi kekayaan?

Apa agamaku? Sepele pertanyaannnya, tapi percayalah, kalau Anda renungkan dengan hati, jawabannya tidak sesederhana melihat KTP. Nyaris 100 persen dari kita, beragama karena turun temurun. Karena orang tua kita Islamm jadilah kita “otomatis” Islam. Karena orangtua saya Kristen, stempel itu juga langsung tertera ketika saya lahir. Ini anak orang Kristen dan pastilah saya Kristen. Mudah bukan?

Tapi saya ingin mempertanyakan ‘keindahan’ agama warisan itu itu? Maaf, saya tidak mempertanyakan apakah agama itu penting atau tidak, saya ingin memberikan satu wacana, seandainya agama itu adalah pilihan. Bukan warisan. Dalam proses selanjutnya, saya yang dilahirkan Kristen ini dicekoki dengan apapun yang berbau Kristen. Mungkin bagi yang punya warisan agama Islam, Budha, Hindu atau Katolik, akan mengalami hal yang sama. Bahwa agama yang kita warisi itu adalah satu-satunya kebenaran. Bahwa agama yang kita warisi itu adalah nomor satu dibanding yang lainnya. Pemuka agama seperti penjual kecap yang promosi sebagai nomor satu dan terbaik.

Ketika kemudian kita makin belajar, dan banyak mempertanyakan [baca: mengkritisi] tentang segudang pertanyaan yang kita ingin tahu kebenarannya, hati-hati, karena tudingan penistaan, murtad, nyempal, tidak rohani, tidak religious, dan seabrek stempel jelek lainnya, bakal segera nempel. Tiba-tiba kita yang mempertanyakan itu, seperti virus menular yang harus dikarantina. Padahal siapa tahu, ketika kita menerima jawaban yang memuaskan, justru keimanan kita makin kokoh? Kalaupun toh kemudian kita memilih untuk berganti agama, bukan kesalahan yang harus dihukum mati bukan? Agama itu pilihan, bukan warisan.

Silakan saja mau ganti agama 1000 x dalam sehari. Karena stempel itu ternyata masih menjadi penting. Silakan saja jadi ‘oportunis religius’ kalau memang Anda masih mencari kebenaran hakiki itu. Karena saya, Anda, kita, tidak pernah tahu, keyakinan makbul seseorang. Tahukah Anda, seseorang yang di KTP beragama A, tapi jauh dalam lubuk hatinya dia mengimani agama B?

Agama selalu mengajarkan soal ritual dan larangan-keharusan, dengan ayat –ayat dan tafsir penguat dan pendukung. Padahal agama [sebenarnya] juga mengajarkan toleransi. Klaim terang dan gelap, satu-satunya kebenaran, satu-satunya yang [konon] diterima dan diakui disisi Tuhan, buat saya menggelikan. Agamaku adalah Agamaku, Agamamu adalah Agamamu, buat saya menjadi demikian egois, karena menutup wacana dialog dan diskusi.

Di Malaysia, lafal Allah dan Alloh saja bisa jadi pertengkaran. Entah di Indonesia. Tapi yang ingin saya gambarkan, betapa pernak-pernik yang tidak krusial seperti itu justru menjadi besar. Sampai sekarang, pernikahan beda agama pun masih ditabukan. Kalau bisa jangan, kalau nekat silakan terbang ke Australia, atau Singapura yang bisa menerima hal seperti itu. Lebih-lebih dari kecil kita sudah dicekoki bahwa hal itu haram, dilarang, tidak sah, dianggap berzina. Hidup seperti sebuah hukuman saja.

Bukankah ‘rumah besar’ itu bernama perbedaan? Bukankah ketika kita bisa saling menerima perbedaan termasuk agama, rumah besar itu justru bisa menjadi peneduh buat semuanya?

Saya hanya ingin berada di rumah besar yang teduh dan nyaman, dimana Tuhan, agama, Nabi, dan umatnya, bisa duduk bersama, berdialog dan menemukan pembaruan berpikir yang dialogis. Atau mungkin saya masih utopis dengan pemikiran itu? Entahlah, saya pikir saya tidak bermimpi bukan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar