Rabu, 20 Oktober 2010

Seberapa INDONESIA-kah Aku? -- Catatan Kritis Nasionalisme Lewat Media Sosial

SEJUJURNYA, saya agak gelisah dengan judul di atas. Bukan karena saya tidak nasionalis, tapi justru karena saya merasa belum ‘terlalu’ nasionalislah yang membuat saya agak tersenyum dan bersemu sendiri. Yah, kalau nasionalisme dilihat dari ikut perang atau tidak, saya jelas tidak nasionalis. Karena sama sekali tidak pernah ikut perang.

Tapi kalau nasionalisme patokannya adalah spirit dan semangat ke-Indonesia-an yang tidak membabi buta, saya sih berani sombong, saya nasionalis.   Paling tidak, di era internet ini, saya bisa memberikan sedikit kebanggaan sebagai Indonesia, dalam beberapa hal yang saya kuasai. Misalnya, saya adalah “pecandu” Media Sosial yang sekarang lagi kenceng-kencengnya. Saya mencoba menunjukkan ke-Indonesia-an saya lewat hal-hal yang tidak basi, hanya slogan, tapi bisa memberi  inspirasi dan pencerahan kepada orang lain.

Apa sih hubungan media sosial dengan ke-Indonesia-an yang korelasinya dengan nasionalisme [versi saya itu]? Siapa sangkal, media sosial yang bertebaran sekarang ini menjadi satu mata rantai yang bisa dimanfaatkan untuk banyak hal. Mau positif ok, dibuat negatif juga tidak sedikit yang melakukannya. 

Kalau boleh saya mengutip, Wikipedia mengatakan, “Media sosial adalah sebuah media online dimana para penggunanya bisa dengan mudah berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi meliputi blog, sosial network atau jejaring sosial, wiki, forum dan dunia virtual.” Blog, jejaring sosial dan wiki mungkin merupakan bentuk media sosial yang paling umum digunakan oleh masyarakat di seluruh dunia.

Saya menggunakannya untuk menulis banyak hal tentang Indonesia. Tapi pilihan saya adalah musik. Yap! Saya memang pecinta musik. Tapi saya juga suka menulis. Dan saya tentu saja mencintai Indonesia. “Trilogi Rasa” [musik, nulis dan Indonesia] – saya menyebutnya begitu—itulah yang membuat saya ingin sharing bagaimana Indonesia bisa terwakili secara imej dan kebudayaan lewat sosial media ini.  Tidak hanya komunitas lokal, tapi justru bisa mendunia juga loh.

Menurut Antony Mayfield dari iCrossing Ingggris, media sosial adalah mengenai menjadi manusia biasa. Manusia biasa yang saling membagi ide, bekerjasama, dan berkolaborasi untuk menciptakan kreasi, berfikir, berdebat, menemukan orang yang bisa menjadi teman baik, menemukan pasangan, dan membangun sebuah komunitas. Intinya, menggunakan media sosial menjadikan kita sebagai diri sendiri. Mengapa tidak kita gunakan untuk menjadi diri kita sendiri, menjadi Indonesia sendiri, menjadi bangga dengan negara kita sendiri?

Sekadar contoh, bagaimana sosial media bisa menjadi satu kekuatan nasionalisme,  ketika Malaysia “meremehkan” Indonesia beberapa waktu lalu. Twitter, Facebook, Blog, menjadi ajang “peperangan” dunia maya yang cukup dashayat. Saya tidak merekomendasikan untuk “berperang”, karena banyak postingan yang asal bunyi juga. Ketika itu terjadi, hujat menghujat, saya memilih bicara soal musik. Bagaimana seni [musik] sebenarnya bisa “menjajah” dan memberikan satu kebanggaan yang luarbiasa.

Kemudian ada gagasan Indonesiaunite oleh presenter dan MC Pandji Pragiwaksono, aktivis sosial media dan jutaan anak muda mau menggunakan atribute kebangsaan tanpa dibayar. Dengan Indonesiaunite, banyak yang mengekspose dan lewat sosial media pun banyak yang ikut terekspose dengan berita berita baik tentang Indonesia.

Kembali soal nasionalisme musikal yang saya usung lewat blog, facebook dan twitter.  Saya hanya mencoba menggagas segala sesuatu yang berhubungan dengan musik dan Indonesia. Saya menulis tentang lagu-lagu dan musisi Indonesia yang sukses di luarnegeri dengan membawa nama besar-besar, INDONESIA. Saya tidak peduli apakah penyanyi itu membawakan pop melayu, rock, dangdut atau jazz misalnya. Yang saya tahu, dia membawa nasionalisme dengan caranya sendiri. Kemudian saya membagikannya kepada semua orang lewat media sosial yang saya punya.

Saya juga menulis tentang lirik-lirik lagu yang sangat Indonesia [bahkan beberapa lagu kebangsaan negara tetangga kita, ciptaaan musisi Indonesia loh]. Bukan sekadar narsis, tapi saya juga memberi catatan kritis ketika musisi dan musik Indonesia, tidak lebih meng-Indonesia.

Semua itu saya publikasikan lewat media sosial. Saya tidak bangga kalau pengikut dan friendlist melonjak karena tulisan saya, tapi saya akan bangga ketika mereka kemudian merespon dan memberi catatan kritis kepada tulisan dan ide-ide saya di media sosial tersebut.  Tidak sekadar menghujat di jejaring sosial.

So, kalau kamu tanya bagaimana nasionalisme saya? Percaya deh saya nasionalis sejati. Tapi saya bukan nasionalis fanatik dan membabi buta. Dan media sosial amat membantu saya menyebarkan spirit nasionalisme ke-Indonesia-an saya. Bagaimana dengan kamu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar