dari KECIL, gue selalu diajarkan soal kesetaraan manusia. Gue diajarkan untuk melihat manusia lain, siapapun dia, setara dengan kita. tidak ada perbedaan kasta, tidak ada perbedaan kelas. Semua setara. dan itu yang sampai sekarang jadi sudut pandang gue ketika melihat manusia lain. Komunal dan setara.
sampai akhirnya gue terlibat sebuah pembicaraan dengan seorang yang secara materi jelas di atas rata-rata. Dia punya posisi kuat di kantornya. secara overall, gue hanya bisa mengelus dada. dia melihat manusia itu berbeda secara kelas. gue terlibat perdebatan ringan.
menurutnya, jika seseorang menjadi sopir, ya dia hanya seorang supir. dia tidak berhak mask dalam komunitas yang bukan supir yang kelasna di atasnya. dia juga "terkejut" ketika gue blang, pembantu gue dulu, makan satu meja dan lauk pauknya sama dengan gue. "tidak bisa begitu, tetap harus dibedakan supaya mereka tidak nglunjak!'
kalau sekadar tidak nglunjak, pendekatan yang gue lakukan berbeda dengan dia. gue lebih memlih menjadi seoragn kawan yang bisa berbincang santai danterbuka, ketimbang menjadi bos besar yang hanya bisa berteriak dan memberi komando dengan teriak-teriak. kita sebagai manusia komunal, lebih serin memposisikan diri sebagai 'bukan yang setara'
naluri komunal (communal instinct) diperlihatkan dengan kecenderungan memandang masalah dari sudut komunal dan berorientasi pada komunal, yakni golongan, suku, agama, dan ras.
"Bush kobarkan Perang Salib gaya baru", "Zionis Yahudi merusak dunia" Konflik Poso dan Ambon adalah konflik Islam-Kristen". "Islam agama teroris" "Pihak Kristen melakukan pemurtadan", "Islam biang perusuh", "Cina itu tak suka bergaul dan wataknya pelit", "Batak itu kasar, Jawa itu lelet" dll, adalah pernyataan-pernyataan yang komunalistik yang mudah kita temui dimana-mana.
Mereka yang komunalistik tidak mampu melihat dunia besar dari perpektif yang lebih luas, mendalam, atau lebih tinggi. Sehingga pandangannya cenderung bias.
kembali pada obrolan gue. dari perspektif komunal, kawan satu ini tidak bisa melihat bahwa dirinya bagian dari komunal sempit. dia melihat, orang lain yang berbeda dengan dirinya, memang berbeda. dia tidak bisa melihat, bahwa perbedaan itu harus jadi kekayaan, "medan pertempuran".
Kapankah kita bisa mengeksplorasi perbedaan komunal sebagai asset, mengkomedikan dan menghumorkan perbedaan komunal sebagai bagian dari kekayaan kita dalam hidup yang beraneka suku, adat, dan agama. Dan utamanya meninggalkan prasangka negative antar komunal yang selalu digunakan untuk saling menyerang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar