SALAH satu pertanyaan yang bertahan dalam filsafat adalah tentang keberadaan jiwa manusia. Banyak filsuf yang masih tetap mempertanyakan, apakah manusia memiliki semacam kesadaran yang mampu bertahan di luar tubuh. Kemudian melebar menjadi apakah rasa memiliki, cinta, atau ge-er karena tahu ada yang mencintai, juga mampu bertahan diluar tubuh manusia?
Dari beberapa literatur yang saya baca, jiwa dan kesadaran seperti yang diungkapkan di alinea pertama itu ada. Meski penyebutan dan penggambarannya cukup beragam. Di budaya Budha dan Brahmana, ada istilah metempsikosis yang artinya perpindahan jiwa ke dalam tubuh baru setelah kematian. Apakah ini ada korelasinya dengan reinkarnasi yang mereka yakini? Entahlah.
Plato, filsuf kuno itu, menyebut tubuh manusia ini sebagai “penjara” dan dari sana jiwa meloloskan diri. Ibaratnya, jiwa kita ini adalah “narapidana” yang kudu bisa melarikan diri dari penjara tubuh.
Stoic –ini nama kelompok filosof Yunani kuno—menyebut jiwa manusia sebagai apospasma tou theru [atau partikel Tuhan] dan meyakini, jiwa dipanggil kembali oleh Tuhan disaat kematian. Sementara Dan Brown –penulis novel laris itu—dengan analogi Kitab Kejadian menyebut jiwa sebagai neshemah atau kecerdasan spiritual yang terpisah dari tubuh.
Meski kita memilikinya, tapi mendefinisikan jiwa memang bukan perkara mudah. Karena jiwalah pengendali dari atmosfer hidup kita. Jiwa yang membuat kita tahu rasanya mencintai dan dicintai. Membenci dan dibenci. Buat saya, jiwa adalah pemilik dari kecerdasan spiritual apapun.
Mari kita hubungkan semua persoalan jiwa dengan cinta. Logika dan ketertarikan. Saat kita –saya atau Anda—merasakan ketertarikan entah pada lawan jenis, atau sejenis mungkin, ada sinergi simultan antara jiwa, pikiran, dan kemudian memunculkan rasa. Pengolahan itu bisa berujung suka dan jatuh cinta atau sebaliknya, benci dan menjauhi.
Jiwa dan cinta sebenarnya konkruen dan sebangun. Pernah harus memilih? Dan apakah kamu pernah memilih untuk tidak memilih termasuk soal cinta? Kita tidak pernah tahu, apa yang bakal terjadi dalam hidup kita. Tapi kita bisa merencanakan sesuatu yang berhubungan dengan hidup kita. Soal apakah rencana itu sesuai dengan yang kita inginkan atau tidak, bukan urusan kita lagi.
Ketika itu, jiwa dan cinta menjadi partikel Tuhan. Begitu pulakah lagu cinta?
[yado, 22 desember 2010, 1.41 wib – mencintaimu adalah memiliki partikel Tuhan, tidak pernah salah]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar