Sabtu, 04 Desember 2010

Seberapa KACUNG-kah Diri Kita?

ISTILAH INI memang terdengar [kalau kamu, terbaca], kasar atau sarkastik. Dalam tradisi Jawa, kacung sebenarnya tidaklah buruk. Kacung adalah seorang pelayan kecil yang kerap diminta untuk membantu pekerjaan orang lain. Bukan babu, bukan pula pelayan yang khusus dipekerjakan. Tapi lambat laun, sintaksis itu mengalami pergeseran makna yang tajam. Kacung sering diumbarkan untuk mengatakan seseorang adalah “hamba” dari orang lain yang lebih kaya, lebih perkasa, dan lebih berkuasa.

Kita boleh saja mengagumi seseorang, menjadikannya sebagai guru, menjadikannya teladan, dan memintanya secara khusus untuk mengajari kita. Kita juga boleh aktif terlibat dalam sebuah organisasi, baik berupa ormas, LSM, OSIS, DKM, Karang Taruna, atau partai politik.  Tapi kita harus selalu ingat bahwa manusia diciptakan bukanlah untuk menjadi hamba yang lain. Hanya satu yang harus kita jadikan majikan, dan tidak boleh tidak.

Katanya kacung itu profesi hina. Aah, apa iya hina? Apa iya disuruh-suruh dan dilarang-larang itu hina? Kalau iya, berarti Tuhan menghina kita dong? Kan Dia sering menyuruh kita untuk ini itu, melarang kita untuk ini dan itu. Repotnya, kita nurut pula. Tapi nggak begitu bukan sudut pandangnya?

Kacung sering juga disebut –dan tidak ada yang enak didengar--  gedibal, jongos, begundal, bolo-dupak, kere--  yang tak lebih sebagai 'keset'.  Kacung adalah pribadi yang mati-hidup (pejah gesang) ikut apa yang  dikehendaki oleh ndoro-nya. Bahkan sangking tidak punya perasaan milik  pribadi, sehingga ketika boss ngencingi mukanya, maka masih saja ia  bilang 'maaf ....ndoro'. Dia sama sekali tak punya jiwa, karena jiwanya sudah dibeli oleh ndoronya.

Karena tak punya kepribadian, dan cuma punya perasaan pinjaman, maka  bisa ditebak, pola pikirnya cuma ada dua, yaitu apa yang dilakukan oleh  bosnya, itu yang betul, dan yang bukan dilakukan oleh bukan bosnya, agar  aman, dia bilang tidak betul. Perkara nanti bosnya juga meniru kelakuan  itu, kan gampang diralat?  Berbeda dengan orang-orang bebas. Mereka berani menentukan sendiri apa yang menurutnya benar atau betul. Dengan berbekal kemerdekaan pribadinya ini, maka pada umumnya mereka cukup berhati-hati, dan bijak dalam  bersikap. Bahkan untuk menilai para sahabatnya, ia pun akan dengan seksama dalam membuat penilaian. Bukan asal gebyah-uyah saja, yang dianggap 'podo asine' itu.

Dalam penglihatan orang-orang merdeka, apa yang terlihat adalah nuansa  pelangi, dengan gradasi warna yang jutaan warnanya. Sehingga 'hijau' pun  menjadi ribuan banyaknya, sehingga meskipun mengaku sama-sama 'hijau',  bisa jadi berbeda jalur yang dilaluinya. Lain dengan kacung, mereka Cuma ada dua warna, hitam dan putih. Kalau tidak hitam, pasti putih.

Karena cuma punya alternatif terbatas, mereka-mereka ini kalau diajak  diskusi (atau berinisiatip nimbrung), suka lucu-lucu. Argumen yang  dipakainya tak pernah membuat pendengarnya menjadi kaya serta memperoleh  manfaat. Dan repotnya, menghadapi orang bento seperti ini kita selalu  ditodong dengan ungkapan dan pertanyaan yang hitam-putih tadi. dan itu sudah cukup bagi mereka ini untuk mengambil simpulan. Perkara simpulan itu sahih atau nggak, wong namanya kacung, buat apa dipikirin, begitu baginya.

Jika aku se-kacung dirimu, pada siapa aku pantas mengkacungkan diriku?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar